Ada yang Lebih Mematikan dari COVID-19

Virus Corona COVID-19 mengubah tatanan kehidupan manusia di Bumi.
Sumber :
  • vstory

Ada yang lebih mematikan dari Virus Corona COVID-19 di negara ini. Asalnya bukan dari penyakit melainkan oleh manusia.

Ya, setidaknya 12 orang meninggal dunia di tangan petugas keamanan yang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang ketat di Uganda yang bertujuan menahan penyebaran COVID-19.

Wartawan BBC Patience Atuhaire menemui mereka yang terdampak kekerasan tersebut. Joyce Namugalu Mutasiga berbicara sembari memasak kue dadar di atas tungku kayu. Kata-katanya pendek, diselingi jeda panjang.

“Ia menghindar, dan mereka menembaknya. Sekurangnya mereka bisa minta maaf, karena hidupnya tak akan kembali. Sekarang aku harus berjuang membesarkan anak-anak sendirian,” katanya.

Perempuan 65 tahun ini kini pencari nafkah utama untuk tujuh anggota keluarganya. Dua orang cucunya, tiga dan lima tahun, terlalu muda untuk paham skala persoalan yang menimpa mereka.

Keduanya berlarian di halaman sambil menunjuk mobil ayah mereka. Pada bulan lalu, tepatnya tiga minggu sesudah ditembak oleh polisi Uganda, Eric Mutasiga meninggal dunia karena luka yang dideritanya.

Momen terakhirnya adalah di meja operasi di Rumah Sakit Mulago, kata ibunya. Kepala sekolah berusia 30 tahun itu salah satu yang diduga jadi korban meninggal dunia di tangan petugas keamanan yang menegakkan aturan pembatasan saat pandemi.

Yang bertanggungjawab terhadap pembunuhan ini dipercaya adalah polisi, tentara dan anggota pasukan sipil bernama Local Defence Unit (LDU).

Sejak Maret, mereka bekerja sama menjaga blokade jalan untuk memastikan orang dan ojek online (yang dikenal di Uganda dengan nama boda bodas) untuk patuh pada pembatasan gerak mulai Maghrib hingga dini hari.

Masalah datang kepada Eric Mutasiga pada 13 Mei 2020. Selain mengepalai sebuah SD, ayah tiga anak itu punya sebuah toko kecil di samping rumahnya di Mukono, satu jam dari ibu kota Kampala. Pada Rabu itu, polisi dan anggota LDU menahan orang yang melanggar aturan karena masih bekerja di atas jam 7 malam.

“Anda bukan atasan saya,” tegas Eric. Karyawan toko milik Mutasiga baru saja ditahan. “Saya memohon kepada polisi untuk melepaskan karyawan saya itu. Mereka lalu berdebat sendiri apakah akan melepaskannya,” kata Mutasiga kepada wartawan.

Getty Images
Aparat keamanan Uganda diterjunkan untuk menegakkan aturan pembatasan dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19.

Lalu orang-orang berkumpul dan suasana memanas. “Salah seorang polisi berkata bahwa saya bukan atasannya. Ia bilang bisa saja menembak saya”.

“Saat saya berpaling akan pergi, salah satu polisi menembak ke udara. Saya berputar untuk melihat apa yang terjadi, dan saya lihat dia mengarahkan senjata ke saya”.

“Pelurunya menembuk kaki kiri saya dan saya jatuh. Mereka lalu naik ke atas motor mereka dan pergi”. Ini disampaikan Mutasiga saat ia dibawa dengan kursi roda ke rumah sakit. Polisi tidak memverifikasi keterangannya.

Keluarga berharap Mutasiga akan pulih seperti sedia kala. “Kami tinggal di rumah sakit menunggu pembedahan. Namun setiap kali kami tanya, petugas kesehatan bilang mereka tak bisa mengoperasinya,” kata ibunya.

Mutasiga akhirnya dibawa ke meja operasi tanggal 8 Juni, dan meninggal di sana. Sertifikat kematian menyatakan ia meninggal dunia akibat luka tembak di kakinya.

Ibunda Eric Mutasiga, Joyce, berkata, “anyak yang menyarankan saya ke pengadilan. Tapi polisi tidak mengungkap identitas penembak. Siapa yang harus saya tuntut?”

Meninggal dunia di pelukan

Farida Nanyonjo sangat marah lantaran adiknya Robert Senyonga, meninggal dunia akibat dipukuli.

Tengah hari pada 7 Juli, ia menerima telepon dari atasannya. Katanya, ia harus segera ke kota Jinja karena adiknya, Robert, dipukul berkali-kali dengan gagang pistol oleh seorang yang dipercaya sebagai anggota LDU.

Pemukulan itu membuat tengkorak Robert retak. Farida tiba malam hari dan membawa Robert ke rumah sakit di ibu kota.

“Kami tiba di Mulago pukul 2 pagi dan menghabiskan malam di lantai bangsal rumah sakit. Saya minta kamar kepada petugas kesehatan, tapi malah dimintai uang. Adikku akhirnya dikasih tempat tidur pagi harinya,” kata Farida.

Dua hari kemudian, Robert Senyonga dapat jadwal untuk operasi, tapi terlambat. “Saya murka. Mereka memukulinya, dan rumah sakit paling top di negeri ini bahkan tak bisa memberi perawatan yang pantas,” kata Farida.

“Adikku meninggal dunia di pelukanku!”

Sistemik

Sejak pembentukan di awal 2000-an, LDU sudah punya reputasi buruk. Anggotanya sering dituduh melakukan pembunuhan tanpa proses pengadilan, atau menjadi tukang tembak sewaan.

Akhirnya mereka dibubarkan. Maka dari itu warga Uganda keberatan ketika LDU dihidupkan lagi tahun 2018.

LDU dikritik karena dianggap memberi senjata kepada orang-orang muda yang tak terlatih, yang tak mampu juga meredakan konflik di tengah konfrontasi.

Presiden Yoweri Museveni dan pejabat tinggi lain mengutuk pembunuhan-pembunuhan itu.

Namun ketika BBC mengontak beberapa lembaga keamanan terkait, tak ada yang bersedia memberi pernyataan.

Kelompok pembela hak asasi manusia khawatir masalah ini bersifat sistemik.

“Kami menemukan bahwa petugas keamanan menggunakan Covid-19 sebagai alasan untuk melanggar hak asasi manusia,” kata Oryem Nyeko, seorang peneliti di Human Rights Watch.

Pihak keluarga korban menyatakan proses hukum terlalu rumit untuk dijalani. Namun ada dua kisah sukses prosekusi dalam lima bulan terakhir. Satu kasus melibatkan tentara, satu lagi melibatkan anggota LDU.

Tak kembali

Tentara yang membunuh suami Allen Musiimenta dihukum penjara 35 tahun oleh pengadilan militer sesudah dinyatakan bersalah, empat hari setelah peristiwa itu.

Namun Allen tak puas. “Si pelaku dihukum, tapi suamiku tak akan kembali,” kata Allen Musiimenta.

BBC
Luka Nelly Julius Kalema dapat dilihat dengan jelas.

Benon Nsimenta, yang akan dilantik menjadi pendeta di bulan November, ditembak mati di jalan raya di kota Kasese pada 24 Juni 2020.

Ia dan istrinya berangkat dari kampung mereka dengan sepeda motor. Mereka punya dokumen dari pemerintah lokal bahwa motor itu memang milik mereka dan bukan ojek online.

“Tentara yang menyetop kami bahkan tak bertanya. Salah satu dari mereka menyeberang jalan, mengangkat senjata dan menembak suami saya di leher,” kata istri Musiimenta.

Kami mengerjakan proyek keluarga bersama, bicara tentang segala hal. Kami bikin rencana untuk anak-anak kami. Bagaimana saya membiayai pendidikan anak saya,” katanya marah.

Pelatih sepak bola Nelly Julius Kalema selamat dari petugas keamanan. Namun nasibnya nyaris berbeda. Pada 8 Juli, ia membawa pacar temannya, Esther, ke klinik dengan sepeda motor, saat jam malam.

Mereka diperbolehkan melintas blokade jalan. Namun kemudian beberapa orang naik motor dan mengaku polisi, melambai untuk menghentikan mereka.

Kalema berkata ia minta berhenti di tempat yang lebih aman di depan. Katanya, seorang pria di motor mengambil tongkat pemukul lalu menghantam leher Ester, yang menjerit dan terjatuh.

“Saya kehilangan keseimbangan dan terbentur ke pagar beton, kena kepala saya,” katanya sembari berbaring di rumah sakit.

Kecelakaan ini membuatnya luka di kepala, kulit kepalanya sobek beberapa sentimeter dan perlu dijahit. Esther selamat dengan kaki patah dan harus dioperasi. Polisi menolak berkomentar terhadap tuduhan ini.