Ada Potensi Badai PHK di Industri Karet, KSPSI Minta Pemerintah Turun Tangan Lindungi Pekerja
- Istimewa
Jakarta – Pemerintah diminta untuk segera membantu industri karet yang saat ini mengalami kesulitan dan bisa mengakibatkan badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada buruh. Hal itu diungkapkan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea.
Andi Gani mengungkapkan pihaknya mendapat laporan bahwa produksi karet di Sumatera Selatan (Sumsel) terus menurun. Jika tidak segera ditanggulangi, ini akan mengakibatkan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ia mengatakan, laporan dari berasal dari pimpinan SPSI Sumsel tentang kondisi industri di sana.
"Langkah efisiensi memang harus dilakukan tapi jangan jadi alasan untuk mengurangi hak pekerja," kata Andi Gani kepada wartawan, Jumat, 17 November 2023.
Presiden Konfederasi Buruh ASEAN (ATUC) itu mendorong Pemerintah untuk menyiapkan bahan baku karet yang saat ini dalam kondisi sangat sulit didapatkan. Pemerintah juga diharapkan diharapkan membantu petani karet dengan bantuan pupuk. “Juga pinjaman modal usaha dengan bunga rendah," jelasnya.
Sementara itu, Ketua DPD KSPSI Sumsel Abdullah Anang mengatakan, Pemerintah harus melakukan intervensi dari hulu hingga hilir agar industri karet bisa tetap bertahan. Dengan begitu, perusahaan masih bisa tetap beroperasi.
"Intervensi yang dilakukan seperti pemberian bibit unggul hingga membuat kebijakan luar negeri yang bisa mempengaruhi harga pasar global," ujarnya.
Kemudian, Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel Alex Kurniawan Edy menjelaskan, pada semester I-2023, produksi karet di Sumsel sebesar 405.315 ton. Angka itu turun sekitar 12 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 468.667 ton. Penurunan ini disebabkan oleh anjloknya produktivitas karet akibat penyakit tanaman dan alih fungsi lahan.
Saat ini, kata Alex, banyak petani yang memutuskan untuk mengganti kebun karet dengan sejumlah komoditas lain. Alasannya, produksi kebun karetnya menurun.
Alex mengungkapkan, tiga tahun lalu dalam satu hektar lahan karet petani bisa mendapatkan getah berkisar 70-100 kilogram (kg) per minggu per hektar, sekarang hanya sekitar 40 kg per minggu per hektar.
"Penurunan produktivitas kebun karet ini disebabkan oleh penyakit gugur daun yang kian masif sejak 2019 dan diperparah dengan sulitnya petani mendapatkan pupuk. Sebenarnya fenomena ini tidak hanya terjadi di Sumsel tapi juga secara nasional," jelasnya.
Secara nasional, produksi karet Indonesia pada 2022 hanya sekitar 2,6 juta ton yang mana 2 juta ton di antaranya untuk ekspor. Angka itu turun dibandingkan dengan 2017. Saat itu produksi karet mencapai 3,6 juta ton dengan jumlah karet yang diekspor mencapai 3,2 juta ton.
Kondisi ekspor yang menurun itu membuat posisi Indonesia tergantikan oleh Vietnam yang tahun lalu bisa mengekspor sekitar 2,1 juta ton.
"Jika penurunan terus terjadi, bukan tidak mungkin dalam 10 tahun ke depan, keberadaan karet di Indonesia punah," tegasnya.
Penurunan produksi karet akhirnya berdampak pada lesunya industri karet karena sulitnya memperoleh bahan baku. Sejak 2017 sampai sekarang, setidaknya ada 8 pabrik yang tutup dan hanya menyisakan 18 pabrik karet yang masih beroperasi di Sumsel. "Akibatnya sekitar 2 ribu buruh pabrik harus diberhentikan," ujarnya.