Varian COVID-19 Delta Ada di Indonesia, Seperti Apa Perkembangannya?

COVID-19
Sumber :
  • Pinkvilla

VIVA – Kasus COVID-19 di dunia hingga saat ini belum usai. Beberapa negara bahkan diketahui mengalami lonjakan kasus COVID-19, beberapa di antaranya diperparah dengan temuan varian delta.

Varian delta atau varian B1617.2 diketahui telah menyebar ke beberapa negara di dunia termasuk di Indonesia. Varian delta yang pertama kali ditemukan di India ini diduga menjadi pemicu ledakan kasus COVID-19 di India.

Hingga saat ini, varian delta masih dalam pengamatan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Namun beberapa waktu lalu, WHO memasukkan varian delta dalam Variant of Concern (VOC) atau varian yang mengkhawatirkan.

Lantas bagaimana di Indonesia?

Direktur Pencegahan Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan yang juru bicara vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan, dr. Siti Nadia Tarmizi kepada VIVA.co.id menerangkan bahwa hingga 13 Juni 2021 ada total 148 kasus infeksi varian Alpha, Beta dan Delta di Indonesia.

Lebih rinci, Nadia memaparkan dari 148 kasus infeksi yang ada, total 36 varian alfa dengan rincian, Jawa Tengah 1 kasus, DKI Jakarta 24 kasus, Sumatera Selatan 1 kasus, Jawa Timur 2 kasus, Sumatera Utara 2 kasus, Jawa Barat 2 kasus, Kepulauan Riau 1 kasus, Riau 1 kasus, Bali 1 kasus, Kalimantan Selatan 1 kasus.

Untuk kasus varian beta di Indonesia tercatat ada total 5 kasus. DKI Jakarta tercatat ada 4 kasus dan Jawa Timur 1 kasus.

Sedangkan untuk kasus varian delta di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dua varian lainnya yang telah ditemukan. Tercatat ada total 107 kasus varian delta yang ditemukan di Indonesia dengan rincian, Jawa Tengah tercatat ada sebanyak 75 kasus. DKI Jakarta 20 kasus, Sumatera Selatan 3 kasus, Jawa Timur 3 kasus, Kalimantan Timur 3 kasus, Kalimantan dan Tengah 3 kasus.

Di sisi lain, Menteri Kesehatan Budi Gunawan dalam keterangannya, 14 Juni 2021 ada tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya lonjakan kasus di Indonesia.

Pertama, interaksi sosial yang cukup tinggi. Kedua, pelanggaran protokol kesehatan. Ketiga, hadirnya varian virus baru yakni varian Delta yang penyebarannya sangat cepat.

“Makin tinggi interaksi sosial yang terjadi, maka peluang terjadinya lonjakan kasus makin tinggi. Hipotesisnya adalah varian Delta sudah bertransmisi secara lokal di daerah Kudus karena masif. Bukan tidak mungkin transmisi lokal varian Delta sudah terjadi di daerah lain di Indonesia, hanya kita belum mendeteksi saja,” ungkap dr. Gunadi.

Mengenal varian delta

Varian delta atau B.1.617.2 diketahui pertama kali ditemukan di India. Hingga saat ini menurut data WHO varian delta telah menyebar ke 80 negara di dunia. Varian delta diketahui memiliki mutasi yang menyebabkan peningkatan penularan. Menurut laporan Public Health England (PHE) penularan varian delta tiga kali lebih menular dibandingkan dengan varian pertama COVID-19 yang ditemukan di Wuhan, China.

Dekan FKUI, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB menjelaskan bahwa varian delta ini juga cepat menular dan bisa menginfeksi masyarakat usia muda.

"WHO itu sebut Variant of Concern (VOC) dari WHO jelas virus itu berbahaya enggak bisa kita bilang enggak berbahaya seperti alfa, delta, beta itu berbahaya. Kalau enggak enggak mungkin dimention oleh WHO. Berbahayanya apa cepat menular dan bisa mengenai orang muda. karena cepat menular dan mudah menularnya," kata Ari kepada VIVA melalui sambungan telepon, baru-baru ini.

Selain itu, Ari juga menyebut bahwa varian Delta ini memiliki risiko keparahan pada pasien terutama mereka yang memiliki komorbid. Hal ini kata Ari juga menyebut berdasarkan riset Lancet di Skotlandia dimana Varian Delta menyebabkan peningkatan risiko rawat inap 2,61 kali lebih tinggi.

Bahkan, risiko rawat inap yang lebih tinggi ini juga memungkinkan peningkatan risiko sakit berat yang membutuhkan alat bantu napas atau ventilator sebanyak 1,67 kali lebih tinggi. Itu artinya juga bisa meningkatkan kemungkinan angka kematian yang lebih tinggi.

"Prinsipnya kalau orang itu mempunya komorbid itu akan parah makanya itu sejalan dengan angka kematian kita yang meningkat karena kalau kasusnya kena pada orang yang memiliki komorbid dan belum divaksin jelas itu akan berbahaya. Riset di Skotlandia menyebutkan demikian bahwa pada orang delta banyak membutuhkan oksigen lebih tinggi, kematian 2x," ujar Ari.

Selain itu, penelitian terbaru dari The Lancet diketahui varian Delta ini bisa menginfeksi kembali pasien COVID-19 dan semakin memperlemah kekebalan tubuh pasien.

Terkait dengan varian delta, sejumlah gejala harus diperhatikan masyarakat. Sejumlah pakar menyebut bahwa gejala dari varian delta ini berbeda jika dilihat dari varian virus COVID-19 yang pertama kali menyebar di Wuhan pada akhir 2019 lalu.

Ari menjelaskan, berdasarkan laporan dari India, beberapa gejala dari varian delta ini meliputi hilang pendengaran dan nyeri pada ulu hati.

"Umumnya demam, batuk, pilek sesak, mual kadang diare muntah tapi memang untuk delta dari report di India mereka beberapa hal klinik agak menonjol gangguan pendengaran, nyeri ulu hati, mual-mual itu yang menonjol tapi itu adalah bisa juga bagian gejala COVID-19," ungkap Ari.

Di sisi lain, Ketua Satuan Gugus Tugas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof. Zubairi Djoerban menurutnya, gejala yang dialami berbeda dengan pasien COVID-19 sebelumnya. Zubairi menjelaskan, varian baru ini, memiliki tiga gejala utama.

"Varian Delta atau yang baru, gejalanya lebih banyak sakit kepala, tenggorokan dan pilek. Seperti kena flu berat," katanya dalam akun twitter @ProfZubairi, dikutip Rabu 16 Juni 2021.

Selain itu, gejala lain virus Corona varian Delta adalah terjadi penggumpalan darah di dalam tubuh individu yang terinfeksi, lapor bloomberg. Tingkat keparahan penggumpalan darah tersebut berbeda-beda antara satu penderita dengan penderita lainnya, antara ringan sampai berat.

Jika penggumpalan darah itu tergolong ringan, maka biasanya muncul ruam atau bengkak pada beberapa area tubuh. Namun, jika penggumpalan darahnya sudah terbilang berat, maka penggumpalan darah tersebut dapat memicu stroke atau serangan jantung.

Meski demikian, untuk mencegah varian baru ini, bisa dicegah dengan vaksinasi. Dalam studi yang dipublikasi oleh Lancet, dua dosis vaksin COVID-19 dapat memberikan perlindungan yang jauh lebih baik terhadap varian Delta, dibandingkan dengan satu dosis suntikan vaksin.

Para peneliti di Public Health Scotland dan University of Edinburgh, Inggris, menemukan bahwa vaksin Pfizer-BioNTech menawarkan perlindungan yang lebih baik terhadap varian Delta dibandingkan dengan pencegahan Oxford-AstraZeneca, yang dikenal sebagai Covishield di India.

Analisis tersebut mencakup periode dari 1 April hingga 6 Juni 2021, untuk distribusi demografis kasus. Tim menganalisis 19.543 infeksi SARS-CoV-2 yang dikonfirmasi selama periode penelitian, 377 diantaranya dirawat di rumah sakit karena COVID-19 di Skotlandia.

Sekitar 7.723 kasus komunitas dan 134 rawat inap ditemukan memiliki varian Delta coronavirus. Studi tersebut menemukan bahwa vaksin Pfizer menawarkan 92 persen perlindungan terhadap varian Alpha dan 79 persen terhadap strain Delta dua minggu setelah dosis kedua.

Untuk vaksin AstraZeneca, ada 60 persen perlindungan terhadap Delta dibandingkan dengan 73 persen untuk varian Alpha, kata para peneliti. Mereka juga menemukan bahwa dua dosis vaksin memberikan perlindungan yang jauh lebih baik terhadap varian Delta, dibandingkan dengan satu dosis.

Meski sudah mendapatkan dua kali dosis vaksin, Ari menjelaskan bahwa masyarakat masih bisa terpapar virus corona termasuk varian delta yang saat ini tengah menyebar di Indonesia.

"Kita belum tau 1-2 kali kita lihat. Tapi jelasnya apapun orang yang sudah divaksin bisa kena infeksi tapi risiko infeksinya rendah, komplikasi yang didapat tidak tinggi, yang jelas orang yang sudah divaksin lebih survive dibanding yang tidak divaksin," kata Ari.

APA YANG HARUS DILAKUKAN PEMERINTAH?

Varian delta diketahui telah masuk di Indonesia diketahui Kudus, Jawa Tengah diketahui mencatatkan angka varian delta yang cukup tinggi yakni 62 kasus hingga per 13 Juni kemarin. Kemudian ditemukan di Jakarta pada pekan lalu, yang tercatat hingga 13 Juni kemarin sebanyak 20 kasus.

Meningkatnya kasus varian delta di sejumlah daerah menyebabkan pemerintah memutuskan untuk menarik rem darurat. Terkait dengan hal ini, Kepala Departemen Epidemiologi FKM Universitas Indonesia, Tri Yunis menyayangkan respon tersebut baru dilakukan.

"Karena varian delta penularannya luar biasa, pemerintah kita baru menarik remnya menurut saya sudah terlambat sudah menyebar kemana-mana. Walaupun terlambat menurut saya seharusnya dilakukan lockdown tapi pemerintah kita enggak," kata Tri kepada VIVA melalui sambungan telepon, Senin 21 Juni 2021.

Dijelaskannya, untuk menanggulangi hal ini pemerintah bisa melakukan dua opsi dengan mempercepat program vaksinasi COVID-19 atau melakukan program intensif untuk penanggulangannya.

"Kalau dilakukan social distancing dari ringan dinaikkan jadi sedang, atau lockdown. Dengan varian baru ini saya anjurkan untuk lockdown minimal 1 bulan supaya varian baru itu tidak menyebar karena sekarang sudah menyebar kemana-mana," kata dia.

Dia juga menyebutkan bahwa melakukan lockdown selama satu bulan juga akan berdampak pada perekonomian sebagai imbasnya. Namun, meski begitu dia menyebut lockdown selama satu bulan tidak memberikan dampak yang fatal bagi perekonomian Indonesia.

"Dampak 1 bulan enggak akan mati banget. kamu di lockdown akan tetap belanja via online. Masyarakat kecil dibiayai pemerintah kasih makan oleh pemerintah, artinya harusnya aman satu bulan," kata dia.

Di sisi lain, Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan strategi 3 T juga memiliki peranan dalam mengatasi lonjakan kasus khusus varian delta. Program 3T ini juga diimbangi dengan peran serta dari berbagai pihak.

"Masing-masing punya peran terkait, 3T (Testing, Tracing, dan Treatment) pemerintah utama tapi dalam pelaksanaannya butuh peran serta masyarakat kalau enggak mau ada testing ga bisa, sebaliknya kalau masyarakat mau ditesting tapi pemerintah ga memadai ya juga enggak. swasta juga masuk," kata Dicky kepada VIVA, Senin 21 Juni 2021.

Selain itu, 5M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas) juga memiliki peran besar dalam mencegah varian ini semakin menular.

"5 M juga di masyarakat perannya harus difasilitasi pemerintah dalam bentuk regulasinya ataupun sarananya itu yang dilakukan kontribusi dan konsisten," kata dia.

Terkait dengan opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB seperti yang dilakukan di DKI Jakarta juga bisa menjadi satu opsi tambahan yang bisa dilakukan bukan hanya DKI Jakarta tetapi juga sejumlah provinsi di daerah lain untuk dalam meredam varian virus delta semakin meluas.

"PSBB jadi satu opsi tambahan memang dalam situasi memerah seperti ini dalam kaitan beban di faskes besar. PSBB akan membantu untuk meredam beban memberi kelonggaran waktu dan mencegah cepatnya penyebaran ini dan ini harus dilakukan dengan efektif ga soliter karena udah dimana-mana enggak di Jakarta aja di kota-kota lain juga harus bersinergi, selain itu durasinya minimal 2 minggu masa inkubasi kalau bisa 2x masa inkubasi," kata Dicky.

VAKSINASI BISA CEGAH PENULARAN DELTA SEMAKIN MELUAS?

Tri Yunis menjelaskan, untuk program vaksinasi juga bisa dilakukan. Namun dia menyebut untuk program vaksinasi masih terkendala dengan ketersediaan vaksin.

"Pemerintah kita melawannya dengan vaksinasi silahkan, kalau memang vaksinnya ada lawan dengan vaksinasi. Vaksinasi harus 60-70 persen tapi masalahnya kecepatannya (varian delta). Vaksinnya belum ada, belum cukup Jawa-Bali harus divaksin. penduduk Jawa-Bali kira-kira 180 juta yang divaksin. 180 juta kita perlu 360 juta dosis yang baru sekarang 120 juta dosis yang 40 juta dikasih ke masyarakat," kata Tri.

Di sisi lain, Dicky menjelaskan vaksinasi memang bisa dilakukan. Namun vaksinasi saja tidak cukup untuk mengatasi varian delta ini. Perlu adanya kombinasi dan konsistensi dari semua pihak untuk menekan agar varian ini tidak semakin meluas.

"Vaksinasi saja tidak cukup kalau bicara delta varian, kalau herd immunity itu perjalanannya panjang, bahkan jika tercapai 95 persen hitungan secara epidemiologi ga juga menjamin selesai kematian hilang enggak juga. Inilah kenapa tidak bisa harus ada kombinasi strategi tadi 3T, vaksinasi pembatasan pergerakan, mobilitas dan keramaian. Yang penting konsisten dan dilakukan bersama dengan masa yang setidaknya satu kali masa inkubasi 2 minggu atau dua kalinya," kata Dicky.