Studi: Diskriminasi Akar Radikalisasi
- pamelageller.com
VIVA.co.id – Studi baru mengungkap marjinalisasi terhadap kelompok imigran adalah penyumbang terbesar benih-benih radikalisasi.
Survei yang dilakukan Universitas Stanford, Amerika Serikat, dengan melibatkan 400 imigran Muslim yang tinggal di AS, menunjukkan adanya prasangka terhadap kelompok yang mencoba berintegrasi ke dalam budaya baru.
Hal ini bisa membuat mereka rentan menjadi ekstremis. "Kami menemukan imigran yang tidak mengenal budaya asli sebuah negara yang mereka tinggali. Hasilnya, mereka merasa terpinggirkan dan membuat situasi memburuk," kata psikolog sosial Sarah Lyons-Padilla.
Sarah tergabung dalam Tim Survei Lyons-Padilla, seperti dikutip Science Alert, Selasa, 8 Agustus 2017, melakukan survei online terhadap 200 imigran Muslim yang tinggal di AS.
Mereka bertanya kepada pengungsi mengenai cara mereka mengoneksikan perasaan mereka kepada budaya baru dan norma-norma yang berlaku di AS, serta bagaimana mereka berintegrasi di rumah baru mereka.
Pada satu sisi, kelompok yang dibentuk Lyons-Padilla ini tidak pernah secara eksplisit untuk berkata maaf atau melanggengkan kekerasan. Di sisi lain, mereka juga memberi kesan bahwa para aktivis mendukung tindakan ekstrem, apabila diperlukan.
Tanggapan terhadap survei ini menunjukkan secara keseluruhan dukungan terhadap ekstremisme sangat rendah. Bukti tersebut mendukung penelitian yang lebih luas yang menunjukkan umat Islam tidak memiliki pandangan radikal.
Akan tetapi, dalam hal kecil, survei menunjukkan bahwa perasaan marjinalisasi dan diskriminasi bisa memicu perasaan 'tidak berguna' yang berujung pada ketertarikan mereka terhadap kelompok fundamentalis dan perilaku ekstrem.
"Jangan membuat imigran merasa inklusif karena tidak disambut dan tidak dianggap kehadirannya. Sementara, aturan-aturan seperti larangan bepergian kelompok Muslim atau meningkatkan penjagaan ketat atas akses komunitas Muslim, tidak akan mengurangi ekstremisme," ungkap Sarah.