Populer di Jepang, Terapi Sel Imun Musnahkan Sel Kanker Sisa Operasi

Ilustrasi sel kanker.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Proses pengobatan kanker kerap menimbulkan efek medis lain dalam tubuh. Bagi pasien kanker yang pernah menjalani kemoterapi, sel imun dalam tubuh seringkali hancur dan berkurang jumlahnya. Padahal, menurut Doktor di bidang Biomedik dari Klinik Hayandra, Dr. dr. Karina, SpBP-RE, jumlah sel imun dalam tubuh memiliki peran penting bagi pasien kanker.

"Jumlah dan keaktifan sel-sel ini merupakan kunci tubuh kita untuk dapat memusnahkan sel kanker yang tersisa dari operasi, radiasi ataupun kemoterapi,” jelas Karina saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta.

Belakangan, di berbagai negara, salah satunya Jepang, teknologi Immune Cell Therapy (ICT) banyak digunakan untuk terapi pendukung bagi pasien kanker. Tapi, seberapa efektif metode tersebut sebagai terapi pendukung bagi pasien kanker?

"Ini merupakan terapi pendukung dalam terapi kanker dan gangguan imunitas lainnya, yang memanfaatkan sel imun (pertahanan atau kekebalan) tubuh, yaitu sel T, sel NK, sel NKT, dan sel lainnya. Sel-sel ini secara alamiah di dalam tubuh kita, berguna untuk menyerang sel kanker baik secara langsung ataupun tidak langsung," kata Karina. 

Karina menjelaskan bahwa terapi ini diawali dengan melakukan pengambilan darah pasien sebanyak kurang lebih 60 cc. Setelah itu diikuti dengan proses pembiakan dan aktivasi selama 2 minggu, lalu diinfuskan kembali ke pasien selama sekitar 1 jam.

Karina menjelaskan, teknologi yang diambil dari Jepang ini sudah melalui proses validasi teknik selama 2 tahun untuk mencapai tingkat kesesuaian tertinggi bagi masyarakat Indonesia. Secara umum lanjut dia, terapi ini dapat digunakan untuk pencegahan terjadi berbagai kanker solid atau padat, di antaranya kanker otak, kanker tenggorokan, kanker paru, kanker hati, kanker payudara, kanker rahim, kanker serviks, kanker usus, kanker prostat, dan kanker ginjal. 

"Selain itu juga untuk terapi pendukung terapi standar kanker yang sudah umum diketahui (operasi, kemoterapi, radiasi)," kata dia. 

Karina memaparkan bahwa di Jepang terapi ini biayanya sangat mahal. Meski demikian, modalitas terapi yang lain seperti perbaikan pola makan, infus vitamin C, suplementasi vitamin D3 dan probiotik, serta pendampingan psikologi, sama sekali tidak diberikan di Jepang.

“Di Indonesia, semua ini kami berikan dalam upaya untuk membuat terapi ini lebih efektif. Beberapa penyempurnaan teknik melalui tahapan validasi yang panjang juga telah kami Iakukan, sehingga terapi ini lebih cocok bagi sel orang Indonesia yang temyata berbeda dengan Jepang," kata Karina.