Golput, Dulu dan Sekarang
- Antara/ Fanny Octavianus
VIVA – Tahun 1971, atau 48 tahun yang lalu Arief Budiman dan para aktivis mendeklarasikan gerakan moral untuk tak memilih partai tertentu dalam Pemilu. Kekecewaan pada sistem dan ketidakpercayaan pada penyelenggara pemerintahan dan penyelenggara Pemilu menjadi penyebabnya. Kini, gerakan moral yang digaungkan Arief Budiman masih tetap relevan meski zaman terus bergerak dengan cepat.
Bulan April 2019, warga negeri ini akan menentukan nasibnya melalui pemilihan wakil rakyat dan pemilihan presiden. Gelaran Pemilu legislatif berbarengan dengan pemilihan presiden akan menentukan siapa yang akan memimpin negeri ini lima tahun ke depan. Hanya ada dua paslon yang tersedia, yaitu pasangan petahana bernomor urut 01, Joko Widodo dengan cawapres KH. Ma'ruf Amin dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dengan nomor urut 02.
Baliho sosialisasi Pemilu
Sengitnya pertarungan pendukung dua kubu semarak di media sosial. Kedua kubu saling menyampaikan keunggulan calon yang mereka dukung, sekaligus menampilkan kesalahan calon kubu lawan. Fanatisme para pendukung bahkan begitu sangar sehingga sering kali membuat risih mereka yang berada pada garis netral.
Di tengah ketat dan hiruk pikuk persaingan, satu kelompok masyarakat yang tak yakin ada perubahan yang telah terjadi atau akan terjadi memutuskan tak akan memberikan suara mereka dalam pemilu kali ini. Sebagian di antaranya bahkan pernah menjadi pendukung paslon 01. Tapi kekecewaan membuat mereka kali ini memilih menjadi golongan putih atau golput, yaitu tak memberikan suara mereka dalam pemilu kali ini.
Salah satu diantara mereka yang dengan sadar memutuskan tak memilih adalah Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI Asfinawati. Ia secara terbuka mengaku memutuskan untuk golput karena tak ada calon yang layak dipilih. Ia mengaku bisa saja berubah pikiran jika terjadi perubahan besar yang luar biasa. Tapi ia pesimis. April tinggal dua bulan, rasanya tak ada perubahan besar yang akan terjadi.
"Saya merasa tidak ada harapan sama sekali dari kedua paslon, artinya sama saja. Saya sadar betul, dalam advokasi lima tahun ini ketika sudah memerintah, mereka akan mengatakan, yang menentukan pemerintahan ini bukan hanya presiden dan wakil presiden saja, ini ada menteri, ada DPR RI, dan lain sebagainya," ujarnya kepada VIVA, Rabu, 21 Februari 2019.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI Asfinawati.?
Asfinawati tak sendiri. Sejumlah aktivis hak asasi manusia, aktivis gender, dan kelompok terpelajar lainnya mulai mendeklarasikan pilihan mereka untuk tak memilih alias golput. Jumlah mereka yang memilih golput diprediksi meningkat. Data KPU menunjukkan pemilih terdaftar yang tak memilih pada pemilu 2009 berjumlah 48,3 juta orang. Angka ini meningkat menjadi 58,9 juta pada 2014, atau 30,4 persen dari sekitar 190 juta pemilih.
Pada pemilu 2019 ini, KPU menetapkan jumlah pemilih 192.828.520 orang. Jika tren Golput sama dengan Pemilu sebelumnya, diperkirakan ada sekitar 60 juta pemilih yang tidak akan memilih. Namun jika tren itu naik jadi 40 persen, bisa dipastikan justru "suara" Golput akan lebih besar dari kemungkinan perolehan suara masing-masing capres. Angka Golput 40 persen setara dengan 77.131.408 suara. Artinya, kedua capres hanya memperebutkan sekitar 115 juta suara, dengan survei yang menyebutkan selisihnya tidak akan besar.
Gerakan golongan putih yang dideklarasikan pada 48 tahun lalu tetap menjadi pilihan bagi mereka yang tak yakin bahwa pemilu akan memberi perubahan besar bagi kehidupan negeri ini.
Arief Budiman, Deklarator Golput
Gonjang ganjing tragedi politik pada 30 September 1965 berujung pada digantinya Presiden Soekarno oleh Letjen Soeharto. Selama empat tahun Soeharto memegang tampuk pimpinan tertinggi di negeri ini. Pada 5 Juli 1971, Pemilu pertama setelah tragedi berdarah itu digelar. Pemilu ini didengungkan sebagai upaya untuk menciptakan kehidupan yang demokratis setelah rangkaian peristiwa politik yang membuat negara terus berada dalam kondisi tak stabil. Sayangnya, upaya Soeharto untuk mempertahankan kekuasaan begitu kental, sehingga upaya melegitimasi kekuasaan melalui Pemilu lebih kentara.
Gelaran politik besar itu akan memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat provinsi dan kabupaten. Saat itu ada 10 partai politik yang bertarung, dan hanya delapan parpol yang meraih kursi. Menyambut Pemilu 1971 muncul dua parpol baru, yaitu Golongan Karya dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Meski baru, tapi kemenangan Golkar sudah terprediksi. Sebab Soeharto mengerahkan berbagai elemen untuk menguasai wilayah pemilihan. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Persatuan Guru Republik Indonesia atau PGRI, dan pegawai negeri sipil menjadi cara Soeharto memobilisasi massa. Struktur panitia Pemilu yang didominasi para pejabat pemerintahan semakin menguatkan kecurigaan bahwa pemenang Pemilu sudah ketahuan sebelum Pemilu dilaksanakan.
Arief Budiman alias Soe Hok Djin, kakak kandung demonstran dan aktivis politik Soe Hok Gie, bersama teman-teman aktivis tahun '66 membaca upaya itu. Ia lalu menggalang mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu tersebut. Tanggal 3 Juni 1971 di gedung Balai Budaya Jakarta, Arief Budiman bersama Julius Usman, Imam Waluyo, Husin Umar dan Asmara Nababan mendeklarasikan diri sebagai kelompok yang tidak akan memilih dalam Pemilu.
Demo mendukung golput
Mereka mengampanyekan cara untuk bersikap atas Pemilu yang pemenangnya sudah ketahuan itu. Caranya adalah dengan mencoblos bagian putih dari kertas suara. Imam Waluyo lalu memberi nama gerakan ini sebagai golongan putih karena hanya mencoblos bagian putih dari kertas suara. Dari situ nama golput jadi populer. Gerakan ini bergulir menjadi sebuah gerakan moral yang dilakukan dengan penuh kesadaran.
Kelompok ini tidak memboikot Pemilu. Mereka justru meminta masyarakat aktif mendatangi tempat-tempat pemilihan saat hari pemungutan suara. Tapi bukan untuk memilih kontestan yang ada, melainkan mencoblos warna putih yang kosong tanpa nama dan gambar. Masyarakat dipersilakan menggunakan haknya dengan keyakinan untuk memilih, termasuk memilih warna putih di lembar kertas suara.
Deklarasi mereka menciptakan keresahan. Pejabat publik mengomentari sinis aksi kelompok muda itu. Bahkan Menteri Luar Negeri masa itu, Adam Malik, menyebut kelompok Arief Budiman dan kawan kawan sebagai 'golongan setan.'
Selama masa pemerintahan Orde Baru, di mana Golkar menjadi partai raksasa tanpa tanding, dan Soeharto menjadi presiden yang tak pernah tergantikan, gerakan moral ini menjadi pilihan untuk menyatakan sikap, bahkan perlawanan, karena pemilihan yang digelar tak akan mengubah apapun. Golkar dengan guritanya yakni ABRI dan PNS dipastikan akan tetap menjadi partai terbesar, dan Soeharto akan tetap menjadi presiden. Dan semua terbukti sepanjang 32 tahun Soeharto berkuasa.
Padahal, meski sikap tak memilih itu digaungkan dan menimbulkan kecemasan, faktanya pada Pemilu 1971 angka golput sangat rendah karena tak mencapai 10 persen.
Golput Dulu dan Sekarang
Ketika tahun 1971 Arief Budiman mendeklarasikan golput, hanya sedikit yang menyambut gerakan itu. Tapi bak bola salju yang makin membesar ketika bergulir, angka golput juga terus naik di setiap Pemilu. Tahun 2014, jumlah golput mencapai 30,4 persen, jumlah paling tinggi dari 11 kali pelaksanaan Pemilu di negeri ini. Jika masa Orde Baru golput adalah sikap perlawanan, maka di konteks kekinian, sikap golput menjadi pertanyaan masihkah relevan dan seberapa signifikan.
Bagi Asfinawati Golput dalam konteks sekarang adalah suatu langkah rasional. Sebagai pegiat HAM, ia melihat tidak ada jalan keluar bagi para korban pelanggaran HAM dari kedua calon. Dan bagi Asfin, itu adalah tragedi. Ia menunjuk Prabowo yang kerap bicara isu kerakyatan dan di visi misinya menyebut soal kriminalisasi, tapi Prabowo di masa lalu adalah bagian dari pelaku kriminalisasi. Asfin juga merujuk ratusan hektar tanah yang dimiliki Prabowo dan proyek-proyek yang dimiliki, maka menurut Asfin, Prabowo adalah orang yang paling potensial melakukan pelanggaran HAM jika dia berkuasa.
"Nah, di sisi yang lain ada Jokowi. Jokowi misalnya jualan isu keberagaman, toleransi, dan lain lain. Tetapi ada kasus lama yang seharusnya dapat dia selesaikan tapi tidak dia selesaikan, seperti kasus GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, atau yang terakhir itu tentang putusan Mahkamah Konstitusi untuk Penghayat. Itu kan tidak ada penyelesaiannya," tutur Asfin. Bagi Asfin, sikap Jokowi yang tetap diam bisa dibilang tragis, karena Jokowi tak perlu melakukan tindakan yang heroik, ia cukup menjalankan putusan pengadilan. Tapi itu tak dilakukan.
"Lalu bagaimana masyarakat bisa percaya dengan semua omongan Jokowi itu kalau yang diperlihatkan seperti ini?" ujarnya bernada menggugat.
Aksi Kamisan mendesak penuntasan kasus HAM di depan Istana
Asfin menyayangkan respon yang disampaikan orang ketika mereka yang golput memunculkan sikap politiknya. Menurutnya, di masa pemerintahan Orde Baru meski golput ditentang, tapi tak ada narasi yang menyatakan, "jika Anda golput, nanti penjahat yang akan naik." Bagi Asfin, pernyataan tersebut adalah politik menakut-nakuti, dan politik yang sebenarnya ingin mengatakan, saya lebih baik dari yang lain.
Tapi keyakinan Asfinawati dibantah oleh Direktur Eksekutif Charta Politica Yunarto Wijaya. Yunarto tak yakin tingginya angka golput sekarang ini semata-mata karena sikap politik. Ia mengategorisasikan golput dalam tiga bagian, golput ideologis, golput teknis, dan golput administratif. Menurutnya di masa Orde Baru, golput adalah perlawanan terhadap sistem yang otoriter dan itu adalah golput ideologis.
"Tapi sekarang ada golput teknis, yaitu terkait dengan, misalnya jauhnya jarak dari rumah ke TPS, orang-orang yang bekerja dan sulitnya mengurus A-5 di daerah yang berbeda, nama-nama yang meninggal tapi masih masuk ke DPT, pengurusan single identity number lewat e ktp yang sampai sekarang belum selesai. Itu menurut saya juga problem, golput teknis dan administratif. jadi tidak sepenuhnya karena kesadaran untuk tidak memilih," ujarnya.
Menurut Yunarto, untuk golput ideologis, pemerintah tak memiliki kewajiban untuk menarik mereka kembali. "Hanya rezim otoriter yang menghalangi pilihan politik seseorang," ujar Yunarto.
Tapi untuk golput yang terjadi karena masalah teknis dan administratif, maka pemerintah wajib menyelesaikan hal tersebut. Ia mengambil contoh soal e-KTP yang mengarah ke single identity number. "Seharusnya, kalau e-KTP sudah mencerminkan representasi pemilih sebagai warga negara, harusnya nanti cukup membawa e-KTP. Dan itu bisa dilakukan, dimanapun kan harusnya bisa memilih. itu akan sangat memperkecil angka golput," ujarnya.
Yunarto mengatakan, jika untuk Golput teknis dan administratif perlu dilakukan berbagai perbaikan, makan untuk menekan angka golput ideologis adalah dengan menaikkan tingkat kepercayaan dan kepuasan publik. Dan naik turunnya kepercayaan publik bisa terbaca dalam survei-survei mengenai kepuasan publik terhadap partai. Yunarto yakin, jika kepuasan dan kepercayaan publik meningkat, maka angka golput akan turun.
Spanduk kampanye anti golput
Peneliti CSIS Arya Fernandes juga meyakini angka golput ideologis tak signifikan. Ia mengakui, memutuskan untuk golput adalah hak dan pasti terjadi. Tapi, banyak faktor yang membuat seseorang tak menggunakan haknya untuk memilih. Seperti Yunarto, Arya juga menunjuk problem administratif sebagai penyumbang tingginya angka golput. Arya juga menyebut hal tersebut bukan golput, tapi penurunan partisipasi.
"Dalam demokrasi golput sulit dihilangkan. Tapi mereka yang saat ini golput karena merasa tidak menemukan hal positif dari dua pasang kandidat menurut saya angkanya kecil. Dari berbagai hasil survei, angkanya tak pernah lebih dari tiga persen," ujar Arya kepada VIVA.
Banyak faktor yang membuat seseorang tak menggunakan hak pilihnya. Misalnya, tak mendapat undangan untuk memilih, tidak terdaftar sebagai pemilih atau berada di luar kota, tidak mendapat izin kerja, dan lain sebagainya. Arya mengatakan jumlah golput karena motivasi politik tetap tak signifikan, dan karenanya tak perlu dikhawatirkan. Arya mengakui, ada juga mereka yang memilih golput karena kecewa, tapi trennya hanya sementara saja. Bahkan di media sosial, teriakan golput juga tak terlalu kencang.
Arya mengaku malah mengkhawatirkan penurunan partisipasi. Ia mengimbau Komisi Pemilihan Umum untuk melakukan langkah-langkah serius untuk menaikkan jumlah partisipan. Misalnya memastikan Daftar Pemilih Tetap, memastikan undangan untuk memilih diterima oleh pemilih, menyosiailisasikan bagaimana masyarakat bisa memilih di luar wilayah. Termasuk memberikan informasi yang jelas apa yang dibutuhkan untuk memilih berpindah tempat, dengan surat apa, bagaimana jika ada yang memilih setelah jam 12.
Sosialisasi Pemilu
Ia meminta KPU memberikan akses masyarakat untuk mengecek apakah mereka sudah terdaftar dan mempunyai hak pilih sehingga mereka dipastikan tidak kehilangan hak pilih. "Di Pemilu 2019, dugaan saya tingkat partisipasi masih di angka 70-75 persen. Karena kalau kita lihat partisipasi di Pilkada mengalami peningkatan dibanding Pilkada sebelumnya," ujarnya.
Berdasarkan analisa itu Arya yakin, gelombang golput tak akan membesar apalagi menjadi kekuatan politik yang perlu diperhitungkan.
Hiruk pikuk menjelang Pemilu masih akan memanjang hingga 17 April mendatang. Saling serang dan saling hujat masih akan terus terjadi. Mereka yang antusias hingga yang muak tetap memiliki tempatnya masing-masing. Meski Golput belum tentu menjadi solusi, tapi mereka tak boleh dihalangi. Memilih memang hak, dan bukan kewajiban. Itu sebabnya tak menjadi desakan untuk ditunaikan. (mus)