Bahas Revisi UU ITE, Komisi I DPR Diminta Transparan

Anak-anak berselancar Internet.
Sumber :

VIVA.co.id – Panitia Kerja (Panja) revisi Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) di Komisi I DPR kembali membahas draf perubahan pada UU tersebut. Pembahasan difokuskan pada 62 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari DPR. 

Namun, kalangan LSM menyayangkan pembahasan itu dilakukan secara tertutup sehingga tidak bisa diakses publik.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyesalkan pembahasan tertutup itu. Mereka menilai, subtansinya tidak sensitif sehingga tidak perlu dirahasiakan. 

"Ada hak partisipasi publik untuk mendapat akses informasi secara terbuka, sehingga tahu pertimbangan-pertimbangan pengambilan keputusan dalam proses pembahasan RUU Perubahan UU ITE tersebut," ujar Peneliti ICJR, Anggara dalam siaran pers yang diterima VIVA.co.id Kamis, 16 Juni 2016.

Dia pun memberikan contoh saat pembahasan rancangan KUHP di Panja Komisi III DPR, yang dilakukan terbuka dan transparan. Menurutnya, mekanisme di Komisi III DPR itu baik sehingga bisa dijadikan acuan pembahasan setiap RUU di DPR.

Anggara berharap, Komisi I mau membuka akses dan partisipasi publik, serta tidak lagi mengadakan rapat pembahasan secara tertutup. ICJR juga meminta Panja Komisi I secara aktif mempublikasi hasil pembahasan dengan pemerintah.

Menurut Anggara, RUU perubahan UU ITE versi pemerintah masih jauh dari yang diharapkan. "Alih - alih mencabut berbagai ketentuan pidana yang dianggap duplikasi dari KUHP, pemerintah justru memilih mempertahankannya dan hanya mengurangi ancaman pidananya, khususnya untuk perbuatan penghinaan," ujarnya menambahkan.

Di sisi lain, pemerintah malah mengikuti keinginan kalangan penegak hukum, dengan meniadakan mekanisme izin dari ketua pengadilan untuk dapat melakukan upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan.

Sebelumnya ICJR, LBH Pers, Elsam, AJI yang tergabung dalam Sahabat Informasi dan Komunikasi yang Adil (SIKA), telah mengirimkan naskah masukan dan catatan kritis terhadap RUU ini. Ada empat hal yang menjadi masukan, yaitu penghapusan duplikasi tindak pidana, pengaturan penyadapan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, mempertahankan mekanisme pengawasan pengadilan melalui proses izin dari ketua pengadilan, serta mekanisme blokir/penapisan yang sah.

(mus)