Sangat Banyak yang Ingin Papua Lepas dari NKRI

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri RI, Akmal Malik.
Sumber :
  • VIVAnews/M Ali Wafa

VIVA – Diskriminasi rasial yang dialami sejumlah mahasiswa asal Papua di Jawa Timur beberapa waktu lalu telah memicu gelombang kemarahan masyarakat di Papua Barat dan Papua. Ribuan mahasiswa dan masyarakat Papua turun ke jalan menyuarakan kekecewaan dan kemarahannya di wilayah Manokwari, Jayapura, Sorong dan Fakfak. 

Gejolak amarah memancing aksi pembakaran di kantor DPRD Papua Barat, dan sejumlah fasilitas publik.  Kerusuhan pecah pada 19 Agustus lalu dan pembakaran meluas di berbagai tempat di "Bumi Cenderawasih" itu. 

Pemerintah berusaha meredam kemarahan masyarakat Papua dengan mengundang tokoh masyarakat, agama dan adat untuk merekatkan kembali persatuan kesatuan. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa menyampaikan permintaan maaf kepada rakyat Papua atas insiden di asrama mahasiswa Papua. 

Meski begitu permintaan maaf pemerintah belum dianggap cukup. Percikan kemarahan atas diskriminasi rasial yang diterima masyarakat Papua telah memantik keinginan sebagian rakyat Papua untuk melepaskan diri dari Indonesia. Isu separatisme di Papua ini terus menjadi tantangan besar yang selalu dihadapi pemerintah pusat.

Kini masyarakat tengah menanti terobosan besar dari pemerintah untuk mengatasi kerusuhan di Papua, sekaligus meredam isu separatisme dan merajut kembali persatuan antar-anak bangsa. Sebagai salah satu ujung tombak pemerintah dalam mengatasi persoalan bangsa, Kementerian Dalam Negeri dituntut lebih jeli dan gesit dalam mengidentifikasi sekaligus merumuskan solusi untuk turut mengatasi permasalahan di Papua. 

Mandat itu kini turut diemban Akmal Malik, yang sejak 4 Maret 2019 dipercaya Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Otonomi Daerah, menggantikan Soni Sumarsono yang memasuki masa pensiun.

Akmal, yang juga tetap merangkap sebagai Sekretaris Ditjen Otda, termasuk pejabat andalan di Kemendagri. Sebelum menjadi Plt Dirjen dan Sekretaris Ditjen Otda, pria kelahiran Pulau Punjung di Sumatera Barat pada 16 Maret 1970 itu menjabat sebagai Direktur Fasilitasi Kepala Daerah dan DPRD, yang mengawal kebijakan strategis Pilkada serentak.  

Berikut petikan wawancara VIVAnews dengan Akmal pada 21 Agustus lalu di ruang kerjanya:

Bagaimana Anda melihat persoalan di Papua dan Papua Barat?

Dari perspektif Kemendagri, berdasarkan komunikasi kami dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Papua Barat dan Papua sendiri, kami melihat memang ini berawal dari komunikasi yang tidak terkonfirmasi dengan baik. 

Awalnya di Surabaya, kemudian beredar di media sosial. Medsos kita ini kan tidak ada filternya, tidak ada konfirmasi. Akhirnya menimbulkan sebuah opini seolah-olah terjadi rasisme, diskriminasi dan sebagainya. 

Artinya ke depan, Kemendagri mengimbau kepada kepala daerah untuk lebih intens, ketika ada gejala dampak informasi yang tidak terkonfirmasi dengan baik, harusnya kepala daerah segera melakukan konsolidasi secara internal. Koordinasi dengan Forkopimda, aparat keamanan terkait untuk menjelaskan. 

Ternyata dalam perkembangannya, ada penumpang-penumpang gelap. Ada statement yang saya katakan akhirnya memantik rasa ketidakpuasan pada pihak tertentu.

Saya katakan, tugas kita untuk membuat semuanya dingin. Kita cinta Indonesia ini, tetapi kok ini informasi yang salah ini jadi pemicu bibit-bibit seperti itu. 

Ada pihak di luar sana yang tidak ingin Indonesia ini bersatu. Sangat banyak yang ingin Papua ini lepas dari Indonesia. Nah, kita lah sebagai bagian dari bangsa Indonesia, mari lah kita jaga persatuan itu. 

Benarkah aksi unjuk rasa dipicu dari aksi rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang?

Aparat keamanan terus menelusuri asal muasal kejadian, serta terus didalami oleh aparat hukum, dan selanjutnya tentu akan dilakukan penegakan hukum dengan adil jika hal tersebut terbukti.

Gubernur Papua, Lukas Enembe, sempat mengkritik pernyataan Wakil Wali Kota Malang, Sofyan Edi Jarwoko, juga sikap Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa, yang dianggap tidak mengayomi warganya yang sedang belajar di sana. Bagaimana pendapat Anda?

Saya kemarin sudah ketemu dengan Ibu Khofifah, Emil (Wagub Jatim), Lenis Kogoya (Ketua Lembaga Masyarakat Adat Papua), Ibu Risma (Wali Kota Surabaya), kita diskusi. Kita katakan sementara ini masih ada riak-riak di daerah masing-masing, makanya kita menyelesaikan dulu konsolidasi internal, Papua, Papua Barat, Jawa Timur, kemudian akan nampak sebuah langkah. 

Ketika semua sudah tenang, adem dingin baru kita komunikasi. Berkomunikasi dalam kondisi panas itu tidak boleh, makanya harus sejuk dulu. Kita perintahkan tolong konsolidasi internal, tolong juga jangan sampai pelayanan publik terganggu. 

Koordinasi harus lebih intens, para bupati dikumpulkan. Tidak menutup kemungkinan ini akan merembet. Kita minta seluruh gubernur bertemu dahulu. Tentunya konsolidasi melibatkan aparat keamanan. 

Apa saja yang sudah dilakukan Kemendagri menangani kasus Papua dan Papua Barat?

Pastinya menjaga keamanan dan menggandeng tokoh agama, pemuda dan masyarakat. Ayo duduk bersama. Kalau ada yang tidak puas sampaikan secara baik. Banyak saluran untuk disampaikan dengan baik.

Hindari massa berkumpul, karena kalau massa sudah berkumpul itu akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Apakah pemerintah akan melakukan pendekatan keamanan guna mengatasi kerusuhan tersebut?

Pendekatan keamanan pada saat ini belum relevan dilakukan. Kami lebih mengedepankan upaya cipta kondisi tramtib masyarakat. Oleh karenanya kami berharap semua pihak menahan diri dan tidak terpancing dengan provokasi dan isu-isu yang tidak bertanggung jawab.

Aksi unjuk rasa di Papua sudah mengarah tuntutan referendum. Tanggapan Anda?

Isu referendum selalu muncul jika terjadi kondisi disharmoni di Papua, Papua Barat dan akan selalu digunakan oleh pihak-pihak di dalam dan luar negeri untuk menjadi isu nasional dan internasional. Pada Bulan September 2019 akan dilakukan Sidang Umum PBB, di mana kondisi ini dapat saja disalahgunakan. 

Oleh karenanya Pemerintah dan Pemda harus solid dalam melokalisir permasalahan dan isu, serta secara cepat meredakan suasana dengan mengedepankan penanganan yang bijak dan adil, serta melibatkan unsur tokoh masyarakat dan adat.

Apa yang akan dilakukan pemerintah agar isu referendum ini tidak liar dan merembet?

Pertama-tama, Kasus harus segera dituntaskan secara adil. Kedua, publikasi hal positif dari penanganan kasus melalui media konvensional atau medsos. 

Ketiga, penguatan diplomasi di luar negeri yang menjelaskan penyelesaian kasus tersebut secara adil dan mengedepankan HAM. Keempat secara sinergis melakukan percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat.

Selama ini apa yang menjadi problem mendasar di Papua, sehingga warga Papua mudah terpancing menyuarakan ingin melepaskan diri dari Indonesia, meski mereka sudah memiliki status otonomi khusus (otsus)?

Di Papua kompleksitas permasalahan luar biasa. Ditambah lagi terakhir ricuh kemarin sebenarnya akumulasi. Banyak kepentingan yang bercampur. Sehingga ketika ada pemicu di sana itu mereka yang pro-Papua merdeka jadi satu kelompok.

Jadi kalau saya mencermati, ada yang pro-referendum, kemudian ada yang menerima otonomi khusus (otsus). Yang mendukung otsus adalah para elite, mulai dari DPR, Pemda, dan lain-lain. Dengan ada isu kemarin kelompok ini jadi satu. Dengan kejadian kemarin tiga kelompok ini jadi satu.

Dalam perjalanannya otsus ini tidak sepenuhnya jadi solusi. Sehingga pada tahun 2014, di masa Pak SBY dibuat draf RUU pengganti UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, yang dikatakan Pak Lukas itu RUU Otsus plus, karena bukan sekadar bicara dana, banyak aspek juga, dari, strategis pembangunan, kelembagaan, kewenangan. 

Desakan untuk referendum masih tinggi?

Yang di hutan-hutan itu masih. Sebenarnya kalau kita bedah dadanya, ini yang tidak mendapatkan tempat di DPR, dari APBD, mereka selalu teriak.

Apa benar kesenjangan ekonomi menjadi pemicu masih adanya tuntutan pemisahan diri dari NKRI?

Dalam berbagai literasi bahwa kesenjangan ekonomi dapat mengakibatkan disharmoni hubungan antar tingkatan pemerintahan dan/atau antar daerah. 

Namun dalam periode Bapak Jokowi melalui Nawacita telah berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan aksesibilitas dan ekonomi masyarakat sehingga kesenjangan ekonomi semakin ditiadakan.

Selama lima tahun terakhir ini Pemerintahan Jokowi memberi perhatian khusus pada Papua dan sudah habis-habisan membangun Papua, sejauh mana pembangunan berdampak pada masyarakat Papua?

Program Pak Jokowi untuk membangun infrastruktur dahulu, karena bagaimana pelayanan publik menyentuh masyarakat ketika tidak ada aksesibilitas. Sehingga itu yang dikebut dahulu oleh Pak Jokowi. Prioritas utama membuka akses. Periode kedua ini, prioritasnya membangun SDM yang unggul. 

Untuk perubahan harus kerja sama semua pihak, harus ada koordinasi yang kuat. Kami Kemendagri mencetus kerja sama dengan Kemendikbud dan Kemenristekdikti memberikan asuransi pendidikan tinggi dan menengah. Kemendikbud punya program memberangkatkan anak-anak asli Papua sekolah 6 provinsi di Jawa-Bali.

Setiap tahun, 500 anak-anak asli Papua disebar agar mendapatkan pendidikan yang bermutu. Ketika mereka tamat dari SMA lanjut kuliah. Setelah lulus kan banyak BUMN bisalah menyerap mereka.

Secara umum, kalau mereka merasa negara hadir, dapat layanan pendidikan dan kesehatan, perut mereka terisi tidak ada kata-kata keinginan mereka merdeka.

Papua sudah ditetapkan sebagai wilayah otonomi khusus dan mendapat dana otsus. Sejauh mana hal itu mampu memberdayakan masyarakat Papua?

Bicara tentang pemberdayaan masyarakat Papua di pegunungan secara umum harus ada pendampingan meningkatkan nilai ekonomi dari yang mereka lakukan. 

Selama ini, sebelum ada dana desa, ada dana Respek (Rencana Strategis Pembangunan Kampung) dan dana prospek (Program Strategis Pembangunan Ekonomi dan Kelembagaan Kampung). Nilai bantuan Rp100 juta per kampung. Setelah ada dana desa ada intervensi 1-4 tahun. 

Indikator ekonomi makro pasca-otsus telah menunjukkan tren peningkatan sebagai contoh rata-rata pertumbuhan IPM Papua tahun 2011-2016 sebesar 1,07 persen. Adapun Papua Barat di periode yang sama pertumbuhannya rata-rata 0,72 persen. Sedangkan rata-rata nasional pertumbuhan IPM di periode yang sama sebesar 0,89 persen. 

Hal ini menandakan pemberdayaan masyarakat signifikan membaik khususnya di tataran pendidikan, kesehatan, dan pendapatan per kapita.

Apa yang akan dilakukan agar dana otsus bisa tepat sasaran dan menciptakan perbaikan ekonomi di Papua?

Secara berkala, terus dilakukan evaluasi dan pembenahan ketepatan sasaran dana otsus, di antaranya melalui Musrenbang Otsus. Proses pemanfaatan dana otsus sudah dilakukan secara partisipatif melalui Musrenbang Otsus yang memusyawarahkan program dan alokasinya. 

Hal tersebut menunjukkan keterlibatan aktif seluruh elemen masyarakat dalam memilih program prioritasnya untuk dianggarkan dalam dana otsus agar tepat sasaran. Adapun hal yang perlu disempurnakan adalah regulasi pemanfaatan dananya harus khusus untuk menjawab kebutuhan asimetris karena regulasi yang digunakan juga berlaku secara umum.

Kemudian supervisi yang melibatkan kementerian dan lembaga BPK, KPK, dan lainnya. Serta, peningkatan kapasitas aparat ASN yang lebih berintegritas.

Terakhir, apa imbauan Anda agar Papua kembali damai?

NKRI harga mati. Salah satu yang mencoba mengganggu NKRI kita harus lawan. Salah satu ancaman itu adalah hoax dan kita harus lawan secara bersama-sama. (ren)