Ahli Prediksi Gelombang COVID-19 Baru di China Picu Varian Omicron Mematikan
- Pixabay/Tumisu
VIVA Lifestyle – Para ilmuwan mulai khawatir apa yang mungkin terjadi di awal pandemi, kembali terulang seiring lonjakan kasus COVID-19 di China. Tak sedikit para ahli yang memprediksi bahwa lonjakan kasus di Tiongkok, China dapat berdampak pada munculnya mutasi virus corona baru, yang mungkin mematikan.
Para ahli menduga, mutasi yang muncul bisa jadi mirip dengan varian omicron yang beredar di sana sekarang. Ini bisa menjadi kombinasi dari tiap mutasi. Atau sesuatu yang sama sekali berbeda, kata mereka.
“China memiliki populasi yang sangat besar dan kekebalannya terbatas. Dan itu tampaknya menjadi latar di mana kita mungkin melihat ledakan varian baru,” kata Dr. Stuart Campbell Ray, pakar penyakit menular di Universitas Johns Hopkins, dikutip laman AP News.
Setiap infeksi baru menawarkan kesempatan bagi virus corona untuk bermutasi. Teori itu pun mengukuhkan prediksi para ahli bahwa virus corona menyebar dengan cepat di China. Negara berpenduduk 1,4 miliar ini sebagian besar telah meninggalkan kebijakan "nol COVID".
Mutasi Diduga Akibat Rendahnya Vaksin Booster
Di sisi lain, meskipun tingkat vaksinasi yang dilaporkan secara keseluruhan tinggi, tingkat booster jauh lebih rendah, terutama di kalangan usia lanjut. Vaksin lengkap saja terbukti kurang efektif melawan infeksi serius dibandingkan versi messenger RNA buatan Barat.
Banyak yang terlewatkan vaksin booster dari setahun yang lalu, artinya kekebalan sudah berkurang. Hasilnya, kondisi itu seolah menjadi lahan subur bagi virus untuk berubah dan bermutasi sesukanya.
“Saat kami melihat gelombang besar infeksi, sering kali diikuti dengan munculnya varian baru,” kata Ray.
Sekitar tiga tahun lalu, versi asli virus corona menyebar dari China ke seluruh dunia dan akhirnya digantikan oleh varian delta, kemudian omicron dan turunannya, yang terus menjangkiti dunia saat ini. Shan-Lu Liu, yang mempelajari virus di Ohio State University, mengatakan banyak varian omicron yang ada telah terdeteksi di China, termasuk BF.7, yang sangat mahir menghindari kekebalan dan diyakini mendorong lonjakan kasus saat ini.
Para ahli mengatakan populasi yang sebagian kebal seperti China memberi tekanan khusus pada virus untuk berubah. Ray membandingkan virus itu bak petinju yang belajar menghindari keterampilan yang dimiliki dan beradaptasi untuk menyiasatinya.
Gejala Virus Corona Tidak Ringan
Satu hal besar yang tidak diketahui adalah apakah varian baru akan menyebabkan penyakit yang lebih parah. Para ahli mengatakan tidak ada alasan biologis yang melekat mengapa virus harus menjadi 'lebih ringan' dari waktu ke waktu.
“Sebagian besar keringanan gejala yang kami alami selama enam hingga 12 bulan terakhir di banyak bagian dunia disebabkan oleh akumulasi kekebalan baik melalui vaksinasi atau infeksi, bukan karena virus telah berubah dalam tingkat keparahan," kata Ray.
Di China, kebanyakan orang belum pernah terpapar virus corona. Vaksin China mengandalkan teknologi lama yang menghasilkan lebih sedikit antibodi daripada vaksin messenger RNA.
Kondisi Memprihatinkan di China
Baru-baru ini, Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan keprihatinan tentang laporan penyakit parah di China. Di sekitar kota Baoding dan Langfang di luar Beijing, rumah sakit kehabisan tempat perawatan intensif dan staf karena kasus yang parah melonjak.
Rencana China untuk melacak pusat virus di sekitar tiga rumah sakit kota di setiap provinsi, di mana sampel akan dikumpulkan dari pasien yang sangat sakit dan semua yang meninggal setiap minggu, kata Xu Wenbo dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China di pengarahan hari Selasa.
Dia mengatakan 50 dari 130 versi omikron yang terdeteksi di China mengakibatkan wabah. Negara itu membuat basis data genetik nasional untuk memantau secara real time, bagaimana berbagai jenis berkembang dan potensi implikasinya bagi kesehatan masyarakat, katanya.
Namun, pada titik ini, ada informasi terbatas tentang pengurutan virus genetik yang keluar dari China, kata Jeremy Luban, ahli virologi di University of Massachusetts Medical School.
“Kami tidak tahu semua yang terjadi,” kata Luban. Namun yang jelas, “pandemi belum berakhir.”