Hindari Diabetes, Rajin-rajin Minum Susu
- Pixabay
VIVA – Selain kalsium dan protein, susu juga memiliki kandung asam lemak yang memiliki manfaat luar biasa bagi tubuh. Salah satu jenis asam lemak yang ada dalam susu tersebut adalah asam lemak trans.
Menurut ahli gizi Dr. Marudut, BSc, MPS, asam lemak trans dalam susu berbeda dengan asam lemak trans yang dikenal menyebabkan penyakit berbahaya. Bahkan secara fakta ilmiah, telah terbukti bahwa asam lemak trans susu dapat menurunkan risiko diabetes melitus.
"Dari jurnal ilmiah American Journal of Clinical Nutrition (ACJN), penelitiannya bersifat kohort atau berkelanjutan,” katanya di kawasan Menteng, Jakarta, Selasa, 5 November 2017.
Marudut melanjutkan, semakin tinggi sirkulasi asam lemak trans palmitoleat dalam darah, menjadikan biomarker diabetes melitus yang lebih rendah. Artinya, risiko menderita diabetes menjadi sangat rendah.
Sementara pada konsentrasi asam lemak trans yang lebih tinggi, risiko diabetes dua kali lebih rendah, dibandingkan konsentrasi yang lebih rendah.
"Hasil penelitian konsisten dengan metaanalisis, atau penelitian-penelitian yang dikumpulkan dan diolah kemudian disimpulkan, pada tahun 2015 dalam British Medical Journal, asam lemak trans susu dapat menurunkan diabetes melitus," lanjutnya.
Berbeda dengan asam lemak trans susu dengan asam lemak trans dari bahan pangan lain adalah proses pembentukannya. Dalam asam lemak susu terjadi dengan proses biohidrogenasi, di mana salah satu prosesnya ditambahkan atom hidrogen dari asam jenuh menjadi tak jenuh.
"Proses asam lemak trans susu ini diperoleh dari pakan yang dikonsumsi dan dicerna oleh hewan memamah biak, kemudian oleh enzim bakteri yang disalurkan lewat pencernaan," jelas Marudut.
Jadi, pengaruhnya tidak sama terhadap kesehatan. Sedangkan asam lemak trans lain, bila dikonsumsi berlebih akan menyebabkan penyakit dengan kematian mendadak atau suddenly death, yaitu penyakit jantung koroner.
Meski Indonesia belum menetapkan jumlah aman konsumsi asam lemak, namun berdasarkan rekomendasi WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2003, menyebutkan bahwa jumlah aman konsumsinya adalah 1 persen dari total energi yang dibutuhkan.