KPAI: Butuh 5 Kesiapan untuk Mulai Sekolah Tatap Muka

Ilustrasi orangtua antar anak ke sekolah.
Sumber :
  • Freepik/zalkina

VIVA – Rencana Pembelajaran Tatap Muka (PTM) atau sejilah tatap muka kian gencar disuarakan, namun juga menimbulkan banyak pro kontra. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut bahwa butuh lima persiapan untuk menerapkan hal tersebut.

Wakil Ketua KPAI, Rita Pranawati, MA, hadir sebagai salah satu pembicara dalam VIVATalk bertajuk 'COVID-19 Masih Nyata, Sekolah Tatap Muka Jadi Pro Kontra', menyebut butuh persiapan secara matang sebelum mengizinkan anak ke sekolah. Bukan cuma satu, namun butuh beberapa faktor untuk bisa melaksanakan proses pembelajaran tersebut.

"Ada 5 kesiapan. Butuh kesiapan anak, orang tua, guru, sekolah, dan pemda (pemerintah daerah)," kata Rita.

Pemda misalnya, Rita menuturkan perlu adanya pembatasan wilayah terkait zona agar bisa menentukan sekolah mana yang boleh dibuka. Lalu, di sekolah pun harus sudah ada infrasturktur yang mendukung seperti area mencuci tangan dan ruang medis darurat.

Sementara dari guru, sudah harus mendapat vaksinasi secara menyeluruh agar tak menulari. Untuk orang tua pun harus mampu mengedukasi anak terkait kebersihan diri.

"Pada anak, orang tua yang tahu kesiapannya. Misal, ada yang alergi, mudah flu, maka orang tua yang bisa ukur apa dia siap atau enggak. Secara kesehatan dia siap enggak?" ungkap Rita.

Apabila ada salah satu dari lima faktor itu yang belum siap, maka lanjut Rita, tak boleh ada penerapan PTM dan tetap belajar secara daring. Menurut Rita, meski tak sepenuhnya lancar, namun proses pembelajaran secara daring akan lebih baik tanpa adanya lima kesiapan itu.

"Itu jauh lebih baik dibanding anak kena COVID-19. Anak kan kalau sakit tidak mudah, mereka enggak bisa ngomong. Makanya untuk atasi ini, bagaimana jadi orangtua yang kreatif, jangan mati gaya," terang Rita.

Serupa, Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi menyebut bahwa pilihan untuk PTM atau pun daring, ada pada orang tua sepenuhnya. Pemerintah pun, kata Nadia, tak ingin anak kehilangan perkembangan sosialnya di tengah pandemi.

"Tidak semua orangtua juga bisa jadi pendidik bagi anak. Kadang orangtua punya pendidikan jauh lebih rendah, jadi hal-hal ini yang jadi pertimbangan pemerintah. Belum lagi, orangtuanya mikir kan nggak sekolah jadi anak boleh kerja, ini kan eksploitasi," beber Nadia, dalam kesempatan yang sama.