Trio Raksasa Teknologi Bersatu Berantas Misinformasi Vaksin COVID-19

Ilustrasi Vaksin COVID-19.
Sumber :
  • Dok. KPC-PEN

VIVA – Tiga raksasa teknologi global, Facebook, Google dan Twitter, akan bekerja sama untuk memberantas misinformasi seputar pandemi COVID-19. Ketiganya bersama Kanada dan Inggris berusaha menghentikan penyebaran informasi salah soal vaksin COVID-19 secara online.

Cek fakta dari Inggris, Full Fact, akan mengkoordinasi dalam pekerjaan ini. Melansir laman Business Insider, Senin, 23 November 2020, Facebook bahkan menyuntikkan dana hingga meluncurkan kerangka kerja awal pada Januari 2021.

Baca: Vaksinasi Tidak Sebabkan Demam dan Kematian

Kerangka kerja tersebut akan menetapkan standard akuntabilitas untuk menghentikan informasi salah. Selain itu juga menemukan cara untuk menindak kehadiran konten tersebut secara online. Tidak seperti Inggris dan Kanada, Amerika Serikat (AS) tIdak ikut program Full Fact untuk menghentikan misinformasi soal vaksin COVID-19.

"Vaksin Virus Corona berpotensi akan tersedia dalam beberapa bulan lagi. Namun, gelombang informasi jahat bisa merusak kepercayaan (orang) terhadap kedokteran," ujar Kepada Eksekutif Full Fact, Will Moy.

Ini memang bukan langkah pertama para situs media sosial menyatakan perang terhadap misinformasi. Sebelumnya seperti Facebook, Twitter hingga YouTube sudah melakukan berbagai inovasi untuk menghentikan penyebaran konten salah tersebut.

Namun memang penyebaran misinformasi masih terjadi. Parahnya, pernyataan salah itu keluar dari tokoh terkenal dunia misalnya Presiden AS Donald Trump dan Pendiri SpaceX, Elon Musk.

Pengembangan vaksin COVID-19 memang terus dilakukan oleh para peneliti. Dua perusahaan farmasi, Moderna dan Pfizer, menjadi beberapa pihak yang mengembangkan vaksin COVID-19.

Pihak Moderna mengklaim mereka telah membuat vaksi 94,5 persen efektif melawan COVID-19, sementara Pfizer mencapai 95 persen. Kedua perusahaan farmasi itu saat ini sudah masuk analisis awal pengujian tahap akhir.

Sementara itu, hasil penelitian Kaspersky menyebutkan jika 74 persen dari 8 ribu pekerja UMKM di dunia tidak mau bekerja seperti sebelum pandemi COVID-19.

Mereka lebih memilih untuk bekerja sesuai keinginannya seperti dari jarak jauh (32 persen), yang bisa menghabiskan banyak waktu dengan orang yang dicintai (47 persen), dan menghemat uang (41 persen). Pandemi COVID-19 membuat cara kerja jauh lebih fleksibel dan modern.

Namun hal tersebut juga membutuhkan peningkatan dan penyesuaian fasilitas yang dibutuhkan. Misalnya 38 persen dari pekerja menginginkan lebih banyak dukungan teknologi saat melakukan bekerja dari jarak jauh.

Chief Business Officer Kaspersky, Alexander Moiseev, menyatakan jika pandemi mempercepat transformasi digital. Selain juga menggabungkan kehidupan kerja serta pribadi orang.

"Apa yang kami lihat sekarang adalah bahwa karyawan memanfaatkan teknologi untuk memiliki masa depan baru dan secara aktif merangkul perubahan dalam mengejar kebebasan dan fleksibilitas yang lebih besar. Perusahaan harus memiliki mandat untuk melakukan penyesuaian dan merombak tempat kerja modern menjadi sesuatu yang lebih produktif," ungkap Moiseev.

Selain itu, cara kerja fleksibel juga harus didukung keamanan dari sistem. Pertama, membuat karyawan untuk menjadi lebih sadar dan memahami dunia maya. Menurut Moiseev, bekerja dari jarak jauh akan menghasilkan perubahan penuh dari perilaku dan pola pikir para pekerja.

Meski begitu, ia juga mengingatkan untuk mengambil langkah perlindungan untuk melindungi data dan perangkat perusahaan. Salah satunya dengan mengaktifkan perlindungan password, perangkat kerja enkripsi, dan memastikan ketersediaan cadangan data. "Terakhir adalah perusahaan harus membangun pertahanan dan keamanan siber. Hal ini dilakukan untuk karyawan yang bekerja, baik dari dalam maupun luar kantor," tuturnya.