Lansia Harus Tahu Ini Agar Terhindar dari Kematian Akibat COVID-19

Ilustrasi lansia makan
Sumber :
  • Pixabay/pexels

VIVA – Hasil penelitian terbaru membandingkan respons kekebalan di antara beberapa kelompok usia. Hasilnya, penelitian ini dapat membantu menjelaskan mengapa pasien lansia menghadapi risiko tingkat keparahan dan kematian yang lebih tinggi, dibanding pasien yang lebih muda jika terinfeksi virus corona atau COVID-19.

Pasien yang lebih tua dengan penyakit ini memiliki frekuensi lebih rendah dari sel kekebalan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan virus dari tubuh, demikian temuan para peneliti. Studi tersebut sudah dipublikasikan di mBio, jurnal akses terbuka dari American Society for Microbiology.

"Orangtua memiliki penyakit yang lebih parah dibandingkan dengan yang muda, dan kami menemukan bahwa bagian sitotoksik dari pengendalian kekebalan tidak seefisien menanggapi virus pada orangtua," kata ahli virus Gennadiy Zelinskyy, Ph.D., di Rumah Sakit Universitas Essen di Jerman, yang juga memimpin studi baru ini, dikutip Times of India, Minggu 27 September 2020.

Baca Juga: Virus Corona Kini Disebut Tidak Begitu Mematikan

Dia dan rekan-rekannya menganalisis sampel darah dari 30 orang dengan kasus COVID-19 ringan untuk mengamati bagaimana sel T, yang diperlukan untuk pengenalan dan penghapusan sel yang terinfeksi, merespons selama infeksi SARS-CoV-2. Usia pasien berkisar dari 20 hingga 90-an.

Pada semua pasien, para peneliti menemukan, infeksi SARS-CoV-2 akut menyebabkan jumlah sel T yang lebih rendah dalam darah pasien, dibandingkan dengan orang yang sehat.

"Pengurangan ini telah menjadi salah satu dari banyak kejutan yang tidak diinginkan dari COVID-19. Kebanyakan virus, begitu masuk ke dalam tubuh, memicu peningkatan ekspansi sel T, sistem kekebalan. Ini termasuk sel T 'pembunuh' yang memainkan peran penting dalam memberantas sel yang terinfeksi virus," kata Zelinskyy.

Mereka menghasilkan molekul sitotoksik yang menghancurkan sel-sel yang terinfeksi di dalam tubuh. Tetapi, jika sistem kekebalan seseorang menghasilkan lebih sedikit sel T ini, itu akan kurang berhasil dalam melawan infeksi virus.

Dalam kelompok pasien COVID-19 yang dipelajari oleh Zelinskyy dan rekan-rekannya, para peneliti juga menemukan bahwa jumlah sel T CD8+ yang memproduksi molekul sitotoksik sebagai respons terhadap virus berkurang seiring bertambahnya usia.

Dan penurunan itu, secara signifikan dan rata-rata, terjadi pada pasien di atas usia 80 tahun. Selain itu, sel T 'pembunuh' dari pasien berusia 80-96 tahun, menghasilkan molekul sitotoksik pada frekuensi yang lebih rendah, dibanding sel serupa dari pasien yang lebih muda.

"Jika sistem kekebalan pasien lansia menghasilkan lebih sedikit sel T 'pembunuh', dan sel-sel ini tidak dipersenjatai secara memadai. Mereka mungkin memasang pertahanan yang tidak memadai terhadap SARS-CoV-2. Partikel virus dapat terus menyebar dan akibatnya infeksinya semakin parah," lanjut dia.

Data baru menunjukkan, sel T sitotoksik memainkan peran kunci dalam pengendalian infeksi awal. Tetapi, Zelinskyy memperingatkan, terlalu dini untuk mengetahui apakah hubungan itu dapat dimanfaatkan untuk merancang imunoterapi efektif yang menggunakan sel-sel ini.

Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk lebih memahami potensi risiko dan manfaat mengganggu sel T, sebagai cara untuk mengendalikan SARS-CoV-2 dan virus lainnya.