Merawat Tegangan yang Asyik Puisi dan Pantun Chairil Anwar

- Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya
Sumber :
  • bbc

Hari Puisi Nasional diperingati setiap 28 April, sebagai penghormatan untuk penyair ulung Chairil Anwar, yang meninggal pada 28 April 1949 pada usia yang belum genap 27 tahun.

Salah satu keistimewaan Chairil Anwar adalah kemahirannya merawat tegangan yang mengasyikkan antara puisi modern dan pantun.

Chairil Anwar adalah `anak nakal -jadi bukan `anak emas`- dalam sastra Indonesia dan karena kenakalannya itulah maka dia mendobrak gaya puisi Angkatan Pujangga Baru.

Angkatan penyair tersebut -yang antara lain digawangi oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane- memiliki gaya puisi yang khas: menggunakan Bahasa Melayu dengan tema puisi yang kurang lebih sama, yakni soal perjuangan dan, sesekali, romansa.

Namun Chairil memilih bahasanya sendiri.

Menurut penulis dan penelaah sastra, Zen Hae, bahasa puisi Chairil Anwar adalah bahasa Indonesia yang  di samping hendak mematuhi hukum-hukum tulisan, pada saat yang sama juga berlumuran kelisanan yang ada, yaitu bahasa pergaulan di lingkungan dia tinggal -baik di kota asalnya di Medan atau di Jakarta.

"Kelisanan Chairil Anwar pada mulanya menandakan ketidakterampilan berbahasa, tetapi kemudian menjadi permanen, strategis, subversif," ujar Zen dalam diskusi "Membaca Kembali Chairil Anwar" di Salihara, Jakarta, Rabu (03/05).

"Dengan kelisanan ia meluweskan kekakuan bahasa puisi pujangga baru," tegasnya kemudian.

Senada, penyair Hasan Aspahani menyimpulkan bahwa karya-karya Pujangga Baru adalah titik tumpu, sasaran tembak bagi serangan-serangan Chairil Anwar. Sebab, kelompok itulah yang mendomonikasi wacana intelektualitas pada saat itu.

"Dalam banyak hal, Chairil tidak sependapat dengan mereka. Dengan bekal pengetahuan, kecerdasan, penalaran dan kepercayaan dirinya. Chairil menyerang," cetus Hasan.

Puisi Bebas

Di samping melalui cara-cara normal -mengandalkan struktur kalimat atau klausa bahasa Indonesia standar, Chairil Anwar menciptakan musikalitas rima akhir dengan cara membalik urutan atau deret klausa.

Dalam kajian bahasa, tindakan ini dikenal dengan sebutan `inversi` atau `permutasi`.

"Chairil Anwar mengerjakan cukup banyak inversi dan permutasi, terutama jika kita mengacu pada bahasa Melayu dialek Deli Meda sebagai bahasa yang telah ikut membesarkan Chairil selama di Medan," papar Zen Hae.

Dalam puisi Chairil, inversi atau permutasi justru digunakan untuk mementingkan bagian akhir dari sebuah larik.

Dengan inversi atau permutasi, dia juga mengubah susunan sintaksis bahasa Indonesia yang berpola hukum DM (Diterangkan Menerangkan) -dengan bagian yang diterangkan selalu berada di depan yang menerangkan, baik dalam susunan frasa atau kalimat- menjadi yang berpola sebaliknya.

"Aksi Chairil Anwar dengan ambisi puitiknya mengubah pola hukum DM menjadi pola hukum MD sempat membuat guru-guru bahasa Indonesia pada saat itu kebingungan."

"Mengapa bahasa puisi menjadi begitu bebas, sementara kitab-kitab pelajaran bahasa Indonesia, juga kamus dan tata bahasa, terkurung dengan mulia dalam kebakuan dan kekakuan," ungkap Zen.

Ini yang kemudian memunculkan genre puisi bebas dalam khasanah sastra Indonesia.

Namun, apa sih puisi bebas itu?

"Puisi bebas itu tidak punya bentuk yang pasti dalam tradisi bahasa Indonesia. Misalnya dalam kasus Chairil Anwar, dia masih mementingkan persajakan di setiap baris di akhir larik itu masih bisa dihitung a-a-b-b, [atau] a-b-a-b tapi di tengahnya rusak, struktur sintaksisnya rusak," jelas Zen,

`Merawat konvensi pantun tapi juga merusaknya`

Jadi puisi bebas dalam pengertian puisi Chairil Anwar adalaah bentuk yang tegang antara merawat konvensi pantun, bunyi, musikalitas yang teratur dengan dorongan untuk merusaknya.

"Jadi tegangan itu dirawat baik oleh Chairil Anwar,"

"Merawat konvensi pantun tapi juga merusaknya di tengah. Ekspresinya sangat padat, diksi bisa dari sehari-hari -artinya kelisanan."

Bentuk terluar dari tegangan ini adalah digunakannya secara bersamaan bentuk pantun dan puisi bebas, bahkan dalam satu puisi. Puisi "Senja di Pelabuhan Kecil (1946) adalah contoh terbaik untuk kasus ini.

Puisi ini berbicara tentang dunia batin kaum remaja yang koyak moyak oleh cinta, lalu mengasingkan diri ke sebuah pelabuhan kecil menuju senja, menurut Zen.

"Jadi bagaimana orang patah hati datang ke sebuah pantai, dan bagaimana dia mengekspresikan kegalauannya, kegundahan hatinya, dalam warna pelabuhan."

Sejatinya, puisi ini merupakan ungkapan hati Chairil untuk Sri Ajati, salah satu wanita yang pernah dekat dengannya, walau dia tidak pernah pernah mengungkapkan perasaannya secara langsung.

Dalam puisi itu, si subjek lirik membuka pernyataaanya dengan sebuan inversi atau permutasi: . Makna dari larik itu cukup jelas, namun menjadi membingungkan ketika beralih ke larik kedua, terutama karena frasa di ujungnya: .

Lukisan suasana yang meruang (gudang, rumah tua) tiba-tiba terlempar ke dalam kenangan (cerita) yang tidak bisa diindrai.

Fasa ini, bagi Zen, secara khusus berbicara kembali tentang ketegangan yang selama ini menjadi permanen dalam puisi-puisi Chairil Anwar.

"Ini kan versi yang biasa dikerjakan Chairil Anwar. Bagaimana inversi atau pembalikan sususan kalimat menjadi sangat penting bagi puisi Chairil Anwar karena salah satu tujuannya adalah menjaga kestabilan rima atau persajakan akhir," jelas Zen.

Bentuk seperti ini dikerjakan juga oleh Chairil pada puisi-puisinya yang lain seperti "1943" (1943), "Buat Gadis Rasid" (1948), "Yang terampas dan Yang Putus" (1949) dan "Derai-Derai Cemara" (1949).

Puisi bebas yang bermuara pada semangat kedararemajaan ini lalu mempengaruhi karya-karya sajak modern di kemudian hari, seperti "Pada Sebuah Pantai: Interlude" karya Goenawan Muhammad pada 1973.

Lebih lanjut, Zen menuturkan, watak kedararemajaan ini pada masanya sangat revolusioner, tapi juga dilematis.

Setidaknya dua orang yang terbilang dekat dengan Chairil Anwar, yaitu H.B Jassin dan Asrul Sani, pernah mengkritik khazanah puisi Chairil Anwar dengan wataknya yang dara-remaja dan teramat mengandalkan emosi.

"Artinya begini, puisi yang ditulis berdasarkan keharuan yang teramat besar. Pada Chairil sebetulnya sama, meskipun sebenarnya dia menggunakan ungkapan langsung, tapi keharuan itu tetap ada, emosi penyair tetap di depan,"

"Dalam kritik sastra tidak boleh begitu, ada namanya dunia intrinsik sajak, aku dan kau dalam sajak adalah sendiri, tapi pengarang dan pembaca itu dunia di luar sajak. Tapi dalam sajak-sajak Chairil Anwar, atau sajak pujangja baru, itu masih sangat bisa dihubungkan."

Kendati demikian, sastrawan Goenawan Muhammad tak sepenuhnya sependapat dengan pandangan Zen.

"Sebenarnya tidak betul bahwa puisi pujangga baru menderai-derai air mata. Kemudian soal emosi semata itu, puisi mana yang tidak ada emosi? Itu hanya otokritik dari Asrul dan tidak pernah diuraikan dengan teliti," jelas Goenawan.

Wartawan senior sekaligus pengamat hukum Hamid Basyaib yang kini menjabat Komisaris Utama Balai Pustaka -lembaga penerbitan tertua di Indonesia- mengomentari kemahiran Chairil Anwar menciptakan kosakata sendiri melalui sajak-sajaknya dan menyebutnya sebagai penyair yang istimewa.

"Kalau Chairil itu banyak memakai kata-kata sendiri yang tidak ada di kamus, saya kira itu salah satu fungsi penyair, penulis, kalau kata dan bahasa sebagai alat berpikir dan ketika alat itu tidak Anda temukan di pasar, Anda akan bikin sendiri."