Politikus Golkar Cibir ‘Mahkamah Kalkulator’ Kreasi Pengacara Prabowo

Politikus Partai Golkar Rizal Mallarangeng
Sumber :
  • VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis

VIVA – Politikus Partai Golkar, Rizal Mallarangeng mencibir pernyataan Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto, yang mengingatkan Mahkamah Konstitusi tak menjadi “mahkamah kalkulator, yang bersifat numerik” dalam mengadili sengketa Pemilu Presiden 2019.

Menurut Rizal, istilah itu sesungguhnya tak memiliki makna apa pun, apalagi kalau benar-benar memahami hakikat pemilu dan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Agak lalai berpikir. Jadi, kehendak bicara begitu cepat. Jadi, kita lihat omongan tanpa isi,” katanya, mengomentari pernyataan Bambang Widjojanto, melalui keterangan tertulisnya pada Rabu 29 Mei 2019.

Demokrasi, katanya, pada dasarnya meliputi banyak aspek, di antaranya filosofis, subtantif, sosiologis, ekonomi, dan lain-lain. Tetapi, Pemilu memang sesederhana menang atau kalah jumlah suara. “… itulah yang disebut detail of number.” Artinya, kandidat tertentu dinyatakan menang atau kalah, manakala dipilih oleh banyak atau sedikit orang yang dibuktikan dengan angka.

Jika kubu Prabowo-Sandiaga mengklaim menang, tetapi nyatanya kalah karena dicurangi, Rizal mengingatkan, mereka harus dapat membuktikan angka-angka klaim kemenangan. Dalam hal kekalahan dari Joko Widodo-Ma’ruf Amin dengan selisih 16,9 juta, Prabowo harus membuktikan mereka unggul sekurangnya 8 juta 450 ribu plus satu suara atau lima puluh persen plus satu dari selisih dalam pengadilan di Mahkamah Konstitusi nanti.

“Dia (Tim Kuasa Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno) harus meyakinkan para hakim [Mahkamah Konstitusi]. Tetapi, karena tiadanya bukti itu, maka dia berbalik ke hal-hal abstrak yang ngawur,” ujar Koordinator Nasional Relawan Golkar Jokowi itu.

Kubu Prabowo, menurut Rizal, tak hanya bertanggung jawab secara formal, tetapi juga non-formal, atas klaim kemenangannya. Legitimasi formal ada pada Mahkamah Konstitusi, karena lembaga itulah penentu akhir siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Legitimasi non-formal, katanya, tanggung jawab Prabowo maupun tim kuasa hukumnya bahwa boleh saja mengkritik tetapi, mestinya harus dengan dasar yang kuat. “Kalau pun tidak setuju, pakai dasar yang benar.” (asp)