Kurang Gizi Picu Anak Mudah Sakit, Ahli Sarankan 'Isi Piringku'

Ilustrasi pola makan anak
Sumber :
  • Pixabay/heikeschuchert

VIVA – Gizi yang baik menjadi sumber utama dalam pembentukan tumbuh kembang anak. Sayangnya, masih banyak orangtua yang belum memenuhi kebutuhan gizi yang tepat sehingga anak berisiko terhadap stunting.

Saat ini Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi anak, misalnya kondisi kekurangan makronutrien seperti stunting, maupun kekurangan mikronutrien zat besi yang menyebabkan anemia. Anak yang menderita tantangan kesehatan seperti anemia dan stunting tidak dapat berkembang secara optimal karena hal tersebut bukan hanya menghambat fisik, namun juga kecerdasan.

"Anak adalah SDM yang perlu perhatian khusus agar gizinya tercukupi mulai sejak dari kandungan hingga setelah lahir. Jika tidak, akan ada masalah gizi di masa depan," ujar Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Dhian Dipo, dalam acara webinar Membangun Generasi Sehat Melalui Edukasi Gizi seimbang Sejak Dini yang digagas Danone Indonesia, baru-baru ini.

Menurut Riskesdas 2018, stunting tercatat sebesar 30,8 persen, kemudian turun menjadi 27,67 persen di 2019. Namun, angka ini masih sangat jauh dari batas yang ditetapkan WHO yakni 20 persen.

Terlebih, pandemi COVID-19 yang masih melanda juga mengharuskan anak mengonsumsi gizi tepat untuk menjaga kekebalan tubuh. Tidak saja membuat anak lebih mudah tertular virus SARS-CoV-2, tapi juga membuat infeksi kronis meningkat.

Dikatakan Ahli Gizi  Prof. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi, pemenuhan gizi anak perlu mengacu pada Isi Piringku yang dicanangkan Kementerian Kesehatan RI sejak 2017 lalu. Dalam satu piring, disarankan terdiri dari karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral.

Porsinya sendiri yakni sepertiga diisi oleh karbohidrat yang mencakup nasi, kentang, atau mi. Sepertiga lainnya diisi sayur, kemudian sepertiga lagi diisi lauk pauk serta aneka buah.

Menurut Prof. Anna, sapaan akrabnya, gizi yang tak terpenuhi oleh si kecil biasanya dipicu oleh sifat anak yang suka memilih makanan. Apalagi, Pandemi memang kerap memberi rasa jenuh akan hidangan dan rasa yang disajikan, sehingga anak merasa enggan mengonsumsi makanannya, khususnya sayur.

"Saran saya adalah orangtua tidak perlu bosan-bosannya mengenalkan berbagai macam sayur kepada anak. Tapi tentu saja dengan cara pengolahan dan juga bentuk sayurnya yang juga mungkin divariasikan dan dibuat menarik untuk anak," jelasnya.

Ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) itu menyarankan agar orangtua memvariasikan sayur, seperti dimasukan dalam omelet. Prof Anna juga menyarankan agar orangtua tak bosan memberi edukasi akan pentingnya gizi pada anak, serta mencontohkan pola makan sehat.

"Jadi tetap dikenalkan, tetap disarankan kepada anak tapi jangan memaksa. Karena kalau sudah memaksa anak-anak akan defence, dia akan menolak, dia akan jengkel sehingga marah dan menolak segala makanan yang kita berikan," ujar  Ketua tim penyusun buku Isi Piringku 4-6 tahun itu.