Pileg Dibayangi Pilpres, Caleg: Kami Tenggelam

Perhatian masyarakat tertuju pada pemilihan presiden sehingga sejumlah calon anggota legislatif mengeluhkan sulitnya menarik perhatian khalayak. - Antara/Yulius Satria Wijaya
Sumber :
  • bbc

Untuk pertama kalinya, rakyat Indonesia menghadapi pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden pada saat bersamaan demi efisiensi dan efektivitas. Namun, beberapa pengamat dan sejumlah calon anggota legislatif mengatakan sebaliknya.

Pemilihan umum tinggal menghitung hari, namun seorang pemilih di Jakarta, Faisal masih belum kunjung menentukan pilihannya pada calon anggota legislatif tertentu.

Meski demikian, atas dorongan teman-teman sekolahnya dulu, Faisal tengah mempertimbangkan memilih mantan adik kelasnya yang menjadi caleg PKS di Jakarta Pusat.

"Saya kenal dia, tahu track record dia. Waktu zaman sekolah dulu saya tahu dia seperti apa dan sekarang seperti apa. Sebab, mestinya, memilih caleg kita kenal sosoknya," kata Faisal.

Faisal mengaku sejatinya dia dan keluarganya merupakan pemilih loyal Partai Persatuan Pembangunan sejak era Orde Baru.

Ketika ditanya mengapa tidak mempertimbangkan untuk memilih caleg dari PPP, Faisal menggeleng.

"Kalau ketua umumnya nggak kena masalah sih, banyak caleg PPP yang saya kenal sosoknya. Tapi ketua umumnya aja kena kasus begitu, yang bawahnya mestinya kena lah," tuduh Faisal, merujuk kasus dugaan suap jabatan yang merujuk Ketua Umum PPP, Romahurmuziy.

Pengakuan Faisal sejalan dengan temuan hasil survei Charta Politika pada 18-25 Januari 2019, dengan jumlah responden 800 orang di tiap daerah pemilihan dan margin of error 3,40%, yang menemukan 30% pemilih belum menentukan pilihan calon legislatif yang akan mereka pilih.

Menurut Yunarto Wijaya, direktur eksekutif Charta Politika, hal ini merupakan konsekuensi dari pemilu serentak.

"Pemilih fokus di pilpres serta terlalu banyak partai dan caleg. Di sisi lain parlemen dianggap tidak menjalankan fungsinya. Belum lagi image negatif karena korupsi. Apatisme terhadap pileg sangat tinggi," paparnya.

Hal senada diutarakan Titi Anggraini selaku direktur eksekutif Perludem, lembaga kajian kepemiluan dan demokrasi.

"Pemilih yang dirugikan. Ruang publik kita didominasi oleh pilpres. Terlalu banyak aktor yang berkompetisi, terlalu banyak posisi yang dipilih. Sehingga secara natural orang akan mengenali figur-figur utama yang berkompetisi," ujarnya.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri telah mempublikasikan nama-nama caleg .

Bahkan, KPU telah , walau daftar nama itu tidak akan dipampang di Tempat Pemungutan Suara (TPS) saat hari pemungutan suara.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra mengatakan, KPU tak ingin memasukkan nama caleg eks koruptor dalam `daftar hitam` di TPS.

"Kita hanya menginformasi kepada masyarakat, ini loh calon-calon orang yang mantan napi koruptor. Selanjutnya bagaimana? Terserah Anda, Anda mau milih atau tidak. Kalau kemudian kita umumkan (di TPS), kita beri tanda, dan sebagainya, kesannya memang kemudian itu malah mem-blacklist, itu yang kita tidak mau, itu bukan peran KPU," papa Ilham pada Februari lalu kepada Kompas.com

`Kami tenggelam`

Kondisi masyarakat yang demikian diakui sulit oleh para caleg.

Dian Islamiati Fatwa, misalnya. Caleg DPR RI dari Partai Amanat Nasional nomor urut dua di daerah pemilihan DKI Jakarta 2, yang mencakup wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Luar Negeri ini selalu menghadapi pertanyaan soal pilpres dari konstituennya.

"Setiap saya datang mengunjungi masyarakat, mereka mengajukan pertanyaan, seperti: `Bu, bagaimana nanti kebijakan Pak Prabowo?`, `Waktu debat, Pak Prabowo bilang begini, Bu. Benar tidak?`. Perhatian mereka hanya tertuju pada pilpres. Kita menjadi tenggelam," tutur putri mendiang AM Fatwa tersebut.

Hal serupa diutarakan Christina Aryani, caleg DPR RI nomor urut satu Partai Golkar di Dapil DKI Jakarta 2.

"Segala sesuatu yang dibahas adalah soal pilpres. Jadi kami memiliki kesulitan untuk menyuarakan," cetusnya.

Ketika caleg PAN dan Golkar menghadapi kesulitan, tidak demikian halnya dengan caleg PDIP.

Nuraini, caleg DPR RI nomor urut enam di Dapil DKI Jakarta 2 mengaku justru diuntungkan dengan pilpres.

"Ketika ada program-program dari pak Jokowi, membantu sekali. Faktanya itu menguntungkan. Saya pribadi relatif tidak menemui kesulitan secara umum. Tetapi memang saya bukan incumbent, artinya ada upaya lebih keras untuk menyuarakan visi misi saya," paparnya.

Situasi ini klop dengan penjelasan Djayadi Hanan, direktur eksekutif lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).

Menurutnya, dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden secara serentak, partai yang paling banyak meraup untung adalah partai pengusung calon presiden atau diistilahkan coattail effect (efek ekor jas).

"PDIP dan Gerindra akan lebih mudah terbantu karena kedua capres merupakan kader dari kedua partai itu. Namun partai-partai lain harus lebih masif berkampanye di dapil. Kalau tidak, mereka akan terlindas gelombang perhatian masyarakat ke capres," kata Djayadi.

Djayadi menambahkan, mesin partai dan caleg tak punya pilihan lain mengingat ada ambang batas parlemen ( parliamentary threshold ), yakni meraup minimal 4% suara pemilih.

Hasil survei Charta Politika menunjukkan, selain PDIP dan Partai Gerindra, hanya Partai Golkar, PKB, Partai Nasdem, Partai Demokrat, PPP dan PKS yang lolos ambang batas parlemen. Sementara Partai Perindo dan PAN masih berada di bawah threshold meski masih berpeluang lolos.

Sementara PSI, Partai Hanura, hingga PKPI, masih berada di kelompok partai yang tidak lolos ambang batas.

Dengan banyak partai berguguran, konsekuensinya, jutaan suara pemilih akan dianggap hangus dan tidak bisa digunakan untuk penghitungan perolehan kursi DPR RI.

"Pemilu 2014 saja, dengan ambang batas parlemen 3,5%, suara terbuang itu besar. Apalagi pemilu 2019, angka parliamentary threshold 4%, sangat mungkin jumlah suara yang tidak bisa dihitung karena partainya tidak lolos akan naik," kata Titi Anggraini.

`Partai kawin paksa` akibat presidential threshold

Upaya partai politik untuk lolos ambang batas parlemen diprediksi tidak akan sesulit ini jika saja tidak ada presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden sebesar 20%.

Akibat aturan yang diputuskan dalam rapat paripurna DPR pada Juli 2017 lalu, partai politik hanya dapat mengajukan calon presiden dan wakilnya jika memperoleh 20% kursi di DPR berdasarkan hasil pemilihan umum 2014.

"Jika setiap partai diperbolehkan mengusung kadernya terbaiknya menjadi capres, mereka akan bekerja maksimal memenangkan partai sekaligus mempromosikan capres yang mereka usung karena ada ikatan ideologis.

"Berbeda dengan posisi sekarang, partai politik kawin paksa sejak awal karena ada ambang batas 20% kursi di DPR berdasarkan hasil pemilu 2014. Akhirnya ketika partai dipaksa berkoalisi, mereka diperhadapkan dengan dilema karena harus berkampanye memenangkan partai tapi di satu sisi capres yang dia harus menangkan tidak punya hubungan ideologis dengan partainya," terang Titi.

Pragmatisme partai ini ternyata berdampak langsung terhadap pemilih loyal, semisal PPP.

Sebagaimana ditunjukkan hasil survei Litbang Kompas pada akhir Februari hingga awal Maret 2019, sebanyak 66,7% pemilih loyal PPP yang bakal memilih Jokowi. Adapun 27,8% pemilih loyal PPP condong memilih capres Prabowo Subianto.

Hasil survei itu selaras dengan sikap Faisal, pemilih loyal PPP di Jakarta Pusat. Dia tidak tertarik memilih caleg PPP dan capres Joko Widodo sesuai arahan partai tersebut, tapi justru sedang mempertimbangkan untuk mengalihkan suaranya ke caleg PKS dan capres Prabowo Subianto.

Ketika ditanya bagaimana sikapnya jika seandainya PPP mengajukan capres dari kader internal, Faisal langsung merespons.

"Pasti kita dukung penuh, siapapun asal dari internal partai," cetusnya.

Djayadi Hanan, direktur eksekutif lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), menyebut situasi ini sebagai efek negatif ekor jas.

"Misalnya, ada pemilih setia Demokrat tapi dia proJokowi, sedangkan Demokrat ke Prabowo. Karena dia terus ingat Jokowi dan Jokowi terasosiasi ke PDIP, dia memilih Jokowi dan PDIP. Yang rugi siapa? Demokrat," kata Djayadi.

Dalam hasil survei Litbang Kompas, sebanyak 66,3% pemilih loyal Demokrat berpihak ke Prabowo, sedangkan 31,5% ke Jokowi.

Caleg bangun jarak dengan capres

Lantaran partai politik tidak serta-merta mengusung capres yang sehaluan, bagaimana sikap caleg partai?

Titi Anggraini menyaksikan timbul pragmatisme di sejumlah daerah, semisal di Sumatera Barat.

"Di Sumatera Barat, ada caleg yang partainya mengusung capres Jokowi, tapi dia membangun jarak dengan capres tersebut," ujar Titi.

Sebagaimana diberitakan Republika , sejumlah caleg dari partai-partai pengusung pasangan capres-cawapres nomor urut 01 tidak memampangkan foto Joko Widodo-KH Ma`ruf Amin pada iklan-iklan spanduk mereka.

Caleg dari partai-partai tersebut tidak segamblang caleg dari partai-partai pendukung pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 yang memasang foto Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Ketua Forum Komunikasi Relawan Pemenangan Jokowi (FKRPJ) Sumbar, Mayjen TNI (Purn) Hartind Asrin, mengatakan bahwa para caleg melakukan hal tersebut karena takut kehilangan banyak suara di daerah pemilihannya.

"Saya tanya, kok nggak pasang foto Jokowi? Katanya takut suara hilang," kata Hartind kepada Republika , Maret lalu.

Pada Pilpres 2014 lalu, pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menang di Sumbar, mengalahkan Joko Widodo- Jusuf Kalla.

Potensi Kecurangan

Sementara itu, Veri Junaini dari Kode Inisiatif mewanti-wanti soal potensi kecurangan yang timbul akibat euforia pada pemilihan presiden, alih-alih pemilihan legislatif.

"Kan orang antusiasnya dengan pemilihan presiden, setelah itu legislatif mereka tidak perhatikan lagi. Penghitungannya bisa sampai tengah malam, semua orang sudah capai. Dampaknya adalah potensi manipulasi terhadap hasil pemilu legislatif, baik dari tingkat DPRD kabupaten/kota sampai provinsi, itu sangat tinggi," kata Veri.

Menurutnya, kerawanan manipulasi timbul ketika penghitungan suara saat rekapitulasi di TPS hingga pergerakan kotak suara ke kecamatan.

"Rekapitulasi suara bisa sampai tengah malam, bahkan lebih dengan jumlah partai dan caleg yang begitu besar. Karena itu orang bisa dengan kelelahan dan lengah. Karena itu saksi partai maupun pengawas TPS harus diperkuat. Netralitas dan integritas penyelenggara pemilu juga harus mendapat perhatian," tandasnya.