Remaja Indonesia Cuti Kuliah demi Rp2,5 Miliar

Nizar "Microboy" Lugatio Pratama. - Bigetron
Sumber :
  • bbc

Awal tahun ini, Nizar "Microboy" Lugatio Pratama meminta restu ibunya untuk mencoba peruntungan di bidang olahraga elektronik atau eSports.

"Ma, saya coba untuk main gim ini ya. Soalnya saya percaya saya bakal juara di kompetisi ini.

"Jadi tolong diizinin , saya ingin cuti kuliah dulu, ingin coba fokus satu tahun ini. Gimana sih saya bakal bisa gak di eSports ini. Soalnya kesempatannya cuma ini, Ma," kata remaja berusia 20 tahun itu, yang tengah menempuh semester tiga di sebuah sekolah teknik kesehatan di Semarang.

Sang ibu sempat meminta anak laki-lakinya itu untuk memikirkan kembali pilihannya. Tapi akhirnya ia setuju.

"Kalau emang itu benar-benar keputusan yang baik, ya sudah nggak apa-apa. Cuma kamu harus bertanggung jawab sama keputusanmu itu," ujarnya.

Sejak itulah, Nizar serius menekuni eSports.

Pada awal Desember lalu, Nizar beserta tiga rekannya di tim Bigetron Red Aliens (RA) memenangkan kejuaraan dunia PUBG Mobile Club Open (PMCO) 2019 Musim Gugur yang digelar di Kuala Lumpur, Malaysia.

Mereka menggondol hadiah uang sebesar US$180.000 dollar atau setara dengan Rp2,5 miliar.

Terjun ke eSports karena `merasa berbakat`

Nizar direkrut tim Bigetron pada bulan Januari setelah masuk peringkat 10 besar pemain terbaik dalam gim PUBG Mobile.

"Kebetulan teman saya di Bigetron mau buat tim, saya direkomendasikan untuk masuk ke situ," ujarnya pada BBC News Indonesia.

PlayerUnknown`s Battleground adalah gim tembak-tembakan yang dimainkan di komputer atau ponsel (mobile). Dalam gim ini, para pemain – bisa perseorangan atau tim – berlomba-lomba mengumpulkan senjata dan sumber daya untuk mengalahkan pemain lainnya.

Nizar mengaku tertarik untuk bermain gim di skala eSports karena merasa dirinya berbakat dan punya peluang untuk sukses.

"Makanya saya yakin, saya optimis, dan saya ambil risiko untuk terjun ke eSports ini," ujarnya.

Namun perjalanannya sebagai atlet eSports tidaklah mudah. Menjelang kompetisi, ia bersama rekan-rekan satu timnya menjalani pemusatan latihan atau boot camp .

Selama hampir dua pekan, mereka menginap di satu apartemen dan berlatih empat hingga delapan jam sehari, kata Nizar.

Tujuan boot camp tersebut ialah membangun kecocokan antar rekan setim dan mengenal sifat satu sama lain. "Jadi lebih menyatu gitu pas pertandingan," ujarnya.

Rutinitas selama latihan mencakup bangun pagi dilanjut dengan olahraga fisik seperti berenang atau jogging , kemudian latihan sampai sore diselingi istirahat dan makan. Selama istirahat, para atlet dilarang memegang ponsel sama sekali.

Menurut Nizar, hal utama yang dilatih selama boot camp adalah kekuatan mental dan komunikasi.

"Kan kebetulan kita kan masih remaja, ada yang masih sekolah, jadi emosinya belum terkontrol. Jadi dari mentornya lebih menekankan kita untuk memperbaiki komunikasi, mental ... dan kita improve sendiri strateginya," tuturnya.

`Kompromi` dengan sekolah

Keputusan Nizar dan ketiga rekannya untuk menekuni eSports tidak selalu sejalan dengan sekolah dan orang tua mereka.

Nizar bisa mengambil cuti karena sudah kuliah, tapi lain dengan ketiga rekannya yang masih SMA. Saat wawancara ini dilakukan, mereka tengah mengambil ujian susulan.

Nizar mengatakan bahwa sekolah atau universitas tidak selalu mengizinkan mereka untuk bolos demi mengikuti kompetisi. "Jadi gampang-gampang susah juga buat ikut pertandingan," ujarnya.

Begitu pula dengan orang tua, yang dalam kasus Nizar awalnya sangat tidak mendukung ia terjun ke dunia eSports. Meski setelah ia memenangkan kejuaraan dan mulai mendapatkan uang, mereka mulai mendukung, tuturnya.

"Jadi udah enggak dimarah-marahin lagi kalau main gim."

Bermain dengan serius

Seiring anak-anak muda seperti Nizar terjun ke dunia eSports, kesadaran akan risiko kecanduan gawai atau gim online juga meningkat. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2018 memasukkan gaming disorder atau `ketagihan gim` ke dalam International Classification of Diseases (ICD).

Di Indonesia, sebuah penelitian menemukan bahwa 31,4% anak dan remaja kecanduan internet; dan .

Menurut Nizar, demi menghindari kecanduan gim online, penting untuk "bermain dengan tujuan"; maksudnya, bermain untuk latihan atau memenangkan kompetisi bukan sekadar senang-senang atau hiburan. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya penyegaran atau refreshing .

Tapi barangkali di sini masalahnya: Bagi kebanyakan orang, bermain gim adalah cara refreshing ; tapi bagaimana atlet eSports, yang bermain gim dengan serius, melakukan refreshing ?

"Ngumpul sama teman-teman, sama keluarga, nonton film, liburan, atau ... bermain gim lain," kata Nizar.

Belum yakin

Namun demikian, terlepas dari kesuksesannya, bagi Nizar menjadi atlet eSports hanya pekerjaan sementara. Ia berniat untuk melanjutkan kuliah atau membangun bisnis dari uang yang ia peroleh dari eSports.

Itu karena Nizar belum yakin tren eSports bakal bertahan.

"Sebenarnya sangat tertarik (dengan prospek eSports), cuma saya sendiri tidak mau ambil risiko terlalu banyak soalnya dari pemerintah belum 100 persen mendukung eSports.

"eSports (masih dipandang) ajang main gim untuk kompetisi, enggak betul-betul di-support. Meski sudah mulai dilirik," ujarnya.

Ia berharap pemerintah bisa memperlakukan atlet-atlet eSports setara dengan atlet olahraga lainnya, termasuk dimudahkan untuk ikut turnamen serta mendapat fasilitas.

Menanggapi keluhan tersebut, Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Gatot S. Dewa Broto mengatakan pemerintah telah memberikan dukungan besar kepada eSports. Salah satu bentuknya adalah dengan membuka Piala Presiden eSports pada tahun 2019 yang bertujuan menemukan talenta-talenta baru di bidang eSports.

Gatot menambahkan, Kementerian Pemuda dan Olahraga membiayai pelatihan nasional (pelatnas) untuk SEA Games 2019. Dalam ajang olahraga negara-negara Asia Tenggara itu, untuk pertama kalinya eSports bisa berkontribusi pada perolehan medali.

Ada enam medali yang diperebutkan dalam cabor eSports pada SEA Games 2019 di Manila, Filipina: Mobile Legends: Bang Bang, Arena of Valor, Dota 2, Starcraft II, dan Tekken 7.

"Jadi enggak ada diskriminasi... Kalau kemudian beda anggaran yang diberikan, ya jelas beda dong. Karena kami ada klaster-klaster," ujarnya.

Gatot menjelaskan, meskipun tidak disebut dalam undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional, pemerintah telah mengakui eSports sebagai olahraga karena memenuhi tiga unsur olahraga: Ada di seluruh dunia, kompetisi, dan sportivitas serta endurance (ketahanan).

Namun Kemenpora juga menyadari bahwa tingkat "kontroversi" eSports masih cukup tinggi di masyarakat. "Masih ada yang menganggap sebelah mata," imbuh Gatot.

Maka dari itu, ia mengatakan Kemenpora melakukan sosialisasi tentang eSports kepada masyarakat lewat acara-acara serta kampanye publik di media sosial.

"Enggak usah khawatir, nanti waktu lah yang membuktikan... recognition publik akan setara," kata Gatot.