Pakar: Pasal 158 UU Pilkada Kangkangi Keadilan

Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id - Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengkritik Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, khususnya pasal 158 ayat (1) dan ayat (2). Pasal tersebut dianggap tidak rasional dan mengangkangi keadilan. Sebab, pasal itu dinilai membuka peluang mendapatkan suara dengan cara tidak sah.

"Bikin saja kecurangan sehebat-hebatnya sehingga melampaui 2 persen, 1,5 persen, 0,5 persen dan tidak terjadi apa-apa dan itu berarti hak yang timbul diperoleh dengan cara melawan hukum," ujar Margarito di Gedung MK, Senin, 1 Februari 2016.

Menurut Margarito, dalam hukum tidak boleh suatu hak didasarkan atau diberikan atas cara melawan hukum. "Di situlah letak ketidakrasionalan dari hukum konstitusionalitas dari pasal 158," ujarnya menambahkan.

Dia mendorong adanya judicial review terhadap pasal tersebut agar tidak disalahgunkan untuk berbuat kecurangan.

Undang-Undang Pilkada Nomor 8 Tahun 2015, pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) mengatur bahwa syarat pengajuan sengketa, jika ada perbedaan selisih suara maksimal dua persen dari penetapan hasil penghitungan suara KPU Provinsi maksimal dua juta penduduk.

Sementara bagi penduduk lebih dari dua juta hingga enam juta, syarat pengajuan sengketa, jika ada perbedaan selisih maksimal 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan suara KPU Provinsi.

Untuk tingkat kabupaten/kota, jumlah penduduk di bawah 250 ribu selisih minimal dua persen, jumlah penduduk antara 250-500 ribu selisih suara minimal 1,5 persen.

Untuk daerah dengan jumlah penduduk 500 ribu-1 juta jiwa, minimal selisih suara satu persen, dan daerah dengan jumlah penduduk di atas satu juta jiwa minimal selisih suara 0,5 persen.

(mus)