Angka Putus Sekolah Kian Tinggi, Evaluasi Pendidikan Harus Segera Dilakukan
- Tangkap Layar
VIVA Edukasi – Pendidikan adalah salah satu sektor penting yang berpengaruh terhadap kemajuan negara. Selain itu, pendidikan merupakan salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan yang perlu diperhatikan. Semua negara bertanggung jawab memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan berkeadilan serta mempromosikan kesempatan belajar sepanjang hayat bagi semua.
Namun, hingga kini pendidikan Indonesia masih dihadapkan oleh adanya berbagai permasalahan kompleks mulai dari tingkat kebijakan hingga implementasinya. Hal ini yang dinilai sebagai salah satu faktor masih adanya anak-anak yang putus sekolah di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan oleh Habib Fahmy Alaydroes, selaku Anggota Komisi X DPR RI dalam The SDGs National Seminar Series yang diselenggarakan oleh Bakrie Center Foundation dengan topik “Identifikasi Penyebab Putus Sekolah dan Implementasi Peraturan Wajib Belajar” yang diselenggarakan secara daring pada Rabu 2 November 2022. Ia menyatakan bahwa tingkat putus sekolah di Indonesia merupakan tanggung jawab bersama dan perlu diperhatikan.
“Jika kita melihat data 5 tahun terakhir, angka putus sekolah perlu kita waspadai dan perhatikan, karena sejumlah putra-putri kita tidak mendapatkan pendidikan yang semestinya dan seharusnya yang mereka terima. Jadi sejak tahun 2017 cenderung stagnan, artinya jumlah putus sekolah tidak mengalami suatu perbaikan,” tuturnya.
Data yang disampaikan Fahmy menyebutkan angka putus sekolah pada tahun 2019 menyentuh 4,3 juta anak di Indonesia. Angka tersebut termasuk anak-anak yang sebelumnya tidak pernah bersekolah.
Permasalahan angka putus sekolah ini tidak terlepas dari berbagai faktor, namun yang paling dominan adalah faktor kemiskinan. Mungkin pemerintah telah menyediakan dana bantuan seperti Kartu Indonesia Pintar, namun nyatanya ada faktor lain yang disebabkan oleh kondisi ekonomi keluarga yang rendah.
Misalnya, pola pikir orang tua yang beranggapan lebih baik bekerja daripada belajar. Pola pikir in hadir karena mereka hidup dalam lingkup kemiskinan. Sehingga, diperlukan mekanisme untuk mengidentifikasi sebab anak putus sekolah, sosialisasi kepada keluarga, hingga bimbingan konseling kepada anak putus sekolah.
Perwakilan Kemendikbudristek RI yang menghadiri The SDGs National Seminar, Catur Budi Santosa juga menjelaskan bahwa ada faktor supply dan demand dalam mengidentifikasi masih adanya anak yang putus sekolah di Indonesia. Sehingga, kemiskinan bukan menjadi satu-satunya faktor penyebab putus sekolah.
“Faktor penyebab anak tidak sekolah jika dilihat dari supplynya dikarenakan layanan pendidikan dan pelatihan yang terjangkau belum tersedia di beberapa daerah, kualitas dan relevansi pendidikan dan pelatihan masih rendah, belum dapat memenuhi kebutuhan individu, keluarga, dan masyarakat.
Kemudian untuk faktor demandnya adalah adanya hambatan ekonomi dan kemiskinan yang menjadi faktor utama, sehingga ini juga berpengaruh bagi anak-anak penyandang disabilitas, serta faktor sosial-budaya yakni adanya persepsi keliru tentang pendidikan seperti sebagian masyarakat berpandangan pendidikan tidak terlalu penting, pandangan bias gender berbasis norma sosial, kesulitan ekonomi membuat anak memilih bekerja ketimbang sekolah, serta pernikahan anak yang acapkali dianggap hal yang lazim,” jelas Catur.
Selain itu, Anggi Afriansyah, peneliti pendidikan BRIN menyampaikan bahwa saat ini terdapat tantangan baru dalam dunia pendidikan di mana adanya kondisi-kondisi yang membuat seseorang enggan bersekolah dan memutuskan untuk putus sekolah.
“Orang-orang yang sudah bersekolah juga kemudian tidak mendapatkan kesejahteraan yang baik, sekolah tinggi-tinggi, namun setelah lulus gaji kecil atau adanya fenomena anak-anak muda jika kita mencari terminologi putus sekolah, banyak sekali video-video yang menunjukkan kenapa mereka putus sekolah. Sebetulkan secara kuantitatif ada peningkatan, meskipun ada sisi-sisi stagnan seperti yang disebutkan oleh narasumber sebelumnya, tapi jika diamati secara kualitatif terdapat varian-varian yang menarik untuk diamati seperti dalam penelitian rekan saya yang menyebutkan bahwa aspirasi putus sekolah dikarenakan gaya hidup yang terpenuhi,” tutur Anggi.
Masih belum menemui titik terang, situasi putus sekolah di Indonesia dengan faktor penyebab yang bervariasi menurut Ketua PSW-KKN LP2M, Dr. Agung Winarno, M.M, menjadi pertanda perlunya evaluasi pendidikan di Indonesia. Pelibatan para pihak yang relative rendah serta tidak terkoordinasi dengan baik juga menjadi penyebab fenomena putus sekolah di Indonesia masih menjadi tugas besar bagi semua.
“Kurangnya penekanan pada pendekatan budaya, tidak adanya program berkesinambungan untuk mengevaluasi hak belajar anak. Kesepahaman guru dan kepala sekolah dalam menangani siswa juga merupakan asal muasal adanya putus sekolah ini. Namun selain daripada itu, terdapat riset atau temuan bahwa pertumbuhan ekonomi pedesaan berbanding terbalik dengan minat anak melanjutkan studi, jadi apabila ada sektor ekonomi yang dapat digali untuk mendapatkan penghasilan, disitu minat anak untuk studi menjadi lebih rendah, kemudian ada pula persepsi jika sekolah dibangun agar dapat bekerja (mencari uang) maka potensi anak melanjutkan studi akan gagal, sehingga branding sekolah membuat anak mudah bekerja saat ini gagal, ” jelas Agung.
Dengan adanya tantangan-tantangan baru yang mengakibatkan masih seringnya ditemukan kasus putus sekolah, diperlukan penyelesaian multisektor dan kolaborasi dari berbagai pihak untuk menangani permasalahan pendidikan ini. Bakrie Center Foundation melalui The SDGs National Seminar Series yang sudah berlangsung sejak 31 Oktober 2022 hingga 3 November 2022 mendatang, mencoba untuk memfasilitasi berbagai pihak agar terciptanya rekomendasi kebijakan untuk menuntaskan fenomena putus sekolah di Indonesia.