Tren Gerakan Antipacaran Digital di Indonesia, Cukup Daftar Rp200 Ribu

Ilustrasi taaruf.
Sumber :
  • bbc

Gerakan antipacaran digital atau taaruf online mulai menjadi tren di Indonesia. Sebuah aplikasi taaruf dengan biaya pendaftaran Rp200 ribu, misalnya, digunakan sekitar 10 ribu laki-laki dan perempuan.

Taaruf online biasanya dilakukan dengan melalui perantara seperti teman, anggota keluarga, guru mengaji, atau kenalan lain yang bersedia menjadi mak comblang.

Namun, di era digital seperti sekarang, proses taaruf makin mutakhir. Kini peminat taaruf di Indonesia dapat memilih mencari calon pasangannya lewat aplikasi taaruf, media sosial, dan aplikasi pesan singkat seperti WhatsApp.

Taaruf menjadi salah satu elemen gerakan antipacaran yang lebih luas di Indonesia. Mereka yang menolak pacaran memandang pacaran sebagai hal yang dapat merusak generasi muda, terutama bagi perempuan.

Sementara kritik dari gerakan antipacaran menilai gerakan ini adalah salah satu contoh bergeraknya Indonesia ke arah yang lebih konservatif dari segi agama.

Di tengah pro kontra yang terjadi, tren taaruf online menarik minat ribuan laki-laki dan perempuan Indonesia.

Yanuar Ari Saputro misalnya, ia bertemu dengan istrinya, Zara Oktavianita, pada Juni tahun lalu melalui aplikasi taaruf.

Yanuar, seorang karyawan swasta di bidang teknologi informasi, mengaku mengetahui tentang taaruf dari film Ayat-Ayat Cinta yang tayang pada 2008. Di film tersebut, pemeran utama Fahri dijodohkan oleh Aisha melalui seorang ulama besar Mesir. Setelah taaruf atau berkenalan, keduanya menikah dalam waktu satu minggu.

`Banyak pintu` menuju jodoh

Namun proses taaruf yang dijalani Yanuar tidaklah semudah Fahri. Ia mengaku sudah mulai taaruf selama lebih dari dua tahun melalui "banyak pintu".

"Ada yang lewat titip CV (curriculum vitae) ke ustaz, ke teman. Saya dari remaja belum pernah pacaran sama sekali, Alhamdulillah," ujar pria berusia 30 tahun tersebut.

"Pacaran menunjukkan ketidakseriusan. Kalau (seseorang) pacaran, dia belum siap bertanggung jawab atas kehidupan seorang wanita dan dia tidak serius. Dia memandang wanita itu mungkin dari wajahnya saja, tapi tidak dari kepribadian sifat dan pemikirannya. Makanya saya kurang setuju dengan pacaran."

Hal yang sama juga dirasakan Zara, yang baru memutuskan taaruf tahun lalu. Sebelum mencoba mencari pasangan lewat aplikasi, Zara memutuskan untuk bergabung dengan sebuah grup WhatsApp taaruf yang dikelola oleh seorang ustaz dari sebuah pesantren.

Untuk bergabung dengan grup WhatsApp tersebut, Zara mengatakan bahwa calon peserta taaruf biasanya membayar biaya registrasi senilai sekitar Rp200 ribu.

"Biasanya di grup WhatsApp taaruf, kita joint, terus ada biaya registrasinya. Habis dari situ kita ikut kuliah mandiri atau online, setelah itu kita buat CV, kasih ke admin dan admin yang mencari sesuai kriteria itu," kata Zara.

Jika seorang peserta telah setuju menerima CV peserta lain, admin grup akan membuat grup terpisah dengan kedua peserta, dan admin, di dalamnya.

Dalam grup WhatsApp ini, peserta perempuan dan laki-laki ditempatkan dalam grup yang berbeda. Peserta taaruf laki-laki berjumlah sekitar 30 orang, sementara perempuan kurang lebih 100 orang.

"Jumlah perempuan memang lebih banyak dari laki-laki karena biasanya perempuan lebih siap untuk menikah langsung," ujar Zara.

Dari grup taaruf tersebut, tiga laki-laki telah datang ke rumah Zara di Bekasi dengan maksud nadzor, tahapan kedua dalam taaruf di mana laki-laki datang ke rumah orangtua perempuan dan mereka diperbolehkan melihat wajah dan anggota tubuh calon istri – hanya untuk bagian yang diperbolehkan dalam syariat Islam seperti wajah atau telapak tangan--setelah keduanya berkenalan.

Dalam tahapan ini, laki-laki dan perempuan juga bisa saling bertanya untuk melihat kecocokan di antara keduanya. Zara mengaku tidak cocok dengan ketiganya lantaran perbedaan pandangan soal rumah tangga.

Salah satu laki-laki, misalnya, ingin calon istrinya bekerja untuk membantu keuangan keluarga.

"Berdasarkan pemahaman saya, setelah menikah seorang istri itu memang kewajibannya di rumah. Jika dia ikut bekerja, berarti laki-laki itu kurang mengerti untuk tugas-tugas dan hak istri, jadi dia belum cocok sama saya," kata ibu rumah tangga berusia 25 tahun tersebut.

Kemudian, Zara tertarik bergabung dengan aplikasi Taaruf Online Indonesia, yang membuka stan di sebuah acara yang ia datangi. Setelah bergabung, Zara mengaku melihat puluhan profil laki-laki sebelum perhatiannya tertuju ke profil Yanuar.

"Saya buka banyak profil, tapi yang satu visi misi itu dia. Dia menulis ingin hidup sesuai dengan syariat Islam yang menyeluruh, membangun keluarga dakwah yang mencegah kemungkaran dan saling menasihati," ujar Zara.

Ia pun mengajukan CV ke Yanuar. "Saya sudah dua atau tiga bulan uninstall aplikasi itu, karena belum ada yang cocok. Ketika Juni 2019, saya di-WhatsApp adminnya, dia bilang ada yang mengajukan CV ke kamu, jadi saya install lagi," ujar Yanuar kepada BBC News Indonesia.

"Saya kaget. Aplikasinya sudah saya hapus, kok ada yang mengajukan [CV] ke saya berani juga ini perempuan. Lalu saya lihat, secara visi misi cocok”. Keduanya pun menikah pada September 2019, atau tiga bulan setelah Zara mengajukan CV-nya ke Yanuar.

Tren taaruf online

Zara dan Yanuar adalah satu dari enam pasangan yang menikah lewat aplikasi Taaruf Online Indonesia, yang diluncurkan hampir satu tahun lalu di Semarang.

Hingga kini, aplikasi tersebut telah diunduh sekitar 50 ribu kali dan mencatatkan 5.000 pengguna aktif bulanan, kata Rizki Awal, salah satu pendiri aplikasi.

"Ketika seseorang hijrah, mereka kadang tidak kenal dengan lawan jenis, maka mereka perlu perantara atau mediasi untuk memperkenalkan diri mereka ke orang lain. Kami jadi wadah untuk itu," kata Rizki.

Dilansir dari situsnya, aplikasi ini digunakan paling banyak di Semarang, disusul oleh Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bogor, dan Bandung. Jumlah pengguna perempuan, sekitar 5.345 orang, lebih banyak dari laki-laki yang berjumlah setidaknya 4.722.

Untuk menjadi anggota aplikasi ini, pengguna harus membayar Rp200 ribu. Biaya ini diberlakukan satu kali saat mendaftar sampai laki-laki datang ke rumah orang tua perempuan. Pengelola aplikasi ini mengemukakan sejumlah alasan mengenai adanya biaya pendaftaran.

"Pertama, ini bentuk keseriusan (seseorang). Lalu ongkos untuk mediator kita ke lokasi (rumah orang tua perempuan) karena seringkali ada beberapa pasangan yang ingin bertemu dan jarak dari rumah mediator bisa sampai 20 km, saya merasakan itu. (Alasan) yang ketiga, untuk biaya pengembangan aplikasi itu sendiri, untuk bayar adminnya, bayar pegawai sehari-hari. Tidak ada dalil untuk melarang (pengenaan biaya bagi proses taaruf), ini mubah, boleh," jelas Rizki.

Pengguna juga harus menyertakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk memastikan keaslian identitasnya, meski pendiri aplikasi ini mengaku belum memiliki metode untuk mengetahui catatan kriminal seseorang.

Dalam aplikasi ini, nama asli dan foto pengguna disamarkan supaya "yang pertama dicari bukan kecantikan atau kegantengan, melainkan inner beauty-nya atau sikapnya dalam sehari-hari," kata Rizki.

Ketika seorang pengguna tertarik pada sebuah profil, ia bisa mengajukan CV kepada orang tersebut. Jika diterima, maka kedua pengguna dapat saling melihat nama dan foto CV masing-masing.

Untuk mengajukan pertanyaan, komunikasi, dan menuju ke nadzor, aplikasi akan menyediakan mediator "untuk menghindari orang-orang yang cuma ingin sekadar kenalan tapi tidak menikah," kata Rizki.

Kehadiran perantara ini membuat aplikasi taaruf berbeda dengan Tinder, OkCupid, atau aplikasi percintaan lainnya, di mana seorang pengguna dapat langsung berkomunikasi dengan pengguna lain jika satu sama lain tertarik.

"Pacaran itu kan sesuatu yang umum, (lalu) muncul aplikasi taaruf ini. Di dunia, ada aplikasi Tinder, tapi kita muncul dengan sesuatu yang berbeda dengan platform yang beda. Bagi saya taaruf itu bukan sesuatu yang konservatif tapi wajah dinamika dalam Islam, ini adalah solusi bagi pernikahan seseorang," kata Rizki.

Bertemu jodoh melalui media sosial

Tren taaruf digital tidak hanya dilakukan lewat aplikasi, namun juga lewat Instagram. Natta Reza, seorang selebgram dengan jumlah pengikut 1,4 juta, mengaku bertemu dengan istrinya, Wardah Maulina, lewat aplikasi berbagi foto itu.

Pada Desember 2016, Wardah, yang juga seorang selebgram dengan 1,4 juta pengikut, menyukai sebuah foto yang diunggah Natta.

"Ketika saya buka notifikasi, saya tidak menyangka akan tertuju pada like dari Wardah dan di foto profilnya, Wardah tidak menunjukkan wajahnya. Cuma hati saya tergerak ingin membuka siapa yang nge-like ini. Saya dibuat kagum dengan tulisan sederhana, yang dia tulis di (profilnya)," kata Natta.

Dalam profilnya, Wardah saat itu menulis bahwa ia "hanya wanita biasa bercita-cita menikah muda."

"Kata-kata `bercita-cita nikah` buat aku sangat mulia sekali. Wardah, di balik pendidikannya seorang desainer, tapi dia bercita-cita hanya menikah, bukan jadi seorang desainer. Bagi aku itu spesial," kata Natta.

Natta pun segera mengirim pesan singkat pertamanya ke Wardah, yang langsung berisi ajakan untuk menikah. Dua bulan kemudian, keduanya resmi menjadi pasangan suami istri.

Gerakan menolak pacaran

Taaruf digital merupakan salah satu elemen dari gerakan antipacaran yang lebih luas di Indonesia. Para pendukungnya termasuk kelompok Indonesia Tanpa Pacaran; influencer di Instagram; sampai sejumlah pendakwah yang naik pamor lewat konten mereka di media sosial.

Mereka yang menolak pacaran memandang pacaran sebagai hal yang dapat merusak generasi muda, terutama bagi perempuan.

Laode Munafar, pendiri Indonesia Tanpa Pacaran, mengatakan bahwa kurangnya aturan baku soal bersikap dalam pacaran berpotensi menimbulkan kekerasan antara laki-laki dan perempuan.

"Kekerasan suami dalam pernikahan ada 192 (kasus), kekerasan dalam pacaran itu 1.528 (kasus), itu data yang banyak.Hasilnya, lebih dari 50 persen jenis kekerasan (terhadap perempuan) itu berawal dari pacaran," kata Laode, yang mengutip data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, tahun 2007.

Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2019, kekerasan suami terhadap istri justru menempati peringkat pertama kasus kekerasan terhadap perempuan, sama dengan tahun-tahun sebelumnya, dengan 5.114 kasus, disusul oleh kekerasan dalam pacaran yang sejumlah 2.073 kasus.

Dalam bukunya, Indonesia Tanpa Pacaran, Laode berpendapat bahwa pacaran merupakan budaya Barat yang tidak sesuai dengan adat ketimuran di Indonesia.

Laode mengatakan, pelaku zina dalam hukum Islam dapat dikenakan hukuman 100 kali cambuk atau dirajam. `Indonesia yang bebas dari pacaran hanya dapat diwujudkan jika negara menerapkan syariat Islam`.

Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran ingin menetapkan tanggal 14 Februari, yang identik dengan Hari Valentine, sebagai hari tanpa pacaran di Indonesia, dan telah menargetkan untuk menghapus pacaran dari Indonesia pada tahun 2024.

"Ini butuh pergerakan opini, butuh kerja keras kita. Kerusakan pacaran itu tidak hanya merusak Muslim, tapi juga merusak generasi Indonesia secara umum," kata Laode kepada BBC News Indonesia di kantornya di Kendari, Sulawesi Tenggara.

Untuk menggerakkan opini masyarakat, Laode telah menetapkan beberapa target untuk kelompoknya seperti mengunggah konten di Instagram setiap 30 menit; menambah 3.000 pengikut di kanal Facebook dan Instagram setiap harinya; serta target pribadinya untuk menulis 1.000 buku dalam waktu 50 tahun mendatang.

Konservatisme di Indonesia

Kritik dari gerakan antipacaran menilai bahwa gerakan ini adalah salah satu contoh bergeraknya Indonesia ke arah yang lebih konservatif dari segi agama.

"Yang aku waspadai adalah sebenarnya orang-orang yang kontra (dengan Indonesia Tanpa Pacaran) dan banyak yang bilang kalau gerakan kecil dan insignifikan ini tidak perlu diperhatikan," kata Dhyta Caturani, pendiri kelompok feminis Purplecode dan aktivis akar rumput pemerhati masalah keadilan dan demokrasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil.

"Padahal buat aku ini justru berbahaya kalau lepas dari perhatian kita. Meskipun kecil, dia adalah satu dari mata rantai, dari satu rantai besar, desain besar, dari konservatisme yang akan membawa Indonesia ke jalan yang kita tidak tahu mau dibawa ke mana, tetapi yang pasti bukan ke arah yang baik."

Sementara itu, Neng Dara Affiah, dosen di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan aktivis hak perempuan, mengatakan bahwa kemunculan gerakan antipacaran merupakan buah dari kompetisi di berbagai aspek yang membuat lebih banyak orang berpaling ke agama untuk dijadikan pegangan.

"Ini gejala dunia. Ada kepanikan moral, disorientasi, sehingga agama menjadi pegangan. Ini bagian dari satu era yang tunggang langgang. Kompetisi begitu kuat dan orang harus mencari pegangan, terutama di era demokrasi liberal seperti ini," kata Neng Dara.

Penulis buku "Islam, Kepemimpinan, Perempuan, dan Seksualitas" itu memandang bahwa pacaran tidak selalu berbuah negatif karena dalam proses ini seorang laki-laki dan seorang perempuan dapat mengenali calon pasangannya lewat diskusi dan obrolan, serta menguatkan koneksi batin antara keduanya sebelum menuju jenjang pernikahan.

"Yang agak saya tentang dari (Indonesia Tanpa Pacaran), kalau kita berinteraksi dengan orang itu ada interaksi batin karena hubungan pernikahan itu tidak cuma hubungan fisik," kata Neng Dara.

"Taaruf tidak usah jadi gerakan, atau Indonesia Tanpa Pacaran. Yang mau pacaran ya pacaran, yang tidak mau ya tidak usah pacaran, tidak harus jadi gerakan apalagi dikait-kaitkan dengan agama."

Selain itu, mudahnya proses taaruf saat ini dikhawatirkan akan meningkatkan jumlah pernikahan anak mengingat banyak anak di bawah umur saat ini yang sudah memiliki telepon pintar.

Hal ini dinilai berlawanan dengan upaya pegiat hak perempuan untuk meningkatkan batas usia pernikahan bagi perempuan dari 19 tahun menjadi 20 tahun ke atas.

"(Saya) khawatir. Mungkin kalau ada CV bisa diketahui umurnya, tanpa pengetahuan itu mengkhawatirkan betul. (Pernikahan anak) akan merusak generasi muda perempuan, dan merusak masa depan mereka," kata Neng Dara.

Target Indonesia Tanpa Pacaran untuk menghilangkan pacaran dari Indonesia pada 2024 juga dinilai sangat ambisius lantaran tidak sedikit anak muda di Indonesia yang berpandangan progresif.

"Kita tidak bisa melihat Indonesia sesederhana itu. Indonesia tidak monolitik, Indonesia itu tidak tunggal, banyak sekali keberagaman di Indonesia ini, jadi buat aku, 2024, Indonesia tanpa pacaran itu suatu hal yang sangat mustahil, sangat tidak mungkin," kata Dhyta.

"Dalam setiap situasi yang represif pasti akan ada orang-orang yang melawan, dan aku yakin banyak anak-anak muda yang melawan (pesan) itu, bahwa Indonesia masih dengan pacaran."