Rencana Insentif Mobil Listrik CBU di RI Dinilai Perlu Diarahkan untuk Pengembangan Produk Lokal
- Paultan
Jakarta – Indonesia tengah berupaya mengembangkan industri kendaraan listrik (EV) melalui insentif yang dirancang untuk meningkatkan adopsi dan produksi EV lokal, termasuk pembebasan pajak impor untuk EV Completely Built Up (CBU). Namun, kebijakan ini memicu perdebatan terkait kesesuaiannya dengan kondisi industri otomotif nasional yang lebih banyak didukung oleh produksi dalam negeri.
Dibandingkan dengan Thailand, yang pasar EV-nya didominasi oleh impor CBU, Indonesia memiliki pangsa pasar yang lebih besar untuk produksi lokal.
Insan Praditya Anugrah, Pengamat Politik dan Kebijakan Negara dari FHISIP Universitas Terbuka menekankan bahwa insentif sebaiknya lebih diarahkan pada produk lokal, dengan merek asing yang ingin menikmati subsidi diwajibkan untuk melakukan transfer teknologi dan terlibat dalam riset dan pengembangan di Indonesia.
Memang, lanjut Insan, subsidi kendaraan listrik impor oleh pemerintah pada tahap awal ini dimaksudkan untuk mengurangi emisi polutan yang sifatnya mengancam lingkungan dan meningkatkan minat masyarakat sehingga tercipta pasar yang lebih luas bagi kendaraan listrik di Indonesia.
"Tentunya, subsidi bagi prinsipal yang membangun fasilitas produksi di Indonesia lebih tinggi dengan insentif keringanan Ppn dari 11 persen menjadi hanya 1 persen. Namun, subsidi bagi kendaraan impor tidak boleh terlalu lama, paling lama sampai akhir 2025 agar industri nasional dapat tumbuh dan berkembang,” ujar Insan dikutip dalam keterangan tertulis, Rabu, 24 Januari 2024.
Ia juga mengatakan bahwa Insentif jangka pendek seperti pembebasan pajak impor mungkin memperkaya pilihan konsumen dan mempercepat adopsi EV, tetapi berpotensi mengancam produksi dan lapangan kerja lokal dalam jangka panjang.
Merek asing juga sebaiknya diwajibkan untuk mengadopsi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang tinggi dan melibatkan modal pengusaha nasional di atas 60 persen. Hal ini dinilainya penting untuk menghindari kegagalan seperti yang terjadi pada era Orde Baru, di mana transfer teknologi tidak dilakukan sepenuhnya oleh prinsipal asing.
Seperti diketahui, Menurut President Hyundai Motor Asean HQ Youngtak Lee, pasar EV Thailand didukung oleh impor dengan persentase mencapai 99 persen. Sementara di Indonesia, industri EV lebih banyak didukung oleh produksi lokal, yang menguasai sekitar 88 persen pangsa pasar. Sehingga perlu dikaji apakah kebijakan yang diambil pemerintah sudah tepat.
Insan melanjutkan, negara dengan industri EV atau mobil listrik yang lebih matang seperti Amerika Serikat telah memberikan insentif untuk komponen lokal, seperti baterai, yang bisa menjadi model bagi Indonesia untuk mengembangkan industri baterai lokal.
Kerangka kerja Peraturan Presiden RI Nomor 79 Tahun 2023 harus dimanfaatkan sebagai dasar bagi industri untuk berinvestasi, dengan memastikan sektor hulu seperti pertambangan dan pemurnian juga mendapatkan insentif yang memadai.
Pembatasan Insentif Mobil CBU Sampai 2025 Dianggap Tepat
Kebijakan pemerintah Indonesia yang membatasi masa insentif mobil CBU hanya sampai 2025 dianggap tepat untuk mendukung pengembangan industri otomotif nasional. Pemerintah juga harus fokus pada pentingnya produsen dengan merek nasional untuk menguasai teknologi dan proses industrialisasi dari hulu hingga hilir.
Kehadiran merek mobil nasional yang kuat, menurutnya penting agar Indonesia tidak hanya tergantung pada prinsipal luar negeri, tetapi juga memiliki paten sendiri dan menguasai nilai tambah untuk keuntungan dalam perdagangan internasional.
Diperlukan strategi yang berimbang untuk membangun ekosistem EV yang kuat dan memastikan Indonesia tidak kehilangan kesempatan menjadi pemimpin pasar EV regional.
"Kebijakan insentif yang holistik akan krusial untuk memastikan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi pasar bagi produk EV global, tetapi juga berperan aktif dalam produksi dan inovasi EV. Insentif yang diberikan harus mendukung visi jangka panjang industri EV Indonesia," katanya.