Ada Tangan Buzzer di Balik Penyebaran Teori Konspirasi Virus Corona

Ilustrasi buzzer.
Sumber :
  • www.pixabay.com/kalhh

VIVA – Teori konspirasi seperti dua sisi mata uang. Satu sisi membuat gaduh, namun sisi lain untuk mengalihkan isu yang lagi hangat. Negara maju sekelas Jerman pun tidak lepas dari 'teror' teori konspirasi. Lantas, percayakah Anda jika ada tangan buzzer di balik penyebaran teori konspirasi di media sosial?

Mengutip situs Deutsche Welle, Selasa, 28 April 2020, Steffen Seibert, juru bicara Kanselir Jerman Angela Merkel, mengumumkan jika bos-nya harus menjalani karantina selama 14 hari setelah salah satu dokternya dikonfirmasi terinfeksi Virus Corona COVID-19.

Tak ayal, kabar Merkel dikarantina akibat Corona langsung menjadi berita utama di media Jerman. Media sosial pun tak ketinggalan bombastisnya. Di media online tersebut ramai tersebar teori konspirasi dan berbagai spekulasi.

Anggota Parlemen dari Partai AfD, Andreas Albrecht Harlass, langsung berspekuasi bahwa Merkel tidak akan kembali memimpin pemerintahan. Menurutnya, karantina cuma dalih saja. Para pendukung partai ultra kanan tersebut langsung menimpali jika Merkel mungkin sedang bersembunyi di bunker bawah tanah di Paraguay.

Properti itu, lanjut pendukung Partai AfD, dibeli Merkel beberapa-tahun lalu. Setelah Merkel selesai menjalani karantina, cerita ini ternyata terus tersebar, dan makin banyak spekulasi yang beredar.

Hal inilah yang membuat tim peneliti di Universitas Munster mencoba menelusuri bagaimana teori konspirasi di masa pandemi Corona berkembang dan terus bertahan di media sosial.

Sumbernya tak jelas

Para peneliti menyebutkan, sejak Januari hingga Maret 2020, ada sekitar 120 ribu postingan Facebook dari berbagai outlet media Jerman. Hasilnya, bersamaan dengan derasnya laporan seputar wabah Corona oleh surat kabar dan stasiun televisi, meningkat pula jumlah postingan kaum populis kanan yang menyebut dirinya "media alternatif".

"Mereka menyangsikan apa yang diberitakan oleh media-media arus utama dan pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan politisi dari kubu politik lain yang mereka sebut ”politisi mapan“," ungkap Thorsten Quandt, yang memimpin penelitian Universitas Munster.

Bagaimana strategi para buzzer media sosial populis kanan menyebar teori konspirasinya? Menurut Quandt, pada dasarnya, media alternatif juga melaporkan beberapa fakta yang sama seperti media arus utama, namun menambahkan hal-hal yang tidak dikonfirmasi atau tidak jelas sumbernya.

"Media alternatif menyebarkan pesan mereka secara halus dalam strategi komunikasi yang tampaknya tidak berbahaya. Jadi bukan dengan menyebar hoax atau informasi palsu yang sudah jelas-jelas salah," tegas dia.

Quandt melanjutkan bahwa para penyebar teori konspirasi, misalnya menghubungkan isu pandemi COVID-19 dengan topik-topik yang sudah ada, seperti perubahan iklim, masalah pengungsi, dicampurkan dengan "fantasi akhir dunia".

Ia menuturkan, sekalipun "populisme pandemi" ini hanya merupakan sebagian kecil dari cerita dan berita tentang Virus Corona, "media alternatif" telah berhasil membangun kerangka referensi mereka sendiri.

"Kami menemukan beberapa kasus di mana pernyataan mereka (populis kanan) dibagikan oleh orang lain di kanal-kanal media sosial, misalnya di YouTube, yang berfungsi sebagai sistem distribusi sekunder para penyebar teori konspirasi. Kanal-kanal ini seperti memberi label 'kredibel' pada pesan-pesan itu," paparnya.

Hal ini memungkinkan teori-teori konspirasi yang dibuat populis kanan menjadi besar dan lebih banyak tersebar daripada berita-berita media arus utama. Posting-posting media alternatif itu bisa bersaing atau bahkan lebih tinggi dalam hal laju jangkauan dan tingkat interaksi dibandingkan platform media arus utama.

Penyebar teori konspirasi tidak percaya sesuatu terjadi secara kebetulan. Mereka selalu mengklaim bahwa ada sekelompok kecil elit yang mengendalikan semuanya “di belakang layar“, dan bahwa para elit ini telah “bersekongkol melawan publik“ dan warga awam.

"Fakta bahwa memang ada penyalahgunaan kekuasaan dan perilaku salah dari para politisi mapan dan pejabat pemerintah makin memperkuat "kredibilitas“ teori-teori konspirasi di mata publik," ungkap Quandt.

Ancaman nyata teori konspirasi

Seberapa berbahayakah teori konspirasi? Quandt dan para peneliti di Universitas Munster menyimpulkan bahwa penyebaran teori konspirasi kini merupakan ancaman nyata.

"Media alternatif dapat berkontribusi pada kebingungan publik dengan membangun pandangan dunia yang kontradiktif, yang mencurigai dan mempertanyakan setiap pernyataan 'resmi'," katanya, menambahkan.

Sementara itu, Simone Rafael dari Yayasan Amadeu Antonio menjelaskan bahwa penyebaran teori konspirasi telah menjadi bagian penting pemicu aksi-aksi kekerasan ekstrem kanan di Jerman.

"Terutama di antara para pendukung teori konspirasi, berkembang pandangan dunia yang tertutup, dengan keinginan besar untuk bertindak. Mereka melihat diri mereka sebagai satu-satunya orang yang dapat menghentikan kehancuran," papar dia.

"Menurut pernyataan mereka sendiri, 'media alternatif' ini percaya bahwa mereka berada dalam situasi 'perang informasi' melawan partai-partai politik yang demokratis dan melawan demokrasi parlementer. Mereka menyebarkan ketidakpastian untuk menggulingkan sistem," jelas Rafael.