BPJS Defisit, Iuran Melejit, Rakyat Menjerit

Ilustrasi BPJS Kesehatan.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

VIVA – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial alias BPJS Kesehatan mengalami defisit anggaran. Bahkan bendahara negara bilang potensi defisit bakal membengkak jadi Rp32,8 triliun hingga akhir tahun ini.

Masalah defisit anggaran BPJS sudah terjadi sejak 2014 silam. Pada lima tahun lalu, defisitnya senilai Rp1,9 triliun. Kemudian pada 2015 naik jadi Rp9,4 triliun.

Tapi tahun 2016, defisit turun sedikit menjadi Rp6,4 triliun akibat adanya penyesuaian iuran. Melalui Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 dilakukan penyesuaian iuran, yakni kelas I menjadi Rp80 ribu dari sebelumnya Rp59.500, kelas II menjadi 51 ribu dari Rp42.500 dan kelas III jadi Rp30 ribu dari Rp25.500.

Sayangnya setahun setelahnya, defisit tersebut melambung tinggi jadi Rp13,8 triliun. Angka itu makin bertambah banyak jadi Rp19,4 triliun pada 2018.   

Penyebab tekornya BPJS Kesehatan, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, karena adanya pasien nakal, di mana mereka mendaftar BPJS saat sakit dan tak lagi bayar iuran ketika sembuh.

"Sebagian besar menikmati layanan dan itu menyebabkan BPJS menghadapi situasi sekarang, maka BPJS menjadi defisit," kata Sri Mulayani, beberapa waktu lalu, seperti dikutip dari VIVAnews

Selain itu, tingkat kepesertaan aktif masih di bawah target 60 persen dari 223 juta peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Saat ini baru 53,7 persen. Selain peserta yang nakal, ada rumah sakit yang juga melakukan hal serupa, di mana mereka memanipulasi level kelasnya sehingga mendapatkan klaim biaya yang lebih tinggi.  

Supaya defisit tak makin mencekik, akhirnya bendahara negara mengusulkan menaikkan iuran peserta BPJS. Ini merupakan kenaikan kedua setelah pada 2016 lalu dilakukan penyesuaian. Adapun usulan kenaikan iuran yang telah dihitung secara rinci dan mempertimbangkan neraca keuangan BPJS Kesehatan, yaitu kelas I naik dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu, kelas II dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu dan kelas III menjadi Rp42 ribu dari Rp30 ribu.

Kenaikan iuran yang tinggal menunggu Peraturan Presiden (Perpres) supaya bisa diterapkan pada Januari 2020 diharapkan bisa menutup defisit. Bahkan diproyeksi bisa bikin surplus sebesar Rp17,2 triliun pada tahun depan.

Tapi usulan kenaikan iuran bulanan peserta BPJS Kesehatan menuai kritik. Tanda pagar (tagar) kritikan dari warganet soal itu ramai di Twitter, kemarin, Rabu, 28 Agustus 2019. Misalnya, #BPJSMencekik dan #RezimLepasTanggungJawab.

"Indonesia lagi sakit!!!!" tulis salah satu pengguna.

"Sebenarnya males gw bahas BPJS secara gw bayar rajin, dipakai juga enggak. Eeeh, udah gitu malah mau dinaekin pula iuran BPJS-nya. Sudah tahu BPJS kolaps, sok-sokan mau pindah ibu kota. Kalau ada duit berlebih, urus dululah itu BPJS. Kasihan rakyat kecil bos," tulis pengguna lain.

"Gak dibayar nanti kena sanksi, gak ikutan di sangka warga gak baik, diikutin tapi gak pernah kepakai karena sakitnya cuma sembuh pakai obat warung. Beginilah nasib menengah ke bawah yang ikutan semua aturan pemerintah pasrah dalam lelah," keluh lainnya.