Udara Ibu Kota Makin Bahaya

Ilustrasi udara di Jakarta
Sumber :
  • Instagram/@jakarta_aqi

VIVA –  Kualitas udara buruk Jakarta yang selama ini menimbulkan kekhawatiran kini jadi nyata. Jumat siang, 23 Agustus 2019, pukul 11.27 WIB, Jakarta menjadi kota yang berada di peringkat pertama dengan kualitas udara terburuk di dunia. 

Begitu turun dari commuter line, Lira bergegas mengenakan maskernya. Karyawan swasta yang berkantor di sekitar Kuningan itu setiap hari turun di stasiun Tebet. Ia rutin menggunakan ojek online dari stasiun menuju kantor. Dan setiap hari pula ia akan selalu mengenakan masker dalam perjalanan dari stasiun Tebet ke kantor, begitu pula sebaliknya. 

"Sudah biasa kayak begini. Setiap naik ojek, saya selalu pakai masker. Saya punya asma, kalau terus terpapar asap knalpot dan debu di jalan, bisa kumat," ujarnya kepada VIVAnews, Jumat, 24 Agustus 2019. Bagi ibu dua anak ini, memakai masker untuk menutup hidung dan mulutnya ketika berada di jalanan Jakarta adalah cara aman untuk meredam polusi terhirup napasnya. 

Koalisi tuntut udara bersih di Jakarta

Bagi Lira, yang memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga diri dari polusi, kualitas udara di Jakarta mulai mencemaskan. Ia meyakini, sekarang ini polusi semakin tinggi dan udara semakin tak bersih.  "Terasa banget kok udaranya makin enggak bersih. Kendaraan tambah banyak, jadi kalau lagi macet menuju kantor, terasa banget asap knalpotnya," tuturnya. 

Roland (32), seorang warga Depok yang bekerja di Jakarta mulai merasakan dampaknya. Sejak 4,5 bulan lalu dokter mengatakan ia terdiagnosis menderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). Meski masih melakukan aktivitas sehari-hari dengan normal, namun Roland mengaku sekarang ia jadi lebih mudah sesak jika berolahraga atau melakukan kerja berat. 

Ia mengakui, kualitas udara Jakarta saat ini jauh berbeda dengan tahun 90-an. Saat itu, menurut Roland, Jakarta masih banyak tanaman dan jumlah kendaraan tak sebanyak sekarang. "Udara sekarang tak nyaman, saya selalu merasa sedang menghisap asap kendaraan," ujarnya kepada VIVAnews. 

Sementara bagi Vino (25), warga Depok yang juga bekerja di Jakarta, kualitas udara Jakarta sudah seperti monster. "Sudah menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran," tuturnya. 

Pantauan situs AirVisual, sebuah situs penyedia peta polusi kota-kota di seluruh dunia, memaparkan angka buruk untuk pencemaran udara Jakarta. Menurut data AirVisual, Jumat siang, 24 Agustus 2019,  Jakarta berada di peringkat pertama kota dengan kualitas udara buruk. Hari itu, Jakarta memiliki Nilai Indeks Kualitas Udara (AQI) 172 dan masuk dalam kategori tidak sehat.

Kualitas buruk udara Jakarta bahkan melampaui Delhi (India), Kabul (Afghanistan), Wuhan (China), Guangzhou (China), Santiago (Chile), Hanoi (Vietnam), dan Lahore (Pakistan). Pantauan AirVisual bisa berubah setiap waktu, namun sejak satu bulan terakhir posisi Jakarta selalu berada di empat terburuk.

Angka itu diolah AirVisual dari data yang didapat dari tujuh alat pengukur kualitas udara yang tersebar di DKI Jakarta.

Nilai AQI berdasarkan enam jenis polutan utama, mulai dari PM 2,5, PM 10, karbon monoksida, asam belerang, nitrogen dioksida, hingga ozon permukaan tanah. Tapi yang paling mendapat sorotan adalah PM 2,5.

Kondisi udara Jakarta yang buruk

Situs pemantau kualitas udara milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan http://iku.menlhk.go.id/aqms/, juga memastikan, kualitas udara di Jakarta masuk dalam kategori sedang. Meski belum masuk kategori tidak sehat, namun kualitas udara Jakarta jauh dari baik. Berbeda dengan AirVisual yang memantau setiap jam, pemantauan di situs Kementerian LHK dilakukan selama 24 jam, sejak Kamis 22 Agustus 2019 pukul 15.00 WIB, hingga Jumat 23 Agustus 2019, pukul 15.00 WIB. Jenis polutan PM 2,5 juga menjadi salah satu indikasi khusus di website tersebut.

Buruknya kualitas udara Jakarta membuat prihatin. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Greenpeace Indonesia serta 31 orang dari Koalisi Gerakan Ibu Kota melayangkan gugatan karena buruknya polusi udara ibu kota. Gugatan tersebut dilayangkan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Gubernur Banten Wahidin Halim.

"Kami menuntut agar para tergugat membuat serangkaian kebijakan untuk memenuhi hak atas udara bersih bagi penggugat dan 10 Juta warga Jakarta lainnya," kata Anggota Tim Advokasi Gerakan Koalisi Ibu kota, Nelson Nikodemus Simmamora di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis, 1 Agustus 2019.

Seorang warga bernama Istu Prayogi mengatakan, pencemaran udara di Jakarta dan sekitarnya berdampak pada kondisi kesehatannya. Dia akhirnya mengidap penyakit pernapasan. "Dokter memvonis bahwa paru-paru saya terdapat bercak-bercak dan menyatakan bahwa paru-paru saya sensitif terhadap udara kotor. Hal itu sangat mengganggu aktivitas saya," ucap Istu yang ikut bergabung dalam koalisi yang melayangkan gugatan.