Metaverse dan Pandemi COVID-19 Punya Kesamaan

Metaverse, proyek alam semesta virtual ala Facebook.
Sumber :
  • Deutsche Welle

VIVA – Pandemi COVID-19 telah mempercepat transformasi digital pada berbagai aktivitas kehidupan manusia.

Seiring dengan itu, era metaverse pun mulai diperkenalkan dan segera masuk masa komersial dalam hitungan tahun ke depan. Keduanya pun membutuhkan dukungan akses internet yang berkuaitas prima dari para penyedia (provider) layanan.

Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menyampaikan, meski pandemi COVID-19 sempat mereda setelah varian Delta dan Omicron memaksa masyarakat untuk kembali memanfaatkan layanan digital dalam menjalani beragaman kegiatan.

Dengan kondisi pandemi yang tidak dapat diketahui kapan berakhir, dan ada atau tidaknya varian baru setelah Omicron, layanan digital masih dan akan terus diperlukan.

Bahkan, bukan hanya sekadar sebagai dampak pandemi, namun tren perkembangan kebutuhan dan pemanfaatan digital sudah jadi kebutuhan sehari-hari dan terus meningkat, seperti e-commerce, video conference, video on demand, video streaming, teledoctor, dan lainnya.

Belum lagi, kini, masyarakat sudah mulai dihadapkan dengan era metaverse, yang membuat semua hal menjadi serba virtual dengan memanfaatkan realitas virtual (virtual reality) dan realitas tertambah (augmented reality).

“Berbicara soal layanan digital, semua tak ada artinya tanpa dukungan infrastruktur digital, yaitu jaringan dan layanan internet yang memungkinkan semua aktivitas digital kita dapat dijalankan,” kata dia, Jumat, 11 Maret 2022.

Di masa post-pandemi sekarang, internet menunjukkan jati dirinya sebagai pendorong transformasi digital dan lokomotif pertumbuhan ekonomi digital. Seiring dengan kebutuhan masyarakat yang meluas dan tren pemanfaatan internet ke arah metaverse, kebutuhan internet berkualitas juga meningkat.

Heru menambahkan, secara umum, berapa kecepatan unduh (download) dan unggah (upload) yang ditawarkan penyedia layanan internet menjadi parameter yang menjadi perhatian di awal ketika kita memilih penyedia layanan internet.

Apalagi, akses berbagai layanan video, termasuk menggunakan aplikasi meeting, kecepatan upload dan download yang tidak memadai membuat film yang ditonton maupun meeting menjadi tidak nyaman. Persoalan sering kali muncul karena yang ditawarkan provider internet tidak sama dengan yang pengguna rasakan.

“Ini diistilahkan dengan throughput performance. Lewat parameter ini dapat diketahui penyedia internet mana yang menawarkan layanan sesuai fakta dan mana yang sekadar alat berjualan atau gimmick ke pelanggan,” paparnya.

Riset Enciety

Bukan itu saja. Heru juga memaparkan laporan riset Enciety Business Consult terkait quality of service (QoS) provider fixed broadband melalui direct observation (DO) di delapan kota di Indonesia, yakni Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Balikpapan, dan Makassar yang dirilis Februari tahun ini.

Riset tersebut membandingkan realisasi performa download speed yang dirasakan pelanggan dengan kecepatan download yang dijanjikan provider (throughput performance). DO dilakukan pada sembilan provider, yaitu IndiHome, Biznet, CBN, First Media, Iconnet, MNC Play, MyRepublic, Oxygen, dan XL Home.

Hasilnya, layanan lima provider punya rata-rata throughput performance paling baik, yakni IndiHome (102 persen), MyRepublic (96 persen), CBN (84 persen), Oxygen (82 persen), dan Firstmedia (80 persen). Sementara rata-rata throughput performance Biznet 33 persen.

Khusus untuk Jakarta, dari segi kecepatan download, untuk Paket 85 Mbps Biznet, pelanggan mendapatkan rata-rata kecepatan download 30,2 Mbps dengan throughput 36 persen.

Selanjutnya, untuk paket 50 Mbps MyRepublic, pelanggan mendapatkan rata-rata kecepatan download 44,2 Mbps dengan throughput 88 persen. Sedangkan untuk IndiHome, mayoritas masih berlangganan paket 20 Mbps ke bawah, pelanggan mendapatkan rata-rata kecepatan download 20,6 Mbps dengan throughput 103 persen.

Tantangan

Heru menyebut guna mendukung tantangan kebutuhan dan tren maraknya layanan data berbasis video streaming, game, eSports, dan video conference, serta pemanfaatan internet ke arah metaverse yang serba virtual, ada beberapa parameter lain yang perlu menjadi perhatian provider internet dan kebutuhan pelanggan, yaitu latency.

Latency adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengirimkan suatu data sampai ke tujuan, yang diukur dalam satuan milisecond (ms). Angka latency yang bagus tentunya mendekati angka nol, yang berarti layanannya lebih baik.

Berdasarkan riset Enciety, tiga provider yang menempati peringkat latency sangat baik (2,0 ms), yakni IndiHome, MNC Play, dan MyRepublic. Posisi berikutnya ditempati oleh Biznet (3,0 ms), Oxygen (3,0 ms), Iconnet (4,0 ms), XL Home (4,0 ms), First Media (13,0 ms), dan CBN (15,0 ms).

“Hasil yang dilaporkan Enciety tentu ke depannya akan bersifat dinamis. Dengan kebutuhan pengguna dan tren layanan, maka jelas terlihat bahwa ada tantangan dan parameter baru terkait layanan internet berkualitas,” tutur Heru, yang pernah menjadi diaspora digital Indonesia di Jerman, AS, dan Arab Saudi.