Seharusnya Paket Bantuan Pangan COVID-19 Tak Diisi Junk Food

Mie instan.
Sumber :
  • Freepik

VIVA – Memberi atau menerima bantuan paket sembako berisi berbagai produk instan sudah menjadi hal yang lumrah di Indonesia. Mulai dari mi instan, sarden hingga susu kental manis seringkali disertakan dalam bantuan sembako.

Padahal kita tahu bahwa produk-produk instan tersebut tak memiliki kandungan gizi seimbang yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan, terutama di masa pandemi virus corona atau COVID-10 seperti sekarang.

Dalam bicang-bincang bersama TVMU belum lama ini, Kasubdit Pengelolaan Konsumsi Gizi Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, Dyah Yunniar Setiawati, SKM, MPS membenarkan bantuan sosial untuk masyarakat terdampak COVID-19 masih jauh dari aspek pemenuhan gizi masyarakat.

Sekilas, bantuan ini terlihat meringankan masyarakat. Namun, kalau diperhatikan, bantuan untuk masyarakat dengan komposisi makanan instan seperti ini belum tentu meringankan beban keluarga.

"Susu kental manis bukan produk susu. Ini salah kaprah. Sebaiknya dalam bantuan tidak ada susu kental manis,” ucap Dyah.

Hadir di kesempatan yang sama, anggota Komisi IV DPR Luluk Nur Hamidah mengingatkan, virus corona bukan hanya masalah kesehatan. “Orang sakit butuh makan, orang sehat juga butuh makan. Artinya kebutuhan pangan tidak berkurang, tapi produksi mengalami gangguan,” ujar Luluk.

Kondisi itu tentu saja akan berdampak terhadap kurangnya pasokan bahan pangan untuk keluarga. Ia juga mengatakan, kalau di tingkat keluarga sudah mengalami kelaparan, maka yang pertama akan terdampak adalah anak, mengingat anak-anak adalah anggota keluarga yang sangat rentan.

Itulah sebabnya, penyertaan susu kental manis dan makanan instan lainnya di dalam bantuan sembako untuk masyarakat terdampak COVID-19 harus bisa digantikan dengan bahan pangan lain yang dapat memenuhi nilai gizi keluarga.  

“Yang paling ideal adalah, pasti ada beras. Tapi kalau di daerah tersebut ada pangan lokal yang biasa dikonsumsi masyarakat, misalmya sagu, jagung atau sorgum, itu bisa dimasukkan. Inilah yang disebut diversifikasi pangan,” katanya.

Menurut Luluk, pentingnya diversifikasi pangan juga untuk menyerap hasil-hasil dari daerah setempat, seperti ikan, baik darat dan laut.

“Kenapa di dalam paket ada mi instan dan susu kental manis dan tidak diganti saja dengan protein yang langsung bisa diproduksi oleh nelayan kita?” tambahnya.

Ia menambahkan, kalau kemudahan distribusi menjadi alasan pemberian susu kental manis dan makanan instan maka persoalan tersebut dapat diatasi apabila antar kementerian mau saling bekerja sama. Karena Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial dan institusi lain masing-masing punya program bantuan dalam penanganan virus corona.

“Kalau program-program setiap kementerian ini saling diintegrasikan, maka tidak akan ada ceritanya susu kental manis masuk dalam bansos,” ucap Luluk.

Ia mencontohkan, pemerintah bisa membeli bahan-bahan pangan yang surplus di masyarakat akibat rendahnya daya beli, seperti ayam, telur dan cabai untuk dibagikan kembali ke masyarakat dalam bentuk bantuan.

Untuk memudahkan distribusi atau pun mencegah agar bahan tersebut tidak rusak, bahan pangan tersebut dapat diolah atau pun dijadikan produk beku.

“Cara-cara  kreatif seperti ini yang perlu dilakukan saat ini, dan inilah yang dilakukan oleh Vietnam, dan negara lain. Dalam keranjang bantuan pangan isinya makanan bergizi, bukan junk food seperti mi instan dan susu kental manis yang dapat membuat antibodi menurun,” tambah Luluk.

Senada dengannya, Dyah juga mengatakan bahwa yang terpenting saat ini adalah bagaimana agar ketersediaan pangan bisa diakses oleh masyarakat.

“Sekarang bagaimana agar ketersediaan pangan bisa diakses oleh masyarakat. Harapannya, keluarga-keluarga yang telah menerima bantuan dapat memenuhi kebutuhan yang lain, terutama kebutuhan protein untuk anak,” ujar Dyah.