Karut Marut Bikin Terpuruk
- ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
VIVA – Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) tak lagi sakral bagi Timnas Indonesia. Tiga pertandingan kandang Grup G kualifikasi Piala Dunia 2022 berakhir dengan kekalahan. Yang paling menyakitkan tentu saat melawan Malaysia, 5 September 2019.
Indonesia membuka keunggulan lebih dahulu lewat gol Alberto 'Beto' Goncalves pada menit ke-11. Kemudian Malaysia menyamakannya pada menit ke-36 lewat aksi Mohamadou Sumareh. Berselang dua menit kemudian, SUGBK kembali bergemuruh berkat gol kedua Beto.
Menutup babak pertama dengan keunggulan 2-1 membuat pendukung tuan rumah optimistis rekor tak terkalahkan di kandang sendiri oleh Malaysia akan terjaga. Namun apa daya, keunggulan yang bertahan selama 15 tahun terakhir itu sirna juga.
Di babak kedua Malaysia tampil menggila. Mereka berhasil mencetak dua gol tambahan ke gawang Indonesia lewat Muhammad Syafiq pada menit 65 dan Sumareh ketika waktu sudah memasuki menit akhir. Inilah fakta menyakitkan yang harus diterima para pendukung skuat Garuda.
Mereka jelas kecewa. Bukan cuma dilampiaskan kepada suporter Malaysia yang akhirnya harus dikawal ketat aparat keamanan saat keluar dari SUGBK. Para petinggi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) pun dicari suporter. Ratusan orang berdiri dan bernyanyi menanti keluarnya petinggi federasi dari pintu VVIP SUGBK.
Petinggi federasi tak ada yang keluar. Ratusan suporter itu akhirnya bentrok dengan aparat Kepolisian. Gas air mata ditembakkan. Sekira 20 menit kemudian, aparat keamanan akhirnya bisa membuat kondisi mulai kondusif.
Berselang lima hari, Indonesia menjamu Thailand di laga kedua Grup G kualifikasi Piala Dunia 2022. Lagi-lagi skuat asuhan Simon McMenemy tak berkutik meladeni permainan tim tamu hingga dipaksa menyerah 0-3 di SUGBK.
Desakan untuk agar PSSI segera memecat Simon pun bergema. Juru taktik asal Skotlandia itu dianggap tidak mampu meracik tim dengan maksimal. Meski terus didesak, namun PSSI memilih bergeming.
Pada 10 Oktober 2019, Indonesia giliran melawat ke markas Uni Emirat Arab. Di sana, skuat Garuda jadi bulan-bulanan tuan rumah. Hansamu Yama Pranata pulang dengan kepala tertunduk usai kena bantai lima gol tanpa balas.
SUGBK kembali jadi kuburan bagi Indonesia ketika menjamu Vietnam di laga keempat Grup G kualifikasi Piala Dunia 2022 pada 15 Oktober 2019. Skuat Garuda kembali menelan kekalahan dari tim tamu, kali itu dengan skor 1-3.
Deretan hasil negatif ini rupanya tak membuat PSSI bertindak responsif. Mereka masih saja mempercayakan kursi pelatih kepada Simon. Publik pun dibuat bertanya-tanya dengan sikap otoritas tertinggi sepakbola di Tanah Air tersebut.
"Kalau saya tetap, akan mengkomparasikan dengan Luis Milla. Meski belum ada trofi, tapi eranya dia, para pemain pintar. Ada harapan kita akan wajah sepakbola Indonesia. Tapi apa dengan Simon, maaf saja pemainnya bukannya pintar," kata mantan pemain Timnas Indonesia Primavera, Supriyono Prima kepada VIVAnews, Jumat 1 November 2019.
Supriyono meyakini, sebenarnya PSSI sudah melakukan evaluasi terhadap kinerja Simon selama ini. Namun, bisa saja karena faktor finansial, federasi memilih untuk mempertahankan juru taktik asal Skotlandia itu.
"Evaluasi pasti sudah dilakukan. Di situ ada pertimbangan lain, mungkin masalah kompensasi. Harganya pasti lebih murah dibanding Luis Milla," imbuh Supriyono.
Sejak Indonesia terpuruk di kualifikasi Piala Dunia 2022, nama Luis Milla memang santer didengungkan untuk kembali. Pelatih asal Spanyol itu dianggap mampu menyulap permainan Evan Dimas dan kawan-kawan menjadi lebih baik pada Asian Games 2018 Jakarta-Palembang.
Kendalanya, gaji yang harus dibayarkan kepada Luis Milla teramat mahal. Akhirnya PSSI memilih untuk mencari penggantinya, dan jatuhlah pilihan tersebut kepada Simon.
Korelasi Keterpurukan
Penampilan buruk Timnas senior di kualifikasi Piala Dunia 2022 ini dianggap menjadi cermin karut-marutnya kepengurusan PSSI. Sejak mencuatnya berbagai kasus pengaturan skor hingga akhirnya membuat Edy Rahmayadi mundur pada Januari 2019, sorotan negatif selalu menghiasi.