Studi: 1,2 Juta Bayi di Dunia Bisa Meninggal karena Virus Corona

Ilustrasi bayi
Sumber :
  • Pexels

VIVA – Sementara pandemi virus corona atau COVID-19 masih membayangi kita, kini mendapatkan perawatan medis yang tepat terasa sulit dan berisiko. Alasannya, saat menuju ke rumah sakit kita masih berisiko tertular.

Dalam kasus anak-anak dan wanita hamil, tentu mereka lebih sensitif dan berisiko, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah. 

Pandemi yang dialami dunia saat ini akan sangat memengaruhi wilayah yang terdampak. Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Lancet Global Health, sebuah percobaan menunjukkan berapa banyak kematian tambahan yang terkait dengan COVID-19, dengan kasus yang terus bergerak maju. 

Alasannya, virus corona juga berdampak pada persediaan makanan dan sistem medis pada negara-negara yang terdampak.

Studi ini mencakup peningkatan kematian ibu yang berasal dari tidak adanya intervensi persalinan. Termasuk kurangnya antibiotik dan lingkungan persalinan yang bersih. Sekitar 1,2 juta bayi tambahan dan sekitar 57.000 ibu dapat meninggal di 118 negara, dalam 6 bulan karena hal ini. 

"Jika perawatan kesehatan rutin terganggu dan akses mendapatkan makanan berkurang (sebagai akibat guncangan yang tak terhindarkan, runtuhnya sistem kesehatan, atau pilihan yang disengaja dalam menanggapi pandemi), peningkatan kematian anak dan ibu akan sangat menghancurkan," kata studi tersebut, dikutip Medical Daily, Kamis, 2 Juli 2020. 

"Kami berharap angka-angka ini menambah konteks karena pembuat kebijakan menetapkan pedoman dan mengalokasikan sumber daya di hari-hari dan bulan-bulan mendatang," lanjut studi itu. 

Saat ini, anak-anak diharapkan tidak berisiko tinggi terkena COVID-19. Ada pengecualian dengan jumlah individu muda yang dites positif. Dalam sebuah studi dari New England Journal of Medicine, ditemukan bahwa 3 dari 4 anak yang terinfeksi COVID-19, memiliki kondisi kesehatan yang tidak dikenali, tetapi dapat meningkatkan risiko mereka. 

Ini terkait dengan reaksi berbahaya terhadap sesuatu yang disebut sindrom inflamasi multisistem pada anak-anak yang dikenal sebagai MIS-C. Kasus ini dilaporkan sebagai reaksi kekebalan terhadap infeksi virus corona.

Dalam studi tersebut, ditunjukkan bagaimana semua anak dengan kondisi tersebut mengalami masalah pencernaan. Sekitar 80 persen menderita masalah jantung dan masalah lain terkait dengan darah. Sebagian besar anak-anak dirawat di rumah sakit selama sekitar 1 minggu dengan 80 persen dari mereka mendapatkan perawatan intensif. Empat dari 171 pasien meninggal dunia. 

Infeksi biasanya terjadi setelah 2-4 minggu setelah terjangkit SARS-CoV-2. Gangguan ini jarang terjadi, hanya menyerang 2 dari 100.000 anak. Kasus ini tampaknya lebih umum menyerang anak-anak kulit hitam, Hispanik atau Asia Selatan, demikian menurut editorial yang termasuk dalam studi. 

Beberapa gejala termasuk demam atau kedinginan, serta detak jantung yang cepat. 60 persen mengalami ruam dan beberapa menunjukkan mata kemerahan yang terkait dengan peradangan. Sedangkan beberapa lainnya meninggal dunia.