Wacana Penyamaan Tarif Telekomunikasi, Indonesia Bukan Negara Sosialis

Ilustrasi Menara BTS.
Sumber :
  • flickr.com

VIVA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) secara tegas menolak penetapan penyamaan tarif atau fixed price untuk semua operator telekomunikasi di seluruh Indonesia. Sebab, penerapan satu harga untuk seluruh layanan telekomunikasi dinilai tidak mencerminkan persaingan usaha yang sehat.

"Penciptaan persaingan usaha yang sehat sudah ada di dalam UU Persaingan Usaha. Masa kita mau mundur seperti zaman Orde Baru yang semua dikontrol oleh negara? Indonesia bukan negara sosialis," kata Komisioner KPPU, Kodrat Wibowo, belum lama ini.

Ia melanjutkan, fungsi pasar di industri telekomunikasi sudah berjalan dengan baik, sehingga jika ada pihak yang menginginkan tarif seragam maka mereka meniadakan semangat persaingan usaha yang sehat. "Justru, kalau fixed price berdampak kurang bagus untuk persaingan usaha serta bertentangan sama UU. Kami tidak akan pernah setuju fixed price," tegasnya.

Kodrat melanjutkan, saat ini layanan telekomunikasi bukan lagi sebagai barang publik yang sepenuhnya dikuasai oleh negara. Penetapan harga pun sudah diserahkan pada mekanisme pasar. Ini dibuktikan dengan sudah ada beberapa badan usaha yang menyelenggarakan layanan telekomunikasi dan memberikan tarif beragam.

"Penetapan satu tarif untuk layanan telekomunikasi di seluruh Indonesia tidak mungkin diwujudkan karena terdapat juga keberagaman dalam hal luas wilayah yang dilayani dan infrastruktur yang tergelar antara satu operator dengan operator yang lain," jelasnya.

Kondisi ini, kata Kodrat, menunjukkan masing-masing operator telekomunikasi memiliki target penggelaran infrastruktur beragam antara satu dengan yang lain, kecuali, negara ambil bagian dengan menentukan target penggelaran infrastruktur kepada seluruh operator dalam rangka meminimalisir perbedaan target tersebut.

"Kami hanya akan mendukung penetapan formula tarif batas atas yang terjangkau bagi masyarakat. Tujuannya agar pelaku usaha menetapkan harga sesuai harga kewajaran yang tidak merugikan masyarakat," ungkap dia.

Meski begitu, Kodrat mempersilakan regulator telekomunikasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), untuk membuat standar kualitas layanan agar para operator ini dapat menetapkan harganya sesuai dengan kualitas layanan yang akan diberikan kepada masyarakat.

Karena, biaya yang dikeluarkan oleh operator dalam memenuhi standard kualitas layanan adalah komponen penting dalam pembentukan harga yang nantinya akan ditawarkan ke konsumen. "Jadi, harga yang diberikan ke masyarakat sesuai dengan standard kualitas layanan yang akan diberikan operator ditambah dengan margin yang wajar," paparnya.

Sementara itu, Indra Maulana selaku Kepala Bagian Hukum dan Kerja Sama Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kominfo, mengaku tidak dalam posisi untuk memihak ke siapapun.

Menurutnya, pembangunan harus bersifat adil tidak hanya kepada konsumen tetapi juga kepada operator. Di satu sisi pemerintah wajib melindungi konsumen, sedangkan di sisi lainnya, pemerintah juga harus menjaga keberlangsungan industri telekomunikasi.

"Berbeda dengan infrastruktur jalan dan jembatan yang dibangun dengan pembiayaan dari APBN. Infrastruktur telekomunikasi yang dinikmati masyarakat dibiayai secara mandiri oleh industri tanpa melibatkan APBN. Bahkan, pembiayaan USO (Universal Service Obligation) berasal dari iuran 1,25 persen pendapatan masing-masing operator telekomunikasi," tutur Indra.