Jejak Jurnalis Pemuda Arab di Jalan Kemerdekaan

Abdurrahman Baswedan atau A.R. Baswedan
Sumber :
  • Wikipedia

VIVA – Sebuah rumah di Kampung Melayu Semarang itu sudah tergolong bangunan tua, bak monumen. Itu adalah Rumah Sahid Bahelul, yang menjadi saksi lahirnya satu lagi motor penggerak perjuangan kemerdekaan.

Di rumah tersebut Konferensi Peranakan Arab digelar tahun 1934 silam. Pro dan kontra argumen, setuju dan tak setuju, adu pemikiran dan idealisme beradu dan diuji satu per satu. Pada akhirnya berujung pada kepentingan bersama yang menang. Semangatnya melahirkan sebuah Sumpah Pemuda Keturunan Arab.

Lahir dan dibesarkan di nusantara membuat para pemuda keturunan Arab kala itu memilih melebur untuk andil memperjuangkan sebuah Indonesia yang merdeka. Kebanyakan dari mereka lahir dari ayah keturunan Arab dengan ibu berdarah Indonesia atau sebaliknya. Sebagian masih ada pula yang berasal dari keturunan Arab yang hampir totok walau sudah dilahirkan dan dibesarkan di Tanah Air.

Tak mudah menyatukan warga keturunan Arab sebenarnya hingga menelurkan sebuah Sumpah Pemuda Keturunan Arab yang terinspirasi dari Sumpah Pemuda tahun 1928, lahir lebih awal, enam tahun sebelumnya. Sumpah Pemuda 1928 menjadi wujud sebuah spirit menepis sekat-sekat etnis, agama, kedaerahan dan kultur demi menggapai mimpi kemerdekaan kala itu. Semangat itu rupanya menular dan menggugah jiwa kaum kelas dua di negeri itu pada abad pra-kemerdekaan.

Ada dua hal yang sebenarnya bisa menjadi kendala bagi warga keturunan Arab mau bergabung dalam perjuangan kemerdekaan. Pertama adalah adanya pembedaan kaum di antara mereka sendiri yang dilandasi perbedaan strata sosial. Ada istilah sayid dan nonsayid. Sayid atau alawi adalah istilah yang ditujukan kepada keturunan Nabi Muhammad.

Sementara nonsayid adalah mereka yang dianggap bukan keturunan nabi. Namun kala itu baik sayid dan nonsayid tak hanya dari Semarang namun juga dari Pekalongan, Surabaya dan Jakarta akhirnya bisa berkumpul pada momen cikal bakal Sumpah Pemuda Keturunan Arab dan berikutnya  lahirnya sebuah partai.

Hal lainnya yang menjadi kendala adalah adanya politik segregasi yang dilanggengkan kolonial Hindia Belanda kala itu dalam tatanan masyarakat untuk mengekang pribumi, meninabobokan kaum keturunan dan pendatang agar tak membawa pengaruh baik kepada warga di negeri koloni Hindia Belanda saat itu.  Hindia Belanda menggolongkan penduduk di Indonesia dengan tigas jenis dari yang nomor satu hingga paling rendah. orang Eropa atau Europeanen, orang Timur Asing atau Vreemde Oosterlingen dan orang pribumi atau Inlanders.

Dalam hal ini, warga Cina dan Arab serta keturunannya sengaja dimasukkan dalam golongan Vreemde Oosterlingen. Kemudian Hindia Belanda mengangkat pemimpin mereka masing-masing dan untuk warga kelas dua yakni warga Timur Asing diangkat kapten masing-masing, sebutan untuk pemimpin kelompok mereka yang bisa berhubungan dengan pemerintah kolonial.

Namun kendala perbedaan internal dan privilege itu akhirnya diabaikan dan warga keturunan Arab khususnya puluhan pemuda yang berkumpul di Semarang tahun 1934 itu setuju menjadi bagian dari rakyat Indonesia karena mereka adalah lahir dan besar di nusantara meski berasal dari Hadramaut di Jazirah Arab.

Adalah Abdul Rahman Baswedan, belakangan lebih dikenal dengan AR Baswedan merupakan figur pahlawan nasional yang ada di balik Konferensi Pemuda Arab dan pendirian Partai Arab Indonesia (PAI) pada tahun yang sama. Dikutip dari tulis “Etnis Arab dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia: Studi Historis Peranan Abdul Rahman Baswedan dan Hamid Algadri1934-1949” oleh Nurhabibah dari Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2016 disebutkan betapa signifikannya peran AR Baswedan yang kala itu masih berusia 20 tahunan dalam memotori lahirnya PAI.

Partai ini yang kemudian menjadi wadah bagi warga keturunan Arab khususnya para pemuda keturunan untuk ikut mengantarkan Indonesia di garis kemerdekaan.

Untuk menepis ego strata di kalangan keturunan Arab kala itu, AR Baswedan di berbagai sumber disebutkan mencetuskan sapaan dan panggilan yang lebih egaliter antara keturunan Arab yang satu dengan lainnya. Tidak ada lagi sayid dan non-sayid, mereka adalah saudara dan saling memanggil dengan sebutan al-akh.

Setelah mempelopori Sumpah Pemuda Keturunan Arab, pada hari yang sama PAI didirikan dan AR Baswedan dipilih sebagai ketuanya. Melalui PAI, para pemuda keturunan Arab berikrar bahwa nasionalisme mereka adalah kepada Tanah Air.  Selain itu dicetuskan pula bahwa tanggal 4 Oktober sebagai Hari Kesadaran Arab Indonesia.

Tak berhenti di sana, AR Baswedan yang saat itu bersama rekannya Hamid Algadri menjalankan partai ini sebagai pergerakan melalui aspirasi dan tulisan. Jalan yang mereka pilih memang cenderung soft dibandingkan partai lain seperti PNI saat itu yang memilih lebih kaku dalam beroposisi dengan Hindia Belanda. Empat tahun kemudian setelah PAI terbentu, tepatnya pada 1938 diadakan Kongres Partai Arab Indonesia di Cirebon.