Derita Papua, Haus di Mata Air Sendiri

Aksi Usut Kasus Freeport
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id - Masalah Freeport kembali menguak dengan adanya perekaman ilegal yang dilakukan oleh Dirut PT Freeport Maroef Sjamsoeddin terhadap pembicaraannya dengan Ketua DPR Setya Novanto. Apakah perekaman itu menjadi skenario Freeport untuk menekan pemerintah agar memberi perpanjangan kontrak yang akan berakhir pada tahun 2021? Pertanyaan ini masih menjadi tanda tanya bagi publik.

Masalah Freeport selalu tidak bisa dipisahkan dengan Papua. Karena pertambangan terbesar di Indonesia ini terletak di Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua.

Namun, dampak keberadaan Freeport ternyata tidak signifikan bagi penduduk lokal. Untuk itu sejumlah pihak menyarankan kepada pemerintah agar pertambangan tersebut dikelola secara mandiri oleh Negara.

"Sebaiknya jangan diperpanjang lagi kontraknya, biarlah pemerintah Indonesia dan kalau perlu biarkan pemerintah daerah yang mengelolanya," ujar Wakil Ketua Komite III DPD, Charles Simare-mare, dalam perbincangan dengan VIVA.co.id, Jumat, 27 November 2015.

Menurut Charles, jika itu dilakukan maka akan jauh lebih mensejahterakan rakyat Papua dan akan cepat terlihat. Tidak perlu seperti Freeport, yang memakan waktu lebih dari 40 tahun.

"10 Tahun itu langsung terlihat luar biasa perubahannya," katanya lagi.

Charles yang juga anggota DPD perwakilan Papua itu menyatakan bahwa Freeport hanya mengambil keuntungan bisnis sepihak dan banyak merugikan Indonesia. Sebagai perusahaan tambang yang beroperasi di bumi cenderawasih, Freeport sama sekali tidak memikirkan tentang pengembangan ekonomi maupun Infrastruktur di Papua.

"Freeport itu kan hanya istilah mengambil keuntungannya saja, lama-lama nanti habis manis sepah dibuang, dia tinggalkan itu Papua," ujar dia.
Charles mengatakan apabila mereka memiliki niat baik, maka tentu sudah membangun smelter. Faktanya tidak. Bahkan, pembangkit listrik saja mereka tidak bisa bangun.

"Masa jalan-jalan saja begitu rusak, masyarakat begitu miskin. Kalau memang dia serius membangun, kenapa dia tidak lakukan itu mulai dari 40 tahun lalu," kata Charles.



Haus di Mata Air Sendiri

Mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi masyarakat Papua, khususnya masyarakat Mimika. Perusahaan tambang terbesar di Indonesia ini, tidak memberi implikasi positif bagi pengembangan kehidupan masyarakat Papua untuk menjadi lebih sejahtera dan mandiri.

"Mereka yang punya lahan (lahan pertambangan) tapi mereka kehausan dalam mata air sendiri. Mereka yang punya mata air, tapi mereka haus, mereka hanya sebagai penonton," ungkap Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Pemantau Penggunaan Keuangan Negara Papua (LSMP2KN Papua), Hot Darwin Simanungkalit, kepada VIVA.co.id, Jumat, 27 November 2015.

Darwin menilai imbas dari pertambangan Freeport tidak berpengaruh bagi pembangunan di Papua yang terkait dengan akses kehidupan, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lainnya.

Darwin yang juga adalah mantan pegawai Freeport dan pernah menjadi Wakil Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) untuk Freeport mengatakan bahwa jumlah pegawai asli Papua lebih sedikit dibandingkan pegawai dari luar daerah Papua maupun dari pegawai dari negara luar.

Sehingga, dengan kondisi seperti ini tentu pertumbuhan ekonomi di Papua tidak meningkat secara signifikan.

"Kita lihat berapa persen orang asli Papua yang kerja di sana dibandingkan orang dari daerah lain bahkan bule. Jadi setiap uang itu terkirim ke daerah lain bukan berputar di Papua," katanya.

Dia juga mendesak pemerintah untuk tidak terlalu heboh dengan perekaman ilegal yang dilakukan oleh Dirut Freeport. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said, seharusnya lebih memikirkan mendesak Freeport membangun pabrik smelter (pemurnian hasil tambang) daripada membuat sensasi dengan pelaporan yang dilakukan di Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (MKD).

Karena di luar negeri penjualan yang dilakukan Freeport atas hasil tambang itu dijual per unsur bukan campuran sehingga keuntungannya lebih besar. Sedangkan Freeport mengambil dari Indonesia dalam bentuk campuran.