Menjaga Hutan dengan Ritual Adat Khas Masyarakat Buton

Masyarakat Buton
Sumber :
  • Viva.co.id/Kama Egi

VIVA – Bagi masyarakat Buton Sulawesi Tenggara, hutan ibarat Tuhan di dunia. Adalah tempat menyediakan berbagai sumber daya alam, kayu atau hasil buruan yang sangat menguntungkan pihak manusia. Hutan dianggap sebagai lokasi yang sangat sakral.

Masyarakat adat Buton memegang teguh dan menganggap bahwa hutan harus dijaga dan dilestarikan. Merusak hutan artinya membuat malapetaka dan merendahkan martabat sang pencipta.

Karenanya, masyarakat Buton memiliki sebuah tradisi untuk menghormati hutan, dengan melakukan upacara Tutura. Atau pemberian sesajen bagi hutan. Kegiatan tersebut dipercaya agar hutan dapat terus menjadi penyangga kehidupan masyarakat Buton.

Untuk pelestarian hutan di Kepulauan Buton, masyarakat setempat mempercayakan kepada warga adat Siontapina. Yang bermukim di kaki gunung Siontapina, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Mereka melestarikan hutan dengan ritual adat yang digelar di puncak Gunung Siotapina setiap tahun.

Ratusan masyarakat berbondong-bondong mendaki gunung Siontapina. Dari segala penjuru Pulau Buton mulai dari Kota Baubau, Kabupaten Buton, Buton Selatan, Buton Utara, dan Buton Tengah, hadir untuk menunaikan acara adat Tutura di gunung Siontapina yang dibungkus hutan belantara.

Mereka menapaki pegunungan Siontapina untuk mencapai puncak yang jaraknya sekitar 50 kilometer dari kaki gunung. Membawa seluruh perlengkapan tutura yang terdiri dari berbagai macam makanan khas Buton. Ritual tahunan di Puncak Gunung Siontapina ini dilaksanakan selama tiga hari.

Masyarakat Buton, mempercayai pelaksanaan ritual tutura tersebut adalah arahan yang dipercayai secara turun temurun dari Sultan Buton, bernama La Ode Himayatuddin Muhamad Saidi atau biasa disebut Oputa Sangia Yikoo.

Arahan tersebut muncul karena sebelumnya Gunung Siontapina adalah benteng Laode Himmayatuddin Muhammad Saidi Ibnu Sulthaani Liyaluddin Ismail.

“Dalam penekanan Muhammad Sadi Ibnu masyarakat perlu  menjaga kelestarian hutan untuk menunjang aktivitas kehidupan masyarakat pengikutnya. Hutan ini dulu dinamakan sebagai Kaombo dan sekarang menjadi hutan adat,” kata kepala Adat Siontapina, La Denggela.

Pria ini disebut oleh masyarakat setempat adalah Bonto Kabumbu Siontapina. Atau penjaga hutan Siontapina. Ia menjelaskan, dalam acara adat tutura di Siontapina terdapat dilaksanakan oleh rumpun Wasuamba, Labuandiri, Lawele dan Kamaru. 

Lebih lanjut ia menerangkan bahwa dalam ritual Siontapina dilasnakan dengan tiga jenis budaya yaitu Sambure’a, Sangka dan Pemutaran Payung.

“Setelah semuanya berakhir maka semua masyarakat berdoa agar hutan tetap menjadi penopang kehidupan kita. Semoga hutan ini dan di seluruh Indonesia bisa lestari dan terjaga. Karena di situ ada sumber kehidupan kita,” ujarnya. (mus)