Gangguan Jiwa karena Gawai

Anak bermain HP atau gadget.
Sumber :
  • Istimewa

VIVA – Kehidupan RI, seorang mahasiswa di Kota Bekasi, Jawa Barat, berubah sejak sekitar 3,5 tahun yang lalu. Ia kini kerap merasa gelisah dan tak bisa lagi tidur nyenyak. Waktu tidurnya juga bertambah pendek. RI hanya mampu tidur maksimal empat jam dalam satu hari.

Semua kondisi itu terjadi sejak RI kecanduan main game online. Game tersebut ia unduh ke ponselnya, dan dimainkan kapan saja ia mau. RI mengakui, ia sudah tak bisa melepaskan diri dari benda tersebut. 

Sejak bangun tidur pagi hari, hingga malam menjelang tidur, ponsel akan terus berada dalam genggamannya.

"Pokoknya hp enggak pernah dilepas. Rasanya kalau enggak megang hp itu seperti ada yang kurang dalam saya menjalani hidup sehari-hari," ujarnya kepada VIVAnews.

RI mengaku sudah sejak lebih tiga tahun yang lalu mengalami situasi tersebut. Awalnya ia mengira dirinya masih normal, karena banyak orang juga sepertinya. 

Ilustrasi perempuan dan gadget

Ia menyadari mulai kecanduan setelah semakin tak mampu berpisah dengan ponselnya. Padahal, kadang RI merasakan matanya sakit karena terlalu lama menatap layar. 

Telinganya juga sakit karena sering menggunakan headset. Tapi RI seperti tak berdaya, ia tak bisa meninggalkan ponselnya terlalu lama.

Mahasiswa berusia 20 tahun itu berkisah, awalnya bermain handphone karena mengusir sepi. Ia tak punya banyak teman di dunia nyata, dan merasa nyaman dengan menghabiskan waktu di dunia maya. 

Ia semakin susah melepas gawai setelah kecanduan bermain game online. RI mengaku mampu menghabiskan waktu untuk menatap layar online untuk bermain game antara  6 hingga 7 jam. 

Selebihnya RI menggunakan ponsel untuk menelusuri media sosialnya. Ia punya akun di Facebook dan Instagram. RI juga suka menonton Youtube, berkirim kabar atau cerita menggunakan WhatsApp dan Line.

"Saya biasanya tidur jam 2 pagi, bangun jam 5. Dan langsung pegang hp lagi. Saya main game Mobile Legend, Call of Duty Mobile," tuturnya. 

Di Mobile Legend dia memiliki peringkat yang bagus. "Kalau saya tinggalkan, saya merasa eman (sayang), makanya saya main game itu terus," katanya.
 
Jika tak memegang ponsel, RI merasa ada hampa, gundah, dan gelisah. Ada yang kurang. Ia mengibaratkan seperti tak punya uang. Tak bisa jajan, tak bisa jalan ke mana-mana. 

RI akan gelisah ketika baterai handphone habis dan tak menemukan tempat untuk mengisi ulangnya. Ketika kuota data habis, RI juga akan melakukan berbagai cara agar tetap bisa segera terkoneksi dengan internet. Bahkan jika terpaksa meminjam uang, ia akan tetap lakukan.

Apapun dilakukan agar tetap bisa bermain gadget

Kisah RI sama dengan yang dialami oleh AQ, pelajar di Ciputat, Tangerang Selatan. AQ, 19 tahun, mengatakan, tak seharian penuh memegang ponsel. Tapi ia merasa tak enak jika tak memegang handphone. Pergi ke mana pun, AQ akan selalu membawa smartphone dan menggunakannya untuk bermain game, chatting, dan media sosial.

"Saya kecanduan hp sejak punya hp sendiri. Sejak empat tahun lalu. Paling bikin candu karena buat main game online," ujarnya kepada VIVAnews.

AQ mengaku jadi kecanduan game karena seru dan asyik. Main game juga membuatnya merasa rileks dan terhindar dari rasa jenuh. Selain main game, ujar AQ, ia menggunakan ponsel untuk mencari tahu sesuatu, termasuk tentang pelajaran dan membaca berita.

Sekarang, kalau sehari tak memegang handphone, ia merasa ada yang hilang, dan membuatnya tak tahu mau melakukan apa, juga mudah jenuh.

Kehabisan pulsa data juga mulai menjadi hal yang bikin AQ tak nyaman. "Terasa beda kalau hp hanya buat menelpon dan sms saja. Ya bikin jenuh juga," ujarnya.

Seorang remaja berusia 14 tahun, RK, mengaku sejak kecil sudah dibelikan gawai oleh ibunya. Awalnya ia hanya menggunakan gawai itu untuk menonton Youtube. 

Tapi belakangan ia mulai rutin bermain game. Tapi RK mengaku masih bisa mengendalikan diri. Ia membatasi main handphone hanya tiga hingga empat jam, setelah pulang sekolah.

Tapi RK mengatakan, tak mungkin dalam sehari ia tak memegang ponsel. "Rasanya enggak enak. Kayak ada yang hilang gitu," ujarnya. RK juga memastikan, dirinya tak pernah ngambek meski kuota habis dan orangtuanya tak membelikan.

Yanti, ibu RK, menganggap tak ada yang salah dengan memberikan gawai pada anaknya. Sebab, sekarang sudah menjadi tuntutan zaman yang telah memasuki era digital. 

Ia yakin masih bisa mengontrol RK agar tak berlebihan dan kecanduan. Yanti juga tak merasa keberatan membelikan RK pulsa data agar ia tetap bisa menggunakan gawainya untuk bermain.

Mereka yang Terganggu karena Gawai

Apa yang dialami oleh RI dan AQ ternyata dialami pula oleh ratusan anak lainnya. Banyak di antara mereka akhirnya berurusan dengan psikolog dan psikiater, bahkan menjadi pasien rumah sakit jiwa. Tingkat adiksi mereka terhadap ponsel membuat mereka kesulitan mengendalikan keinginannya.

Ferlita Sari S.Psi, M.Psi, seorang psikolog yang juga parenting coach, mengatakan, kecanduan atau adiksi dekat dengan masalah kejiwaan. Jika sudah adiksi, artinya sudah parah. Adiksi atau kecanduan bisa terjadi pada berbagai hal, seperti pornografi, adiksi gadget, juga adiksi miras.

"Kalau levelnya sudah adiksi, berarti ada ketergantungan. Sudah mempengaruhi fungsi kehidupan sehari hari. Kalau tidak pegang gadget bukan cuma terasa tidak enak, tapi sudah menjadi kecemasan," ujarnya kepada VIVAnews, Kamis, 17 Oktober 2019.

"Rasanya insecure kalau enggak pegang gadget. Kalau dilarang bisa menjadi sangat agresif, tantrum, menyakiti diri dan orang lain," tuturnya.

Rumah Sakit dr. Marzoeki Mahdi di Bogor, Jawa Barat.

Ucapan Ferli terbukti di Rumah Sakit dr. Marzoeki Mahdi di Bogor, Jawa Barat. Setiap bulan ratusan anak datang berobat ke rumah sakit tersebut. 

Sekitar 25 persen di antaranya akibat gadget. Rata-rata usia yang datang ke poli anak dengan usia 7-15 tahun setiap bulan, dengan jumlah 11-12 anak.

Direktur Utama RS dr. Marzoeki Mahdi, dr. Bambang Eko Sunaryanti, Sp.KJ, MARS, mengakui rumah sakitnya menerima anak-anak yang mengalami kecanduan gawai. Tapi ia tak menyebut berapa jumlahnya. 

"Penanganannya langsung ditangani oleh dokter yang bersangkutan. Seperti pasien di rumah sakit lain, ada yang rawat jalan dan ada juga yang rawat inap," ujarnya kepada VIVAnews.

Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Konsultan Psikiater Anak RS dr. Marzoeki Mahdi, Dr. Ira Savitri Tanjung Sp.KJ(K), membenarkan ada pasien anak yang datang karena kecanduan gawai. Tapi tak semua pasien datang dengan keluhan kecanduan gawai.

Kondisi yang sama juga terjadi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. Direktur RSJ Provinsi Jawa Barat, Dr. dr. Elly Marliyani Sp. KJ membenarkan adanya pasien anak yang dirawat akibat kecanduan gadget.

"Benar, beberapa waktu yang lalu merawat anak dan remaja. Namun karena mereka mengalami penyakit penyerta selain ketergantungan game, istilahnya komorbid," ujar dr. Elly kepada VIVAnews.

Komorbiditas adiksi internet di antaranya, adanya gangguan hiperaktivitas dan pemusatan perhatian, gangguan emosi dan perilaku, depresi, gangguan kecemasan, phobia sosial, gangguan obsesif kompulsif, conduct disorder, gangguan pengendalian impuls, hingga percobaan bunuh diri.

Senada dengan Ferlita Sari, menurut dr. Elly, kecanduan handphone masuk kategori sakit jiwa. "Semua kecanduan masuk dalam kategori gangguan jiwa," ujarnya.

Rumah Sakit Jiwa di Cisarua, Bandung

Rumah sakitnya pernah merawat tiga orang pasien dalam waktu yang berbeda. Perilaku mereka selama di rumah sakit berbeda-beda. Ada yang gelisah, cemas, dan ditambah gejala-gejala penyakit gangguan jiwa penyertanya.

Tak hanya di rumah sakit, tapi di Yayasan Al-Fajar Berseri, sebuah yayasan yang mengkhususkan diri menerima dan merawat orang-orang dengan gangguan jiwa, sudah ada empat remaja yang akhirnya dirawat karena kecanduan gadget.

Kepala Yayasan Al-Fajar Berseri, Tambun Selatan, H. Marsan Susanto menyampaikan kepada VIVAnews, remaja yang datang dengan gangguan kejiwaan karena gadget baru ramai akhir-akhir ini. Pasien pertama datang awal 2018. 

Ia datang dari Cikarang, inisialnya N. Kedua orang tuanya membawa N kepada Marsan setelah kewalahan menghadapi ulah N yang mulai mengancam mereka.

Pasien kedua datang dari Medan. Inisialnya W. Tapi W sudah dipulangkan setelah sempat menjalani perawatan. 

Setelah itu datang lagi pasien dengan inisial SY, yang datang pada 2018, dan TY, di awal 2019. Menurut Marsan, SY dan TY sama-sama berusia 18 tahun.

Kepala Yayasan Al-Fajar Berseri, H. Marsan Susanto

Marsan menuturkan, sejak SMP keduanya sudah mulai aneh. Mereka tak mau sekolah, temperamennya sudah aneh-aneh, emosinya tinggi, dan waktunya habis dengan bermain handphone.

"Jadi kalau hp itu masih bisa kerja, dia pasti tenang, dia asyik main. Tapi ketika hp itu mengalami kendala, lemot, lowbatt, mati lampu, maka dia emosional. Ketika tak ada kuota dia bisa ngamuk," ujar Marsan.

"Jadi setiap hari dia harus pegang dan main hp. Artinya ketika anak itu sudah merasa harus main hp, atau merasa harus memaksa, menurut saya sih jiwanya itu sudah terganggu," kata dia. 

Karena, kalau sekadar kecanduan ponsel biasa, Marsan menilai orangtuanya tidak akan membawa anaknya ke panti rehabilitasi. "Panti rehabilitasi ini kan memang khusus merehabilitasi gangguan, baik yang mengalami gangguan jiwa berat, sedang, maupun ringan," kata Marsan.

Tanda Kecanduan dan Upaya untuk Sembuh

Dr. Ira Savitri Tanjung Sp.KJ(K) menyampaikan, banyak tanda-tanda seseorang kecanduan gawai. Misalnya, ketika bermain lalu melupakan hal yang lain di dunia nyata. 

Lalu, yang sebelumnya mandi, menjadi malas mandi. Tidak ada internet membuat dia emosi. 

Tanda-tanda lainnya, tak mampu melakukan hal lain kecuali memegang handphone terus-menerus. Maunya terus bermain gadget, dan jika baterai ponsel sedang diisi ulang, seperti kehilangan separuh nyawa.

"Itu bisa membuat dia tidak makan, bahkan mau buang air kecil atau makan pun, dia tahan, asal tidak terlewatkan. Jadi gundah," ujar Ira.

Ilustrasi kecanduan gadget

Mereka yang kecanduan gawai, ujar Ira, biasanya bersumber dari BLAAST, yaitu Bored (merasa bosan), Lonely (kesepian), Angry (marah)/Affraid (takut)/Anxious (cemas), Stressed (tertekan), dan Tired (kelelahan).

Ketika BLAAST tak tersalurkan dengan baik, malah teralih ke gawai, anak akan asyik sendiri. Apalagi dalam gawai anak bisa melihat apa saja, dan banyak hiburan di situ. 

Anak menjadi tak bersosialisasi, tidak melakukan apa-apa karena hanya sibuk dengan gawainya. Padahal ada perbedaan antara dunia nyata dan dunia maya.

Ira menegaskan, kecanduan gawai bisa menyebabkan gangguan kejiwaan. Dampak gangguan kejiwaan, imbuh Ira, akan menyebabkan disfungsi di masing-masing usia. 

Jika anak masa sekolah akan disfungsi dengan sekolahnya. Mulai malas sekolah, mengerjakan tugas, hingga malas melakukan hal rutin sehari-hari.

"Kecanduan gawai bisa menyebabkan anak lama-kelamaan akan asyik dengan dunianya sendiri, dan tidak tahu lagi dunia nyata. Dunia gadget itu akhirnya menjadi nyata buat dia," tuturnya. 

Dia lupa dengan hal-hal nyata di sekitarnya, sehingga membangkang pada orangtua dan sebagainya. "Hidupnya akan terfokus pada itu saja, gadget-nya," ujar Ira.

Anak juga bisa kesulitan mengatasi masalah sosialisasi dalam lingkungannya. Ia belajar dari gadget-nya. Padahal yang ada di gadget tak sesuai dengan norma-norma di dunia nyata. 

Akibatnya, ketika menghadapi masalah dengan dunia nyata, anak tidak tahu cara menghadapinya. Ketika sibuk dengan gadget-nya, lama-lama ia tak mampu mengambil keputusan dengan baik. 

"Jadi lama-lama dia sedih, dan kembali mencari hiburan dari situ. Akhirnya terjadi BLAAST, dan itu bisa mengarah ke depresi dan gangguan jiwa," kata dia.

Menurut Ira, anak yang mengalami kecanduan gawai bisa terjadi dari berbagai usia. Itu semua tergantung pada orangtua yang memulainya. Akan lebih bijaksana bila orangtua bisa mengendalikan kebutuhan anak.

"Kalau orangtua tidak bisa mengendalikan itu, kitanya yang kalah dibawa sama anak. Padahal anak itu masih harus di bawah bimbingan, arahan orangtua, kan seperti itu," katanya.

TY, anak yang mengalami gangguan jiwa karena gadget

Ira merasa prihatin dengan kondisi anak yang rusak akibat kecanduan gawai. Hal yang membuat anak kecanduan adalah mereka merasakan sensasi menang dan bahagia ketika bermain game. Apalagi kemudian mendapat reward, meski hanya imitasi.

"Saya terus terang prihatin ya, sedih ya. Itulah jika teknologi hanya digunakan sebatas main. Bukan berarti gawai tidak baik ya," ujarnya. 

Ada sisi positif yang bisa dimanfaatkan, tetapi jika hanya terbatas pada bermain saja, itu yang bisa jadi merusak. "Sudah dalam penelitian bisa merusak otak," kata Ira.

Menurut Ferlita Sari, gangguan kejiwaan banyak ragamnya. Mulai dari yang ringan, yaitu stres, murung hingga depresi, sampai yang berat di mana orang sulit memisahkan antara realitas dan imajinasi. 

Anak-anak, ujar Ferlita, juga bisa stres. Dan stres bisa disebabkan oleh apa pun. Kalau sampai adiksi berarti sudah berpengaruh ke neurotransmitter di otak, yaitu terjadi ketidakseimbangan senyawa kimia di otak.

Ferlita menduga, game yang kini semakin seru bisa menjadi penyebab mengapa sekarang banyak orang yang semakin kecanduan. Kondisi itu juga dipengaruhi usia menggunakan gadget yang semakin muda. 

Banyak orangtua yang akhirnya memberikan anak-anak mereka ponsel yang canggih karena tekanan sosial. Apalagi sekarang tuntutan menggunakan gadget buat orangtua juga makin tinggi. Nyaris semua sekolah dalam berbagai level kini memiliki grup percakapan.

Sementara itu, dr. Elly mengatakan, jika tarafnya masih ketergantungan internet, anak masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti sekolah, belajar, dan sebagainya. Tapi kalau sudah adiksi, maka ada disfungsi dan stres, serta fungsi otak yang terganggu.

“Untuk menyembuhkan mereka, saat dirawat tentu tidak menggunakan ponsel, tidak bermain game, mereka diberi obat psiko farmaka, diobati juga penyakit gangguan jiwa penyertanya, juga diberikan psikoedukasi, terapi aktivitas kelompok, dan psikoterapi (psikiatri untuk mengubah perilaku kecanduan/adiksi dengan metode motivational interviewing),” ujar dr. Elly.

Ilustrasi anak kecanduan gadget

Untuk menekan penggunaan gadget yang berlebihan, Ferlita Sari menyarankan agar interaksi antara orangtua dan anak di rumah terus ditingkatkan. Bila perlu membuat perjanjian sederhana untuk sama-sama meninggalkan gadget dalam beberapa jam ketika sedang bersama. 

Kuncinya, seluruh anggota keluarga termasuk kedua orangtua juga komit dengan perjanjian tersebut.

"Ciptakan suasana hangat di rumah. Ngobrol atau jalan bareng. Kalau sudah dekat dan anaknya bisa terbuka, itu jadi bekal buat kelak dia sudah pegang gadget," kata dia. 

Kalau orangtua merasa takut ketinggalan informasi atau FOMO (fear of missing out), maka anak akan FOMO juga. "Sebab, anak adalah cerminan orangtua," tuturnya. 

Bisa saja, menurut dia, orangtua sulit melepaskan handphone karena urusan pekerjaan. Tapi ketika mengecek handphone hanya untuk urusan tak penting, sedangkan anak ada di hadapan, itu waktunya menyimpan ponsel dan berbicara atau mendengarkan anak.

Ira pun berbagi cara mengobati anak dan remaja yang kecanduan gawai. Lebih dulu dokter akan melihat dampak sejauh mana kecanduan yang dialami oleh anak. 

Penanganan bisa melibatkan orangtua, namun kasus terparahnya harus ditangani dengan obat. Bahkan, anak juga harus menjalani pengobatan rawat inap.

"Kita lihat dulu sejauh mana yang membuat kecanduan? Dampaknya apa saja? Apakah dalam hal pelajaran? Yang paling menonjol sosialisasi. Apakah sudah disertai gangguan penyerta yang lain, seperti depresi, kecemasan dan lainnya?" kata dia. 

Itu tentu yang harus diatasi. Kalau misalnya terkait perilaku, orangtua juga bisa membantu tidak memegang ponsel, sehingga enggak perlu obat.  

"Misalnya mau sekolah, masih bisa, misalnya hanya sekali-kali. Bisa diatasi," ujar Ira.  

Tetapi kalau memang yang sudah berat harus diberikan obat. Bahkan kalau orangtua tidak kuasa mengontrol lagi, bisa merusak dirinya dan orang lain. 

"Tidak mau makan-makan, enggak mau ngapa-ngapain, itu merusak dirinya dan orang lain. Karena itu perlu perawatan yang lebih lanjut, rawat inap," Ira menjelaskan. (art)

Baca Juga

Mengobati dengan Hati

Ciri-ciri dan Dampak Kecanduan Gawai