Hukum Rajam LGBT Dikecam, Brunei Tetap 'Melenggang'

Ilustrasi kelompok LGBT
Sumber :
  • VIVA/spectrum.com

VIVA – Brunei Darussalam resmi memberlakukan hukum pidana syariah Islam yang mencantumkan di antaranya hukuman rajam hingga tewas bagi pelaku seks menyimpang atau kaum homoseksual di negara tersebut. Aturan ini berlaku juga bagi kaum non-muslim yang berada di negara tersebut.

Penerapan hukum pidana syariah Islam di Brunei Darussalam sejatinya telah diumumkan dalam upacara resmi kerajaan pada Rabu, 30 April 2014 silam. Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah menyampaikan bahwa syariat Islam akan ditegakkan di Brunei Darussalam mulai Kamis 1 Mei 2014. 

Hanya dalam penerapannya dilakukan secara bertahap, mulai dari yang paling ringan hingga keseluruhan. Tahap pertama dan kedua mencakup hukuman penjara atau denda untuk pelanggaran-pelanggaran seperti tidak menunaikan salat Jumat dan hamil di luar nikah.

Tahap ketiga yang dilaksanakan pada 3 April 2019, yakni memuat hukuman yang lebih berat, antara lain hukuman mati dengan cara rajam untuk tindak pidana kejahatan perzinaan, sodomi, penistaan Islam, menghina Alquran dan Nabi Muhammad SAW.

Kemudian pencuri akan dihukum dengan cara diamputasi salah satu tangan untuk tindak kejahatan pertama, dan diamputasi salah satu kaki untuk kejahatan kedua.

Rajam merupakan hukuman dengan cara melempari seseorang dengan batu hingga tewas. Dalam penerapannya, hukuman cambuk, pancung, dan rajam dilakukan di depan publik untuk memberikan pelajaran dan efek jera bagi masyarakat.

"Hukum (syariah), selain mempidanakan dan mencegah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam, juga bertujuan mengedukasi, menghormati, dan melindungi hak sah semua individu, masyarakat, atau kebangsaan, agama, dan ras," sebut pernyataan resmi dari kantor perdana menteri Brunei, seperti dikutip dari kantor berita Reuters.

Raja Brunei, Sultan Hassanal Bolkiah 

Dalam pidato publik untuk menandai penanggalan khusus dalam kalender Islam, Sultan Bolkiah pernah menyerukan ingin menerapkan ajaran Islam yang lebih kuat di Brunei, tetapi Ia tidak menyebutkan hukum pidana yang baru.

"Saya ingin melihat ajaran Islam di negara ini tumbuh lebih kuat," katanya dalam pidato yang disiarkan secara nasional di sebuah pusat konvensi di dekat ibukota Bandar Seri Begawan seperti dilansir NDTV

"Saya ingin menekankan bahwa negara Brunei adalah ... negara yang selalu mengabdikan ibadahnya kepada Allah," lanjutnya.

Dia mengatakan, bahwa dia ingin panggilan Muslim untuk berdoa di semua tempat umum, tidak hanya di masjid, untuk mengingatkan orang-orang tentang kewajiban Islam mereka.

Sultan, yang telah naik takhta selama lebih dari lima dekade itu juga bersikeras bahwa Brunei adalah negara yang adil dan bahagia.

"Siapa pun yang datang untuk mengunjungi negara ini akan memiliki pengalaman manis, dan menikmati lingkungan yang aman dan harmonis," katanya.

Bagaimanapun, hukum rajam yang diterapkan Brunei telah menempatkan negara bekas jajahan Inggris itu sebagai negara pertama di Asia yang menerapkan hukum pidana syariah di tingkat nasional, bersanding dengan negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi.

Padahal, sebelum aturan ini berlaku, hukuman bagi pelaku homoseksual di Brunei masih 'ramah', dikategorikan pelanggaran hukum, ancamannya 10 tahun penjara. Tapi kini, pelaku homoseksual akan dihukum rajam sampai mati.

Kecaman Barat

Keputusan Brunei untuk terus maju dengan penerapan hukum syariah telah memicu kekhawatiran di seluruh dunia. PBB memberi label mereka 'kejam dan tidak berperikemanusiaan'. Komisioner Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet, menuduh Brunei Darussalam berusaha menerapkan hukum kejam dan tidak manusiawi.

"Saya menyerukan kepada pemerintah untuk membatalkan penerapan hukum pidana baru yang kejam itu, yang akan menjadi langkah mundur serius bagi perlindungan HAM rakyat Brunei jika tetap diberlakukan," kata Michelle Bachelet, Senin, 1 April 2019.

Selebritas, yang dipimpin oleh aktor George Clooney dan bintang pop Elton John, menyerukan agar hotel-hotel milik Brunei diboikot. Dilansir BBC, Clooney mengatakan bahwa Hotel Dorchester Collection yang ada di AS, Inggris, Prancis dan Italia, yang dimiliki oleh Badan Investasi Brunei, sebaiknya dihindari oleh mereka yang menentang langkah itu.

Sultan Hassanal Bolkiah menguasai Badan Investasi Brunei, yang mengelola sejumlah hotel terbaik di dunia, termasuk Dorchester di London dan Hotel Beverly Hills di Los Angeles.

"Saya mendukung teman saya, #GeorgeClooney, karena bersikap melawan diskriminasi anti-gay dan kefanatikan yang berlangsung di negara #Brunei-tempat kaum gay dibrutalisasi atau lebih buruk–dengan memboikot hotel milik sultan," tulis Elton John di akun Twitternya.

Seruan Clooney untuk memboikot sembilan hotel milik Brunei di Eropa dan Amerika Serikat pekan lalu, menjadi berita utama internasional. 

Sejak itu, serangkaian tokoh terkenal ikut mengecam pemerintahan Sultan Bolkiah, termasuk mantan wakil presiden AS Joe Biden. Melalui cuitannya di Twitter Biden berkata: "Merajam orang sampai mati karena tindakan homoseksual atau perzinahan adalah mengerikan dan amoral. Tidak ada alasan–baik agama atau tradisi – atas kebencian dan tak berperikemanusiaan seperti ini."

Kemudian, Senator Ted Cruz selaku wakil Partai Republik dari Texas, mencuit: "Ini salah. Ini barbar. Amerika harus mengecam humum amoral dan tak berperikemanusiaan ini dan semua orang harus bersatu melawannya."

Pemerintah Amerika Serikat menentang kekerasan dengan pemberlakuan hukuman rajam di Brunei. Hal itu bertentangan dengan kewajiban hak asasi manusia internasional.  "Amerika Serikat sangat menentang kekerasan, kriminalisasi dan diskriminasi yang menargetkan kelompok-kelompok rentan," kata wakil juru bicara Departemen Luar Negeri Roberto Palladino.

Penerapan hukuman ini tmembuat komunitas gay di Brunei merasa ketakutan.

"Saya bangun tidur dan menyadari bahwa tetangga saya, keluarga saya, hingga ibu-ibu renta penjual udang goreng di pinggir jalan itu tidak menganggap saya sebagai manusia dan setuju dengan hukuman rajam," kata seorang pria gay asal Brunei yang tidak ingin identitasnya diungkap, kepada BBC.

Seorang pria gay asal Brunei yang kini mengajukan permohonan suaka di Kanada mengatakan, imbas hukum baru ini sudah terasa di Brunei. Dia meninggalkan Brunei tahun lalu lantaran risau bakal digugat dengan tuduhan makar terkait unggahan di Facebook yang bernada kritis terhadap kerajaan.

Mantan pegawai negeri sipil berusia 40 tahun itu mengatakan orang-orang merasa takut. "Komunitas gay di Brunei tidak pernah terang-terangan. Ketika Grindr (aplikasi kencan khusus kaum gay) muncul, itu membantu orang-orang bertemu secara rahasia. Tapi kini saya, dari yang saya dengar, hampir tidak ada orang menggunakan Grindr lagi," ujar Shahiran S Shahrani Md kepada BBC.

"Mereka takut kalau-kalau orang yang diajak bertemu ternyata polisi menyamar jadi gay. Ini belum terjadi, tapi karena ada aturan baru, orang-orang takut," ujarnya lagi.

Dede Oetomo seorang pegiat LGBT paling terkenal di Indonesia mengatakan, bila hukum ini diterapkan maka ini merupakan pelanggaran serius HAM internasional. "Ini mengerikan sekali. Brunei mengikuti jalan negara-negara Arab yang paling konservatif," katanya dilansir ABC.net

Syariat Allah

Sejauh ini, belum ada respon Sultan Brunei maupun Departemen Perdana Menteri mengenai kecaman Barat atas syariah Islam atau hukum rajam bagi homoseksual yang diterapkan di Brunei.

Tapi, jika merujuk gelombang kritik dan protes masyarakat internasional pada 2014 silam, awal mula aturan ketat syariah Islam diterapkan di Brunei, Sultan Hassanal Bolkiah saat itu mengaku tidak peduli pada suara-suara sumbang.

Dia menegaskan, bahwa penerapan syariah ini hanya untuk mencari ridho Allah semata, bukan untuk mencari siapa yang suka atau tidak.

"Adapun teori yang bermunculan itu sudah lumrah dan tidak pernah berkesudahan. Ucapan mereka tidak lebih dari teori, bandingkan dengan apa yang kita pilih, tuntutan Allah. Tuntutan Allah bukan teori, tapi hukum wajib yang tidak ada keraguan padanya," kata Sultan berusia 72 tahun ini.

"Teori mereka bilang hukum Allah itu kejam dan tidak adil. Padahal, Allah sendiri yang mengatakan bahwa undang-undangnya adil. Maka apalah artinya teori ini jika berhadapan dengan wahyu Allah?" ujarnya menegaskan.

Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin di Brunei

Dalam pernyataan Kantor Perdana Menteri Brunei Darussalam, disebutkan bahwa hukum syariah Islam di negara itu dilakukan secara hati-hati berdasarkan Alquran dan Sunah. Tujuan utamanya bukanlah hukuman, tetapi pencegahan berdasarkan konsep amar ma'ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan).

Lagipula, penerapan hukum Islam ini juga tidak semudah yang dikira, perlu pembuktian seksama dan kompleks. Artinya, tidak bisa serta merta seseorang dirajam atau dipotong tangannya.

Seperti misalnya hukum rajam bagi pezina. Hukuman ini hanya berlaku bagi mereka yang sudah menikah, yang belum menikah dicambuk 100 kali. Selain itu, harus dihadirkan bukti empat orang saksi laki-laki yang menyaksikan adegan perzinahan itu dengan gamblang. Tanpa persyaratan ini, rajam tidak bisa dilakukan begitu saja.

"Sangat penting jika kita dan komunitas internasional tidak hanya fokus pada hukumannya, tapi juga fokus pada proses mengumpulkan bukti, yang sangat rumit dan ketat," kata Hayati Saleh, Jaksa Agung Brunei seperti dikutip dari Sydney Morning Herald.

Persyaratan yang ketat juga berlaku untuk hukum potong tangan bagi pencuri. Hukuman ini hanya akan diberlakukan bagi mereka yang mencuri barang senilai atau lebih dari seperempat dinar (4,25 gram emas). Kurang dari itu adalah penjara.

Hukum syariah juga memastikan hak-hak korban atau ahli waris diperhitungkan. Seperti misalnya kasus pembunuhan, ahli waris yang punya keputusan utama apakah pelaku dihukum qishash atau tidak. Ahli waris berhak memaafkan dengan cuma-cuma atau dengan membayar diyat.

Ulama yang disegani di Brunei, Awang Abdul Aziz membantah jika hukuman syariah akan berujung pada sikap ekstrem, kekejaman atau penghakiman terhadap beberapa pihak. "Hukuman pemotongan tangan, cambuk atau rajam tidak bisa sembarangan. Ada kondisi-kondisi tertentu dan metode ini sangat adil," kata Awang. 

"Mari kita tidak hanya dilihat dari potong tangan, rajam atau pencambukannya. Ini bukan sembarang potong, rajam atau cambuk. Ada beberapa kondisi dan metode yang adil serta tidak memihak." 

Walaupun menerapkan hukuman mati dalam undang-undangnya, namun eksekusi tidak pernah benar-benar dilaksanakan di Brunei sejak 1957. (mus)