BPOM Perbolehkan Konsumsi Klorokuin untuk COVID-19, Ini Syaratnya

Ilustrasi vitamin/obat.
Sumber :
  • Freepik/freepik

VIVA – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyetop uji coba obat golongan hidroksiklorokuin pada pasien virus corona atau COVID-19, lantaran tak menunjukkan hasil yang baik. Namun, Badan POM masih memperbolehkan pemakaiannya dengan syarat yang harus terpenuhi pasien virus corona itu.

Berita terkait dihentikannya penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin pada keadaan darurat COVID-19 di Amerika Serikat dan di Inggris masih didasarkan pada penelitian yang sedang berlangsung. Namun, di negara lain termasuk Indonesia, obat ini masih merupakan salah satu pilihan pengobatan yang digunakan secara terbatas pada pasien virus corona.

Hal ini sejalan dengan persetujuan penggunaan terbatas saat darurat dari Badan POM RI yang dikeluarkan pada bulan April 2020.

Ada pun penelitian observasional penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin pada pasien virus corona yang sedang berlangsung di beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan hasil sementara, yaitu tidak meningkatkan risiko kematian dibandingkan pengobatan standar pada COVID-19.

"Diutamakan pada pasien dewasa dan remaja yang memiliki berat 50 kilogram atau lebih yang dirawat di rumah sakit," demikian pernyataan resmi BPOM, Jumat, 19 Juni 2020.

Lebih lanjut, meski obat itu menimbulkan efek samping pada jantung berupa peningkatan interval QT pada rekaman jantung, tetapi tidak menimbulkan kematian mendadak. Efek samping ini sangat sedikit karena sudah diketahui sehingga bisa diantisipasi sebelumnya.

"Penggunaan obat ini dapat mempersingkat lama rawat inap di rumah sakit pada pasien COVID-19. Penggunaan kedua obat ini harus tetap merujuk pada informasi kehati-hatian tentang adanya risiko gangguan jantung pada penggunaan Klorokuin dan Hidroksiklorokuin," lanjut pernyataan itu.

Hal itu sebagaimana tercantum pada Informatorium Obat COVID-19 di Indonesia yang diterbitkan Badan POM dan Protokol Tatalaksana COVID-19, yang diterbitkan bulan April 2020 oleh lima asosiasi profesi (PDPI, PAPDI, PERKI, IDAI, dan PERDATIN).

Oleh karena itu, penggunaannya harus dalam pengawasan ketat oleh dokter dan dilaksanakan di rumah sakit.