Sederet Pelanggaran Dokter Terawan Versi IDI

Terawan Agus Putranto (tengah).
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA – Pemecatan sementara oleh Ikatan Dokter Indonesia kepada dokter Terawan Agus Putranto memberi banyak opini dari masyarakat di berbagai kalangan. Tak sedikit masyarakat yang membela penemuan dokter Terawan yang dianggap banyak membantu menangani kasus stroke.

Ketua Majelis Kode Etik Kedokteran, (MKEK), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Prijo Pratomo, mengatakan opini dari masyarakat, khususnya para pejabat yang membela penemuan metode cuci otak, harus tetap mengedepankan rambu-rambu dari sumpah dokter. Salah satunya, dokter tidak seharusnya mengumumkan hasil tindakan yang telah dilakukan.

"Ya kalau itu merupakan testimoni dari pejabat-pejabat yang bersangkutan itu silakan saja, tetapi di dalam putusan etik kita, kita tidak bisa mendasari pada soal testimoni, yang kita dasari kita adalah rambu-rambu dalam sumpah dokter itu tadi,” kata dokter Prijo, ditemui di Kantor IDI, Jakarta Pusat, Selasa 3 April 2018.

Menurut dia, salah satu yang jadi patokan adalah seorang dokter itu tidak boleh mengumumkan hasil tindakannya, misalnya seperti itu. “Kalau pasien apa pun pasti menyatakan dengan segenap testimoninya, tapi dunia kedokteran itu tidak didasari kepada persoalan testimoni,” ujarnya.

Prijo menambahkan, pelanggaran kode etik yang memicu sanksi pemecatan selama 12 bulan oleh IDI kepada dokter Terawan, yakni adanya bukti memuji diri serta mengiklankan praktik medis yang dilaksanakan.

"Dalam pelanggaran kode etik kita, bahwa seorang dokter itu yang pasti kita tidak boleh mengiklankan, tidak boleh memuji diri, itu bagian-bagian yang ada di dalam kode etik, dan juga tidak boleh bertentangan dengan sumpah dokter. sehingga apabila itu dilanggar maka itu tentunya yang berkaitan dengan etik," tuturnya.

Tak hanya itu, dokter Terawan juga terbukti mangkir dari panggilan MKEK yang mana hal itu turut berkaitan dengan kode etik kesejawatan. Serta, adanya pelanggaran kode etik berupa menjanjikan kesembuhan pada pasien.

"Yang melanggar kode etik itu tidak boleh menjanjikam kesembuhan, bahwa sesungguhnya kesembuhan itu diberikan oleh Tuhan yang Maha Esa, dokter hanya sebagai perantara saja. Karena kalau sudah menjanjikan suatu kesembuhan, tapi pasien tidak sembuh, maka pasien akan kecewa, kemudian menimbulkan masalah, menuntut dokter dan lain sebagainya," kata Pengurus Besar IDI, dr. Frans Santosa di kesempatan yang sama.