Antropolog Minta Delik Penistaan Agama Dicabut

Sidang penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Irwandi Arsyad

VIVA.co.id – Puluhan antropolog yang tergabung dalam "Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bhineka dan Inklusif" menyampaikan petisi ke Presiden Joko Widodo. Mereka diterima Presiden di Istana Merdeka Jakarta, Senin 16 Januari 2017.

Antropolog R.Yando Zakaria mengatakan, kondisi saat ini sedang terancam dengan persoalan-persoalan intoleransi. Dimana dalam pandangan mereka, terus meningkat. "Akibat selama ini institusi sosial kita yang seharusnya merawat kebhinekaan tidak berfungsi. Di sisi lain ada gerakan yang cenderung memaksakan pandangan tertentu yang menginginkan menjadi dominan di negeri ini," ujar Yando dalam keterangan pers di Kantor Presiden, usai diterima Presiden Jokowi.

Persoalan intoleransi, kata dia, multidimensi. Namun pihaknya mencatat, ada tiga yang menjadi titik tekannya. Pertama, intoleransi menurut mereka sudah terjadi pada tingkat pendidikan. Baik dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga perguruan tinggi.

Kedua, adanya ketidakadilan di bidang ekonomi. Yando mengatakan, terutama dalam kepemilikan tanah. Sehingga program reforma agraria yang dicanangkan Presiden Jokowi, menurutnya cukup bagus. Hanya perlu menjadi perhatian, lanjut dia, agar cara ini tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.

Ketiga, lanjut dia, adalah persoalan hukum termasuk penegakan hukumnya. Dia mencontohkan, adanya diskriminasi di luar enam agama resmi yang diakui oleh pemerintah.

Selain itu, para antropolog ini juga mengusulkan agar undang-undang mengenai penistaan agama turut dicabut. "Ada beberapa peratuaran hukum yang perlu ditinjau termasuk berpikir ulang UU Penistaan Agama. Ini bukan persoalan sederhana atau dari perspektif antropologi ini menjadi sangat begitu relatif dan sangat berbahaya ketika itu dipolitisasi," ujarnya menjelaskan.

Pihaknya beralasan, persoalan penistaan agama sudah tidak relevan lagi saat ini. Makanya, banyak negara-negara yang sudah tidak memberlakukan pasal penistaan agama tersebut. "Di banyak negara demokrasi di dunia ini, UU penistaan agama dicabut dan Indonesia sedikit dari negara demokrasi yang masih mempunyai UU ini. Ini yang kami imbau ke Presiden jangan ragu mengambil tindakan-tindakan konkrit untuk mengatasi masalah intoleransi," ujarnya menambahkan.

Untuk itu, pihaknya meminta Presiden Jokowi serius untuk mengambil tindakan terhadap kasus intoleransi. Mereka khawatir, Indonesia tidak akan bertahan lama kalau persoalan ini tidak diselesaikan. "Kami khawatir kalau kita terlambat mengurus masalah ini mungkin mimpi kita menjadi Indonesia berakhir. Kalau kita gagal mengelola keberagaman ini, usia Indonesia mungkin hanya akan sepuluh tahun lagi, ini yang kami garis bawahi ke Presiden.”

Para antropolog yang menandatangani petisi adalah Prof.Amri Marzali, Prof Dr Meutia F Swasono, Prof Dr Sulistyowati Irianto, Dr Kartini Sjahrir, Dr Selly Riawanti, Drs R Yando Zakaria, Tjunggozali Joehana, Drs Gigin Praginanto, dan Iwan Meulia Pirous.

(mus)