Tragis! PRT Dipecat lewat WhatsApp, Padahal Lagi Virus Corona

WhatsApp dalam mode gelap (dark mode).
Sumber :
  • Instagram/@dailyinfotech

Dipecat lewat aplikasi pengirim pesan, dirumahkan tanpa digaji, lalu tidak dapat tunjangan hari raya (THR) atau pesangon, para pekerja rumah tangga (PRT) kini berjuang untuk bertahan hidup hari demi hari dalam lilitan utang di tengah kerasnya tekanan hidup di Jakarta.

Mereka harus membayar sewa kontrakan, listrik, air, cicilan, makan sehari-hari, hingga membantu keluarga di kampung,

Tidak adanya kerangka hukum untuk melindungi PRT kerap disebut sebagai akar masalah. Mereka tidak dianggap sebagai pekerja formal sehingga berada dalam ruang gelap yang menimbulkan apa yang disebut pengamat ketenagakerjaan `perbudakan modern`.

Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan mengaku belum menerima laporan pemecatan sepihak para PRT di tengah wabah virus corona dan meminta para pekerja itu untuk melapor agar pemerintah bisa hadir memberikan fasilitas kepada mereka.

Sementara itu, DPR menyebut telah memasukkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT yang mangkrak 15 tahun ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas dan diharapkan akan segera disahkan pada akhir masa sidang ketiga.

Beberapa PRT berbagi kisah mereka kepada wartawan BBC News Indonesia Raja Eben Lumbanrau, bagaimana pengalaman mereka dipecat sepihak dan berjuang bertahan hidup di kerasnya Jakarta tanpa ada pekerjaan.


Merry: Kerja enam tahun, di-PHK sepihak lewat WhatsApp

Merry, bukan nama sebenarnya, telah bekerja sebagai pengasuh anak selama enam tahun di salah satu keluarga selebriti Indonesia.

Asam manis perlakuan keluarga itu ia terima dengan ikhlas walaupun ia bekerja tanpa adanya kontrak kerja. Namun, akibat pandemi virus corona, ia dipecat sepihak hanya melalui WhatsApp.

Merry hanya mendapat upah delapan hari kerja dan tiga hari lembur di bulan Maret tanpa THR atau pesangon.

"Saya berkorban dan kerja susah payah. Sampai ke rumah mereka jam setengah 7 pagi, pulang jam 8-9 malam. Saya memberikan hati saya, dan sayang dengan anak mereka. Tapi langsung dilupakan begitu saja, terus diblokir WA saya. Sedih banget.

"Seperti mengambil kesempatan dalam kesempitan banget. Kami perantau, butuh makan, bayar sewa kontrakan, biaya anak. Tapi diperlakukan seperti ini," katanya.

Merry yang kala itu mendapatkan gaji Rp3 juta per bulan bersama Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) akan menuntut haknya yang diabaikan, diawali dengan jalur mediasi dan mungkin akan memikirkan untuk menempuh jalur hukum.

"Saya memperjuangkan hak saya bukan untuk saya semata. Tapi untuk pelajaran bagi mereka, para majikan untuk tidak semena-mena dengan para pekerja karena kami juga manusia, kami bekerja profesional," katanya.


Sri Herni: Pemasukan nol, utang jutaan rupiah

Sri Herni diberhentikan dari pekerjannya pada Maret lalu sebagai pengasuh anak di keluarga warga negara asing yang pulang ke negaranya akibat wabah virus corona.

Sudah tiga bulan ia menganggur. Dua bulan lebih ia habiskan untuk tinggal di kampung dan baru sepuluh hari ini kembali ke Jakarta.

Sri Herni yang telah berpisah dengan suami belasan tahun lalu kini tinggal di Cilandak, Jakarta Selatan.

Tiap bulan, ia harus membayar sewa rumah Rp700 ribu per bulan dan mengirim uang ke kampung untuk anak dan orang tuanya sebesar Rp2-3 juta per bulan. Di tabungannya, kini hanya tersisa Rp70 ribu.

"Saya tidak punya uang sama sekali sekarang. Saya ke tempat kakak dan adik saya di Pasar Minggu untuk menumpang makan. Saya juga berutang ke teman-teman, sudah Rp1 juta lebih.

"Saya sedih tapi saya harus kuat menghadapi kehidupan ini. Saya hanya pasrah dan berdoa untuk menghadapi kehidupan saya dan teman-teman saya yang banyak di-PHK dengan adanya wabah corona ini. Virus belum berakhir jadi belum ada pekerjaan," kata Sri Herni diiringi tangis.

Ponitiara: Menyambung hidup dari bantuan lingkungan rumah

Sebelum wabah virus corona menghantam Indonesia, Ponitiara masih bisa bekerja sebagai PRT di dua tempat dengan pendapatan lebih dari Rp4 juta per bulan.

"Kunci rumahnya diminta, saya dikasih gaji bulan itu, terus mereka bilang terima kasih. Sudah begitu saja, THR, pesangon dan lainnya tidak ada," kata Ponitiara.

Kini sudah tiga bulan dia tidak bekerja. Sudah lima kali wawancara kerja dan tidak ada kejelasan.

"Setiap hari tiduran, nonton TV, mengobrol dengan tetangga, begitu saja setiap hari," katanya.

Kini ia beserta satu anaknya bertahan hidup dari bantuan RT, RW, dan perkantoran di lingkungan tempat tinggal. "Mau coba jualan tapi tidak punya kendaraan, transportasi umum juga terbatas," tambahnya.

Bagi Ponitiara, Lebaran tahun ini sangat menyedihkan, ungkapnya, "Kemarin rencana mau pulang kampung, kangen sama orang tua. Tapi keadaan begini, mau pulang juga tidak ketemu orang tua karena harus dikarantina. Sudah bertahun—tahun saya tidak pulang," ujar Ponitiara sambal menangis.

Ia pun belum punya jawaban bagaimana cara membayar tagihan-tagihan mendatang seperti sewa kontrakan, air, listrik, dan mengirim uang untuk kebutuhan orang tua di kampung.

"Saya selalu berdoa semoga Covid berakhir dan semua bisa beraktivitas seperti semula," harapnya.


Ibu empat anak tanpa suami, Yuni: `Utang saya sudah Rp2 juta`

Yuni Sri Rahayu kini masih dapat bekerja sebagai PRT dengan upah Rp1,5 juta per bulan. Sebelumnya, ia bisa mendapatkan sekitar Rp4,4 juta per bulan yang berasal dari dua tempat kerja.

Namun, pendapatan sekarang tidak cukup karena Sri harus membayar semua kebutuhan empat orang anaknya seorang diri tanpa suami. Ia pun kini berjualan untuk menyambung hidup.

Mulai dari bayar kontrakan Rp1,2 juta per bulan, biaya sekolah anak di swasta Rp330 ribu, biaya makan sehari-hari sebesar Rp50 ribu, cicilan motor hampir Rp900 ribu dan cicilan telepon genggam Rp300 ribu.

Ia pun kini telah memiliki utang ke teman mencapai Rp2 juta dan akan terpaksa kembali berutang karena penghasilannya tidak cukup.

"Lebaran tahun ini sangat menyedihkan. Cari kerja saja susah bagaimana berharap dapat THR dan lainnya. Berat banget tahun ini.

"Masa Covid ini saya banyak utang makanya saya harap cepat kembali normal biar gaji kembali normal, dapat kerja, dan bayar utang-utang saya," tambahnya.


Rustinah: `PRT gampang sekali dipecat, kami tidak bisa apa-apa`

Rustinah dipecat sejak Maret lalu. Ia merasa sedih dan kecewa karena dapat dengan mudah dipecat tanpa bisa menuntut hak-haknya sebagai pekerja.

"Ibu bilang, mbak tidak usah telepon atau kasih kabar saya. Nanti tunggu kabar dari saya. Saya panggil lagi atau tidak nanti saya kabari lagi," kata Rustinah.

Tidak ada kontrak kerja antara Rustinah dan majikannya, dan juga dialami oleh banyak PRT lainnya.

Kesepakatan tercipta hanya dari ucapan. Artinya, tidak ada perjanjian tertulis antar kedua pihak, jika salah satu pihak melakukan pelanggaran kerja.

"Kami itu seperti tidak dianggap Mas, dipekerjakan lewat ucapan dan dipecat dengan ucapan," katanya.

Rustinah dan keluarga memenuhi kebutuhan hidup dari bantuan sanak saudara dan pemerintah.

"Tapi tetap saya harus berutang ke saudara saya. Cicilan motor nunggak dua bulan, bayar listrik, buat makan dan kebutuhan sehari-hari.

"Dapat sih bantuan dari pemerintah, tapi mau masak kan beli gas? Pakai listrik, beli air, dan lainnya," tambahnya.


Survei Jala PRT: Banyak PRT dipecat dan dirumahkan

Jala PRT melakukan survei singkat terhadap sekitar 600 PRT yang terdampak pandemi.

Hasilnya, mayoritas mereka dipecat dan dirumahkan tanpa upah atau dengan upah yang berkurang.

"Sebanyak 53 orang di-PHK . Lalu, 218 orang dirumahkan dan tidak bekerja sama sekali tanpa upah atau diberikan upah 25 hingga 50 persen ," kata Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jala PRT.

Sisanya, mengalami kehilangan satu atau dua pekerjaan namun masih dapat bekerja di tengah wabah Covid-19.

Lita menambahkan, banyak dari para PRT tersebut tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Sebabnya, karena PRT belum diakui sebagai pekerja formal sehingga PRT tidak masuk dalam data pekerja pemerintah.

"Mayoritas PRT, KTP-nya daerah dan tinggal di kota sehingga PRT tidak terdaftar dan mengakses bansos dari pemerintah. Padahal mereka adalah pekerja dan warga negara yang pendapatannya terendah antara 20 hingga 30 persen dari UMR," kata Lita.

Sistem PRT: Sistem feodal menjadi `perbudakan modern`

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gajah Mada Tadjudin Nur Effendi menilai perlakuan terhadap PRT adalah bentuk dari perbudakan modern.

"Tuannya belum tidur, dia masih tetap kerja. Tuannya belum bangun, dia sudah bangun. PRT itu jadi obyek eksploitasi. Mereka tidak ada kontrak kerja, tidak ada jam kerja, tidak ada perlindungan kerja, dan rawan kekerasan, kadang gajinya ditahan. Diperlakukan seenak majikan. Itukan seperti perbudakan modern," Kata Tadjudin.

Tadjudin melanjutkan para PRT bekerja tanpa ada perlindungan kerja dan termasuk sebagai pekerjaan informal sehingga rawan terjadinya pelanggaran kerja.

"PRT tidak dibutuhkan ya sudah pecat saja, segampang itu. Kamu tidak usah bekerja lagi besok, selesai. Tidak ada pesangon, dan lainnya," katanya.

Dilihat dari sisi sejarah, lanjut Tadjudin sistem PRT di Indonesia berlangsung dari era penjajahan Belanda, dengan sistem feodal yang dikuasai oleh kaum bangsawan.

"Orang dari desa, miskin, istilah bahasa Jawa, ngenger [ikut orang lain] ngalap berkah. Jadi dibayar atau tidak yang penting dapat perlindungan secara sosial.

"Kemudian berkembang terus hingga sekarang, PRT dianggap tidak penting, dipekerjakan dari mulut ke mulut, Apalagi PRT itu adalah ibu-ibu dari kampung, miskin, pendidikan rendah, pengetahuan terbatas yang sebenarnya pemerintah punya tanggung jawab melindungi mereka," kata Tadjudin.

Tadjudin menambahkan, PRT yang bekerja di kota besar dan negara lain memiliki peran penting dalam memperjuangkan kemiskinan di kampung mereka masing-masing.

"Di daerah tempat PRT itu berasal, saya tanya uang yang dikirim untuk apa? Untuk pendidikan anak, kesehatan anak, biaya rumah tangga. Itu kontribusi besar sekali untuk perbaikan rumah tangga di desa, bagi orang-orang miskin," tambahnya.

RUU Perlindungan PRT mangkrak?

Keluhan para PRT itu berujung pada satu akar permasalah yaitu belum disahkannya RUU Perlindungan PRT (PPRT) hingga saat ini, hampir sekitar 15 tahun mangkrak.

Dengan disahkannya RUU tersebut, PRT akan mendapatkan perlindungan dan dianggap sebagai pekerja yang haknya dilindungi oleh UU.

"Perbudakan saja ada aturannya. Ini PRT tidak ada. Jadi menurut saya RUU itu harus segera disahkan," katanya.

Apalagi, berdasarkan data dari Organisasi Buruh Internasional (ILO), jumlah PRT di Indonesia pada tahun 2015 sekitar 4 juta orang meningkat dari tahun 2008 sebesar 2,6 juta.

Dari jumlah tersebut, pada tahun 2015, terdapat 3,35 juta PRT tidak menginap, dan 683 ribu PRT yang menginap di rumah majikan.

Lima daerah terbesar asal PRT yaitu Jawa Barat dengan 859 ribu orang, Jawa Timur 779 ribu orang, Jawa Tengah dengan 630 ribu, Jakarta 481 ribu, dan Banten dengan 244 ribu orang

RUU P-PRT: Akan dibawa ke sidang paripurna

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PPRT di DPR Willy Aditya mengatakan, RUU PPRT yang masuk dalam Prolegnas 2020 akan segera dibawa ke sidang paripurna pada masa Persidangan Ketiga tahun 2020.

"Insya Allah masa sidang ini (RUU PRT) akan kita bawa ke paripurna. Kan sudah masuk prolegnas prioritas dan Panja-nya sudah terbentuk," kata Willy.

Willy yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Legislatif DPR ini menjelaskan RUU PPRT sangat dibutuhkan karena merupakan wadah perlindungan bagi setiap warga negara, khususnya PRT yang rentan mengalami eksploitasi dan diskriminasi.

Willy menambahkan RUU ini merupakan inisiatif Baleg setelah mangkrak 15 tahun. Salah satu kendala mengapa RUU ini tak kunjung diselesaikan karena ada kesenjangan kultural antara urban dan rural.

"Ada ketakutan terbesar kalau PRT diformalkan maka status mereka akan seperti apa? Lalu peran negara bagaimana? Karena selama ini proses rekrutmen dari mulut ke mulut, turun temurun, orang ke orang.

"Apalagi rumah tangga itu bukan perusahan, bukan objek hukum. Tapi yang utamanya adalah tentang status dan kedudukan dengan titik berat perlindungan. Itu pintu masuk agar RUU ini bisa disahkan, perlindungan termasuk PRT adalah hak dari setiap warga negara," tambah Willy.

Perlindungan PRT diatur dalam Peraturan Menteri

Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Kementerian Ketenagakerjaan, Aris Wahyudi menyebut terdapat aturan hukum yang melindungi para PRT, yang tercantum dalam Peraturan Menteri (Permen) Ketenagakerjaan RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

"Mengatur perlindungan PRT termasuk juga perusahan agensi. Namun demikian, masih ada perbedaan persepsi apakah rumah tangga [PRT] masuk kategori tempat kerja atau tidak sehingga pengawasannya kini diserahkan kepada lingkungan.

"Artinya, jika ada [PHK] sepihak, ini tantangan kita untuk melaporkan kepada aparat setempat. Pengawasannya dalam Permen itu yang dimintakan tolong ke lingkungan setempat RT, RW sampai aparat, lembaga penyalur dan dinas ketenagakerjaan kabupaten, kota dan provinsi," kata Aris.

Disinggung tentang RUU PPRT, Aris menambahkan, perlunya diperhitungan pengaruh sosial kultural di Indonesia tentang PRT.

"PRT kita yang sebelumnya bahasanya menolong, membantu, sanak saudara, terus jadi harus menyediakan tempat, upah seperti di luar negeri. Secara pribadi, kita belum sampai ke sana. Jadi ke depan kita membuat sesuatu yang ujungnya perlindungan PRT dan juga memperhatikan perlindungan bagi rumah tangga," kata Aris.

Kemenaker: Kami belum dapat data dan laporan

Kementerian Ketenagakerjaan, lanjut Aris, hingga kini belum mendapatkan data dan informasi terkait pemecatan sepihak rumah tangga kepada PRT tersebut.

"Kita harapkan berbagai lapisan masyarakat ketika ada masalah ketenagakerjaan itu ya mbok pada melapor sehingga pemerintah bisa hadir memfasilitasi.

"Jadi PHK sepihak itu apakah betul karena dampak Covid, karena majikan tidak mampu membayar lagi, atau karena apa? Itukan harus dibicarakan secara baik-baik dengan pekerja, diselesaikan secara baik-baik. Ibarat masuk baik-baik, keluarnya juga kan harus baik-baik," tambah Aris.

Aris pun menambahkan perselisihan kerja antar PRT dan yang memperkerjakan dapat diselesaikan dengan kekeluargaan karena menyangkut urusan moral dan kemanusiaan.