Ilmuwan Setop Penelitian di Kutub Utara, Corona Lagi Penyebabnya

Beruang kutub di atas bongkahan es yang mencair di Kutub Utara.
Sumber :
  • heatingoil.com

Ilmuwan menghentikan penelitian tentang perubahan iklim di Kutub Utara. Penyebabnya, apalagi kalau bukan wabah Virus Corona COVID-19. Seperti diketahui, setiap tahun ada 150 ilmuwan iklim yang bekerja menggali jauh ke dalam gletser terbesar di Greenland.

Pekerjaan mereka rumit namun penting. Proyek yang dinamakan EastGRIP itu meneliti bagaimana aliran es di bawah gletser mendorong sejumlah besar es ke lautan, dan bagaimana hal itu berkontribusi pada naiknya permukaan laut. Tapi tahun ini pekerjaan itu akan terhenti. Aliran es tidak akan terukur.

Virus Corona menjadi alasannya. Dampak dari langkah-langkah penanggulangan wabah telah membuat penelitian tidak mungkin dilanjutkan. Greenland ditutup bagi warga asing.

Pemerintahnya khawatir bahwa wabah apa pun bisa sangat berbahaya bagi penduduk asli dan bisa dengan cepat membuat layanan kesehatannya kewalahan.

Kalau pun Greenland tetap dibuka bagi warga asing, sangat tidak mungkin membawa tim ilmuwan internasional secara bersama-sama ke lokasi yang jauhnya sekitar 1.000 mil (1.600 kilometer) dari bandara terdekat. Bayangkan jika salah satu dari mereka tiba-tiba sakit.

Pesawat transportasi yang biasanya menerbangkan pasokan kebutuhan mereka juga telah dikandangkan. Tidak ada yang mau bertanggung jawab apabila komunitas kecil dan terisolasi yang mereka bawa terinfeksi COVID-19.

Pergi tanpa hasil

Para ilmuwan pun kehilangan banyak hal. Mereka berharap dapat menyelesaikan penggalian lubang sedalam 2.660 meter yang telah mereka bor selama lima tahun terakhir, untuk kemudian bisa mengakses aliran es yang mereka buru selama ini.

“Kami sebenarnya berharap bisa mencapai batuan dasar di tahun ini. Sangat menarik, karena menggali ke bawah di mana aliran-aliran es berada menjadi sangat penting”, jelas Dorthe Dahl-Jensen, Profesor Es, Iklim dan Bumi di Universitas Kopenhagen yang sekaligus menjadi ketua dewan pengarah EastGRIP.

“Bagaimana sebenarnya es-es ini mengalir sebenarnya menjadi hal yang kita tunggu-tunggu selama lima tahun ini, dan apa yang akan terjadi tahun ini. Sekarang semuanya mundur dari target awal. Kita harus hidup tanpa hasilnya”, tambahnya.

Peralatan penelitian akan rusak

Ketika tim peneliti kembali tahun depan misalnya, maka data dan pemahaman yang mereka dapatkan selama ini akan hilang. Satu tahun lagi, salju akan mengubur lubang galian dan seluruh peralatan mereka. Ini berarti mereka akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk memperbaiki dan mengganti bangunan dan perangkat keras yang rusak.

Inilah masalah yang dihadapi oleh Dr. Ken Mankoff dan timnya di Survei Geologi Denmark dan Greenland. Pekerjaan mereka adalah memeriksa kesehatan lapisan es di Greenland dan memantau hujan saljU.

Mereka juga memiliki peralatan pemantauan di lapangan yang bisa saja gagal berfungsi, sehingga dapat menimbulkan kekosongan data yang sudah dikumpulkan selama bertahun-tahun. “Skenario terburuk adalah akan ada kekosongan data selama 12 bulan,” katanya.

“Beberapa dari data itu dapat diisi dengan menggunakan data satelit dan penginderaan jauh, namun bagian-bagian lain yang unik akan hilang”, tambahnya.

Karier ilmuwan junior terkena dampak

Dahl-Jensen dan Mankoff harus menunggu sampai mereka dapat kembali ke lokasi kerja masing-masing dan berharap hilangnya data tidak akan terlalu banyak merusak penelitian mereka.

Keduanya mengatakan untuk saat ini, mereka lebih bahagia tinggal di rumah sebagai upaya untuk menjaga diri sendiri, seluruh tim dan semua orang yang mereka temui dalam keadaan aman.

Tetapi bagi para ilmuwan muda, seperti mereka yang bekerja dengan pendanaan jangka pendek, dan mereka yang bekerja untuk kualifikasi akademik, hasil yang tidak maksimal adalah masalah yang jauh lebih besar. Generasi ilmuwan iklim berikutnya akan terkena dampak negatifnya.

“Ada rekan-rekan junior, dan ini akan berdampak signifikan pada karier mereka jika mereka tidak bisa mendapatkan data yang mereka butuhkan untuk proyek,” kata Mankoff. “Yang lain mungkin tidak sependapat, dan saya ragu mereka akan sependapat”, tambahnya.

Masa paling produktif di tahun ini

Seseorang yang juga sependapat dengan Mankoff adalah Dr. Joran Moen, Direktur University Center in Svalbard (UCIS) di Norwegia, sebuah lembaga pendidikan tinggi yang lokasinya paling utara di dunia. Atas peraturan dari pemerintah Norwegia, kampus ditutup dan pekerjaan lapangan dibatalkan. Dampaknya, sekitar 70 mahasiswa di Svalbard tidak dapat menyelesaikan penelitian lapangan yang berguna bagi gelar master atau PhD mereka.

“Masa transisi dari Maret hingga Juni adalah waktu yang sangat penting untuk memantau perubahan iklim di daerah tersebut,” katanya.

“Kami berada di bagian kutub utara dengan perubahan yang sangat dramatis karena suhu yang berubah dengan cepat. Ini menjadi tempat yang sangat bagus untuk bisa melihat bagaimana manusia dapat memengaruhi iklim serta dampaknya”, tambahnya.

“Mengenai kekosongan data, seluruh mahasiswa internasional di Svalbard juga akan mengalami masalah itu, yang tentu saja berdampak bagi penelitian kami. Bagi mahasiswa yang mengalami kehilangan sesuatu seperti ini dalam penelitian mereka adalah masalah besar,” jelas Moen.

Moen dan UCIS telah membuat sebuah ketentuan untuk melanjutkan kegiatan pendidikan sebaik mungkin. Proses belajar mengajar telah dipindahkan secara online, sementara perjalanan penelitian bebas risiko masih direncanakan. Dahl-Jensen dan Mankoff masih menunggu kapan mereka dapat kembali bekerja, begitu juga para ilmuwan iklim lain masih menunggu kapan mereka dapat melanjutkan penelitiannya. gtp/rap