Indonesia Masih Negatif COVID-19, Sampel Tes Pasien Kurang Banyak?

Ilustrasi penelitian virus
Sumber :
  • www.pixabay.com/Prylaler

VIVA – Tudingan terhadap Pemerintah Indonesia yang dinilai tidak mampu untuk mendeteksi keberadaan virus corona atau COVID-19 masih terus berdatangan. Sebelumnya sempat beredar rumor bahwa peralatan deteksi virus yang dimiliki oleh Laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes), Kementerian Kesehatan tidak mumpuni. 

Tapi hal itu kemudian dibantah oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Dr. dr. Vivi Setiawaty, M.Biomed yang mengatakan pemeriksaan spesimen mengikuti standar WHO dan dikerjakan di Lab Biosafety Level (BSL) 2.  Medical Officer WHO untuk Indonesia, Dr Vinod Kumar Bura, juga mengatakan bahwa Indonesia punya kompetensi untuk mendeteksi virus tersebut. 

Tidak berhenti di situ, tudingan lainnya menyebut bahwa belum terdeteksinya COVID-19 di Indonesia lantaran jumlah orang yang diperiksa masih kurang banyak dan menyeluruh. Namun, hal itu lagi-lagi dibantah oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto. Ia menegaskan bahwa pemeriksaan lab bukanlah standar protokol penanganan yang pertama. 

"Intervensi pertama adalah gejala, adakah gejala-gejala yang kita dapatkan, kemudian fakta penderita itu baik yang bersifat subjektif maupun objektif misalnya subjektif yang panas mengeluh sesak enggak enak itu subjektif," kata Yuri dalam sambungan video conference, di Kementerian Kesehatan, Kamis, 13 Februari 2020. 

Kemudian hal tersebut diperiksa secara objektif dengan pengukuran suhu panas dan juga menghitung frekuensi pernapasan. Kemudian juga melihat batuk dan nyeri di tenggorokan. 

"Dalam konteks ini kadang-kadang kita bisa menyingkirkan, kan dia mengeluh panas begitu kita hitung suhunya ternyata eggak sampai 37 ternyata hanya perasaan saja, makanya harus dicocokkan secara subjektif dan objektif,” kata dia. 

Jika dari pemeriksaan tersebut mengarah pada influenza berat barulah dilakukan pemeriksaan tahap dua, yakni dengan menanyakan risiko kontak. Pasien akan ditanyakan riwayat kunjungan ke negara yang menjadi epicentrum COVID-19, seperti China, Singapura dan beberapa negara lainnnya. 

"Apakah di sana ketemu dengan teman atau lain sebagainya yang sedang sakit seperti ini ingat lo ya kontak dekat, harus harus kontak dekat seperti di Singapura. Majikannya positif dan dia post kontak, selama majikannya sakit dia yang ngerawat makanya kena karena dekat banget," ujar Yuri. 

Setelah diketahui memiliki riwayat kontak dekat dengan pasien positif COVID-19 maka orang tersebut harus diisolasi. Kemudian, setelah itu baru dilakukan pengambilan sampel untuk pemeriksaaan di laboratorium.

"Jadi bukan kemudian kita harus mengejar banyak-banyakan. Kalau tidak ada yang bergejala, masa iya semua orang di periksa yang lama-lama penumpang di pesawat kasihan jadi kita betul-betul teliti," kata Yuri. 

Sebagai informasi, per tanggal 12 Februari 2020 pukul 17.00 WIB sebanyak 77 spesimen telah dikirim ke Laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes). Hasilnya, 75 dinyatakan negatif sedangkan dua sisanya masih dalam proses.