Saracen, dari Perang Salib ke Bisnis

Aksi kampanye anti hoax di Jakarta beberapa waktu lalu
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

VIVA.co.id – Memakai kemeja oranye menyala, Jasriadi bersama dua rekannya, Sri Rahayu (32), dan Faisal Tonong (43), berdiri dengan kepala tertunduk di sebuah ruangan yang akan digunakan polisi untuk pengumuman.

Sulit untuk mengenali mereka. Karena sebagian wajahnya ditutupi oleh 'topeng' dari kain hitam. Yang tersisa hanya kedua mata dan sebagian batang hidung saja.

Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Jasriadi dan dua rekannya. Hari itu, mereka bak barang pajangan. Dengan tangan terbebat tali borgol plastik berwarna putih, ketiganya pun hanya diam, tak berkutik.

"Ini kelompok yang seringkali atau kerap kali melakukan penyebaran ujian kebencian," ujar Kasubdit 1 Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Pol Irwan Anwar menyebut masalah yang membelit ketiga orang tersebut, Rabu, 23 Agustus 2017.

Ya, hari itu Jasriadi, Sri Rahayu dan Faisal Tonong, resmi menjadi tersangka. Polisi menyebut tiga sekawan ini sebagai sindikat penebar kebencian di jagat maya.

Kelompok Saracen mengorganisir akun di sejumlah jejaring sosial untuk menyebarkan SARA dan berita hoax. (REUTERS/Amir Cohen)

Merekalah yang menjadi motor pendiri grup Saracen, yakni kumpulan akun di jejaring sosial yang mengorganisir konten bermuatan SARA, lalu menyebarnya ke khalayak.

Kata polisi, aksi mereka telah berlangsung sejak tahun 2015 dan memiliki setidaknya 800 ribu akun yang diorganisir. Dan yang mengejutkan, kelompok Saracen ini rupanya juga berencana menjual jasa menebar kebencian.

Ini diperkuat dari temuan sejumlah dokumen proposal penawaran di tangan Jasriadi, pria asal Pekanbaru, Riau, yang disebut menjadi ketua kelompok Saracen. Harga yang dipatok pun tak murah. "Senilai Rp75 juta sampai Rp100 juta," kata Kasubbag Ops Satgas Patroli Siber AKBP Susatyo Purnomo.

Selanjutnya, Dari Perang Salib ke Bisnis