Soal Subsidi BBM, Faisal Basri: Mayoritas Dinikmati Mobil Pribadi

Pertalite raib di sejumlah SPBU. (ilustrasi).
Sumber :
  • VIVA/Mohammad Yudha Prasetya

VIVA Bisnis – Wacana kenaikan bahan bakar minyak (BBM) subsidi bikin geger. Kenaikan yang awalnya disebut terjadi hari ini tersebut batal, karena Presiden Joko Widodo mengaku masih menghitung kebijakan ini secara hati-hati.

Di satu sisi, Ekonom Senior Indef, Faisal Basri justru mengecam subsidi BBM yang lebih banyak dihabiskan oleh keluarga terkaya. Dia juga menyebut perusahaan sawit pun menikmati puluhan triliun rupiah subsidi BBM.

Faisal mengatakan, subsidi semakin banyak dinikmati seiring peningkatan penghasilan. Dia mencontohkan Pertalite yang mayoritas dipakai mobil pribadi, bukan angkutan umum atau motor.

“Untuk pertalite, 70 persen dipakai mobil. Dari 70 persen itu, 98 persen mobil pribadi,” ujarnya dikutip dalam keterangan tertulis, Kamis, 1 September 2022.

BBM jenis Pertalite.

Photo :
  • ANTARA/Muhammad Adimaja

Di luar cakupan itu, pertalite dikonsumsi kendaraan angkutan umum atau angkutan daring. Ia menyebut, harga pertalite saat ini masih disubsidi, meski pemerintah tidak menyebutnya secara spesifik. Anggaran subsidi diletakkan di berbagai pos APBN hingga anggaran BUMN.

Pernyataan ini sama dengan Kementerian Keuangan bahwa subsidi BBM mencapai Rp 502 triliun per tahun, maka orang kaya Indonesia menhabiskan Rp 400 triliun subsidi BBM.

Faisal pun menyebut, pola itu mengungkap ketidakadilan serius dan jelas sangat merugikan masyarakat miskin. Fakta itu mematahkan pendapat bahwa subsidi BBM harus diberikan sebagai bentuk keberpihakan pada masyarakat miskin.

Jika pemerintah serius membantu masyarakat miskin, lebih baik mengalihkan subsidi ke pola lain. Pola itu harus tetap sasaran dan benar-benar diterima masyarakat miskin.

Faisal juga mengingatkan, Indonesia bukan negara kaya minyak. Sejak beberapa tahun terakhir, Indonesia menghabiskan miliaran dolar AS per tahun untuk mengimpor minyak. Sebab, produksi minyak di bawah kebutuhan nasional.

Indonesia memang pernah mengalami periode ekspor migas lebih tinggi dibandingkan impornya. Namun, Indonesia berhenti mengalami surplus perdagangan migas dan energi sejak 2007. 

“Sejak 2013 malah sudah defisit perdagangan minyak,” kata dia.

Dalam 9 tahun terakhir, Indonesia mengimpor minyak lebih banyak dibandingkan ekspornya. Pada 2019, defisitnya mencapai 59,1 juta barel. Jika dihitung dalam nilai uang, Indonesia menanggung defisit 8 miliar dolar AS pada 2018-2019 saja. Nilai itu setara lima persen APBN Indonesia saat ini. Dalam 20 tahun ke depan, defisit itu akan membesar dan mencapai 40 miliar dollar AS pada 2040.

Faisal mengatakan, kondisi industri migas dalam negeri memang menyulitkan untuk memacu produksi. Banyak sumur minyak sudah amat tua sehingga produksinya menurun. Ada pun gas Indonesia mengandung banyak metana sehingga lebih cocok dijadikan LNG. Padahal, Indonesia membutuhkan LPG yang bahan dasarnya gas alam dengan kandungan mayoritas propana.