Peneliti: Peran TNI dalam Pembebasan Sandera Harus Dibatasi

Serah terima 4 ABK TB Hendry di Perairan Filipina.
Sumber :
  • Puspen TNI

VIVA.co.id – Pemerintah Filipina telah membuka diri agar Tentara Nasional Indonesia (TNI) turut dalam pembebasan warga negara Indonesia (WNI) yang disandera kelompok bersenjata Abu Sayyaf dan sempalannya. Peneliti terorisme dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hermawan Sulistyo mengingatkan bahwa meski TNI mendapatkan lampu hijau dari Filipina, pemerintah sebaiknya jangan terlalu cepat melakukan operasi militer.

"Teror sesuai definisinya adalah membangkitkan ketakutan. Teror bukanlah perang karena yang jadi sasaran adalah masyarakat sipil sehingga keterlibatan militer pun harus dibatasi," kata Hermawan dalam diskusi bertema Arah Revisi Undang Undang Tindak Pidana Terorisme di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa, 28 Juni 2016.

Hermawan mengatakan, teror merupakan hal yang harus dipahami dalam konteks sipil sehingga harus ditangani dengan transparan dalam proses hukumnya.

"Harus ada akuntabilitasnya mengapa seseorang mati dan siapa yang membunuhnya,” ujarnya.

Ia menegaskan, upaya pemberantasan teror pada hakikatnya bukanlah perang oleh karena itu pemberantasan teror sebaiknya tidak ditarik ke sektor pertahanan.

Sementara itu Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, pemberantasan terorisme sebaiknya tak melibatkan militer. Menurutnya, pemberantasan teror dengan cara militer justru akan mengesampingkan HAM dan akuntabilitas.

Menurut Al Araf, pemberantasan teror harus tetap ditempatkan dalam  kerangka criminal justice system seperti yang sudah berlaku saat ini.

“Jadi tak perlu penanganan ekstra sampai melibatkan militer,” ujar Al Araf.

Menurutnya akan aneh jika pemerintah menggunakan pendekatan perang sebagai pengganti criminal justice system dalam memerangi teroris. Pasalnya Indonesia sudah memisahkan antara ranah pertahanan dan keamanan.

Indonesia pernah memiliki Undang Undang (UU) Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara. Namun UU itu sudah direvisi sehingga sektor keamanan dan pertahanan dipisahkan. Lalu terbit UU Khusus Polri dan UU Khusus TNI.

“Fungsi pertahanan dengan penegakan hukum itu berbeda. UU Antiteror sebaiknya tetap pada criminal justice system,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Anggota Pansus RUU Antiterorisme Sarifuddin Sudding mengatakan, terorisme memang tidak bisa ditangani dengan cara-cara biasa. Namun Politikus Hanura itu berpendapat bahwa pelibatan TNI tetap harus dibatasi.

"Keterlibatan TNI itu spesifik, ada batasan-batasannya dan aspek tertentu. Misalnya teror kepada kepala negara, teror di luar negeri,” kata Sudding.