Wanita Hamil Konsumsi Paracetamol Berisiko Lahirkan Bayi ADHD

Ilustrasi paracetamol.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Paracetamol menjadi salah satu jenis obat penurun panas dan pereda nyeri yang umum disimpan sebagai persediaan obat darurat di rumah. Namun harus diingat bahwa penggunaan paracetamol perlu diketahui penggunaannya, jangan sampai salah.

Salah satu yang perlu diperhatikan adalah penggunaan paracetamol untuk wanita hamil. Sebab, dalam sebuah studi internasional ditemukan bahwa wanita yang mengonsumsi paracetamol saat hamil memiliki kemungkinan untuk melahirkan anak yang memiliki autisme atau ADHD.

Dilansir dari laman Dailymail, penelitian tersebut melibatkan lebih dari 70.000 anak di enam negara Eropa termasuk Inggris yang dianalisis oleh tim dari University of Barcelona. Dari penelitian itu, ditemukan, 56 persen ibu yang memiliki anak dengan spektrum autisme atau dengan ADHD mengonsumsi paracetamol saat hamil.

Dari penelitian itu diketahui, paracetamol adalah obat yang paling umum dikonsumsi oleh wanita hamil untuk menghilangkan rasa sakit, dengan sekitar 65 persen mengatakan mereka menggunakannya selama kehamilan mereka. Studi ini tidak mengeksplorasi penyebab pastinya, tetapi penelitian sebelumnya menunjukkan obat tersebut dapat masuk ke dalam tubuh bayi dan melepaskan racun yang telah dikaitkan dengan kinerja kognitif dan masalah perilaku yang lebih buruk pada anak-anak.

Para peneliti mengatakan bahwa calon ibu tidak boleh berhenti minum obat jika mereka kesakitan, tetapi obat itu hanya boleh digunakan 'bila perlu' untuk meminimalkan risiko.

"Paracetamol adalah obat anti-inflamasi teraman untuk kehidupan prenatal. Tapi, bahkan paracetamol telah menunjukkan efek samping. Jadi, ambil saja jika diperlukan," kata rekan penulis studi,Prof Jordi Sunyer.

Studi baru ini menemukan anak-anak yang ibunya menggunakan obat pereda nyeri 19 persen lebih mungkin menjadi autis dan 21 persen lebih mungkin untuk mengembangkan gejala ADHD. Penelitian, yang juga memasukkan data yang bersumber dari Denmark, Belanda, Italia, Yunani dan Spanyol, mendukung temuan dari penelitian sebelumnya.

Untuk diketahui, pada penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa paracetamol dapat melewati sawar plasenta dan dapat tetap berada dalam sirkulasi bayi untuk jangka waktu yang lama. Studi lain telah mengungkapkan bahwa tetap berada dalam sirkulasi bayi terkait dengan kinerja kognitif dan masalah perilaku yang lebih buruk ketika mereka lebih tua.

Pada orang dewasa dengan fungsi hati normal, sekitar lima persen paracetamol diproses menjadi metabolit yang sangat beracun yang secara ekstrem dapat menyebabkan kerusakan hati. Tetapi karena kemampuan janin yang terbatas untuk memproses toksin, racun tersebut bertahan dalam durasi yang lebih lama sehingga meningkatkan paparan di dalam rahim.

Seorang peneliti postdoctoral di University of Barcelona, Dr Silvia Alemany mengatakan pihaknya juga menemukan bahwa paparan paracetamol sebelum melahirkan mempengaruhi anak laki-laki dan perempuan dengan cara yang sama, karena kami mengamati secara praktis tidak ada perbedaan.

Di sisi lain, Dr Sunyer mengatakan bahwa mengingat semua bukti yang menghubungkan paracetamol dengan gangguan neurologis, obat tersebut tidak boleh dihentikan pada kehamilan, tetapi hanya boleh diberikan 'bila diperlukan'.

Di beberapa titik selama kehamilan, diperkirakan 46-56 persen wanita hamil di negara maju menggunakan paracetamol, yang dianggap sebagai analgesik paling aman untuk wanita hamil dan anak-anak. Namun, semakin banyak bukti yang mengaitkan paparan paracetamol prenatal dengan kinerja kognitif yang lebih buruk, lebih banyak masalah perilaku, dan gejala ASC dan ADHD.

Studi-studi sebelumnya telah dikritik karena fakta bahwa mereka tidak memasukkan orang-orang dari berbagai latar belakang dan lokasi yang cukup luas. Itulah sebabnya studi baru ini memasukkan informasi ekstensif dari beberapa studi longitudinal yang dilakukan pada wanita hamil di seluruh Eropa.

"Sampelnya besar, kami juga menggunakan kriteria yang sama untuk semua kelompok, sehingga mengurangi heterogenitas kriteria yang menghambat penelitian sebelumnya," kata Alemany.

Sebuah penelitian pada tahun 2007 menemukan bahwa 84 persen anak-anak telah diberikan parasetamol pada usia enam bulan. Studi ini juga melihat penggunaan paracetamol selama masa kanak-kanak dan tidak menemukan peningkatan risiko autisme dan gejala ADHD.

Namun demikian, tim peneliti menyimpulkan bahwa studi lebih lanjut diperlukan. Studi ini dipublikasikan di European Journal of Epidemiology.