Punya Alis Tebal Tandanya Narsis

Alis tebal.
Sumber :
  • vstory

Bisakah kita menebak seseorang narsis hanya dengan melihat alisnya? Tim dari Kanada melakukan penelitiannya dan menjadi salah satu penerima "Hadiah Nobel" untuk penemuan-penemuan unik tahun ini.

Setiap tahunnya, sejumlah penelitian yang terkesan aneh bersaing mendapatkan penghargaan bernama "Ig Nobel Prize".

Tahun ini, pemenangnya akan mendapatkan hadiah uang 10 triliun dolar Zimbabwe dan tropi kertas yang akan diserahkan oleh seorang penerima Hadiah Nobel yang asli.

Berikut sejumlah penelitian yang unik dan ajaib, namun tetap berdasarkan bukti ilmiah.

Menebak makna ketebalan alis

Apa yang bisa dibaca dari ketebalan alis seseorang?

Sejumlah psikolog Kanada mengembangkan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dengan kesimpulan kita bisa mengetahui seorang narsis hanya dengan melihat wajah mereka.

Tim peneliti ini memfokuskan penelitiannya pada ketebalan alis. Mereka menyimpulkan, pemilik alis tebal, gelap dan padat bisa dipastikan merupakan orang narsis.

Mereka yang diteliti menjawab semua pilihan pertanyaan, seperti "Saya memiliki bakat alami untuk mempengaruhi orang"; "Saya memang terlahir sebagai pemimpin"; serta "Saya suka memamerkan tubuh saya".

Tim peneliti telah menerbitkan hasil penelitian yang melibatkan ratusan responden ini dalam Journal of Personality tahun lalu.

"Penelitian ini berbasis data," ujar peneliti Dr Miranda Giacomin dari Universitas MacEwan.

"Tapi dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak menilai orang hanya berdasarkan alis mereka," tambahnya.

Pisau dari kotoran manusia

Hadiah Ig Nobel lainnya tahun ini dimenangkan oleh peneliti yang membuat pisau dari kotoran manusia yang dibekukan.

Mereka ingin membuktikan catatan antropologis tentang seorang pria suku Inuit, yang terdampar di es Arktik tanpa peralatan, dan konon membuat pisau dari kotorannya yang sudah membeku.

Tapi penelitian mereka malah menunjukkan pisau semacam itu sama sekali tidak bisa digunakan.

"Cerita tentang pria tersebut sejak dipublikasikan, telah banyak disinggung dalam dokumenter, buku, dan website," demikian disebutkan dalam penelitian tersebut.

"Meskipun banyak penelitian menunjukkan para pemburu memiliki banyak akal secara teknologi, inovatif, dan cerdas, kami menyarankan agar cerita etnografis tentang pria Inuit ini jangan dipakai untuk mendukung narasi tersebut."


Pisau yang terbuat dari kotoran manusia yang membeku sama sekali tak bisa digunakan memotong daging.

Supplied: Eren Metin

Di manakah ciuman mulut lebih populer?

Penelitian lainnya yang juga menang hadiah Ig Nobel tahun ini adalah survei online tentang kebiasaan berciuman dengan lebih dari 3.000 responden di 13 negara.

Peneliti Dr Danielle Wagstaff dari Federation University di Australia menjelaskan ciuman mulut populer di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Brasil, dibandingkan dengan negara-negara seperti Prancis, Jerman, dan bahkan Australia.

Dr Wagstaff mengatakan temuan tersebut mendukung teori biologi evolusi bahwa berciuman adalah cara orang dapat memilih dan menjaga pasangan yang sehat.

"Ciuman mulut itu membuat kita sadar apakah seseorang akan menjadi pasangan yang baik," katanya.


Ciuman mulut leboh populer dilakukan di negara-negara dengan kesenjangan yang lebar.

Michelle Seixas: www.sxc.hu

Menurut Dr Wagstaff, berciuman menjadi kian penting saat memilih pasangan yang sehat di negara-negara yang memiliki kesenjangan besar antara si kaya dan si miskin, seperti di Amerika Serikat dan Brasil.

"Berciuman sebenarnya merupakan tindakan berisiko karena saat kita mencium mulut seseorang, kita bisa menyebarkan patogen penyakit," kata Dr Wagstaff.

Buaya diberi gas helium

Pemenang Ig Nobel lainnya adalah peneliti yang memberikan gas helium pada buaya untuk melihat pengaruhnya terhadap kegeraman buaya.

Teorinya jika buaya membunyikan pita suaranya untuk mengeluarkan bunyi, nada geram akan terdengar semakin tinggi.

Ini karena suara bergerak lebih cepat melalu helium, yang mendorong frekuensi suara lebih tinggi.

"Sama seperti saat kita menarik napas dalam-dalam dari balon helium dan suara kita terdengar seperti Mickey Mouse," kata peneliti Mark Robertson, dari St Augustine Alligator Farm Zoological Park di Florida.

Dia membangun sistem yang memungkinkan para peneliti menguji efek heliox pada buaya betina, yang lebih kecil dan lebih mudah ditangani daripada spesies yang lebih besar.

"Kami semua menahan napas menunggu apa yang akan dilakukan buaya ini," kata Robertson.

Benar saja, gas tersebut mengubah suara geraman sang buaya.

Buaya itu, katanya, mengeram tidak begitu lama, karena sepertinya dia sadar apa yang salah dengan suaranya.

Para peneliti memastikan geraman buaya ini bergeser ke frekuensi yang lebih tinggi.

"Penelitian kami mengungkapkan bahwa vokalisasi buaya, dan reptil, mengandung resonansi seperti pada mamalia dan burung," kata Dr Stephan Reber dari Universitas Lund di Swedia.


Peneliti Ivan Maksymov terinspirasi dari cacing-cacing di halaman rumahnya.

Supplied: Swinburne University of Technology

Pola getaran cacing

Fisikawan asal Australia, Ivan Maksymov dan pakar matematika terapan, Andriy Pototsky, keduanya dari Institut Teknologi Swinburne di Melbourne, juga memenangkan Ig Nobel tahun ini untuk penelitian mereka tentang cacing.

Suatu hari, Dr Maksymov sedang berkebun di rumahnya di kota regional Seymour di Victoria, menemukan beberapa ekor cacing tanah.

Saat itu dia memikirkan beberapa penelitian yang menunjukkan getaran dari tetesan air kadang-kadang bisa memanjang dan terlihat seperti cacing.

Dia tahu jika bejana air yang bergetar dapat membentuk pola indah yang disebut pola "Faraday".

Dalam lamunannya, Dr Maksymov kemudian bertanya-tanya apa yang terjadi jika dia menggetarkan cacing-cacing, hewan yang memiliki banyak air dalam tubuhnya.

"Ini hanya rasa penasaran seorang fisikawan," ujarnya.

Dia pun meletakkan beberapa cacing di atas pengeras suara bass selama 30 detik dan menemukan versi getar dari pola Faraday yang sama muncul di permukaan tubuh mereka.

"Memang lucu tapi ini sains yang cukup serius," kata Dr Maksymov yang telah mempublikasikan temuannya dalam Nature Scientific Reports awal tahun ini.

Menurutnya, penelitian ini menambah pengetahuan soal bagaimana impuls saraf bergerak ke seluruh tubuh dan bisa bermanfaat untuk pengembangkan robot yang meniru gerakan cacing.

Dr Maksymov memastikan tidak ada cacing yang disakiti dalam penelitian ini, karena telah dibius sebelum menggetarkannya dengan pengeras suara.

Cacing-cacing tersebut kemudian dikembalikan ke habitatnya.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Science