Mengintip 'Penyakit' Struktural Ekspor Impor RI

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi

VIVA – Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara mengakui ada 'penyakit' di dalam tren ekspor impor Indonesia. Ketika ekspor meningkat, secara otomatis impor juga meningkat bahkan bisa lebih tinggi daripada ekspor.

Suahasil menceritakan, pada awalnya pada 2016, nilai ekspor dan impor Indonesia mengalami pertumbuhan negatif atau tidak tumbuh.

"Ekspor dan impor kita 2016 itu dua-duanya negatif pertumbuhannya, jadi bukan tumbuh malah mengecil," ujar Suahasil di acara dialog publik peluang dan tantangan ekspor jasa Indonesia, di Gedung Pakarti Centre, Jakarta, Senin 16 Juli 2018.

Ia melanjutkan, pada 2017, ekspor mulai tumbuh misalnya di kuartal I sekitar 8 persen, lalu tumbuh 2 persen di kuartal II dan kuartal III bahkan tumbuh 17 persen. Namun, angka ini juga diiringi impor yang positif.

Hal yang mengejutkan, menurutnya adalah pada kuartal IV-2017, di mana ekspor tumbuh 8,5 persen, namun justru impor tumbuh dua digit di angka 11,5 persen. Lantas pada kuartal I-2018, dia mengatakan ekspor tumbuh 6,17 persen, dan impor meningkat 12,75 persen.

"Saudara-saudara sekalian ini adalah penyakit struktural republik kita. Kalau mau ekspor, harus impor dulu, ini penyakit struktural, kita enggak bisa bikin ekspor tanpa impor dulu," jelasnya.

Untuk itu, dia menegaskan, penyakit Republik Indonesia ini harus dicarikan 'obatnya'. Namun, tentu butuh waktu untuk bisa betul-betul memulihkan RI dari penyakit tersebut.

"Dan ini harus kita cari obatnya dan obatnya tentu bukan jangka pendek, bukan urusan satu bulan, dua bulan, tiga bulan, tapi jangka menengah panjang, bagaimana caranya kita mencari cara untuk menyembuhkan ini," ujarnya.