Erdogan Menang dan Mimpi Rakyat yang Terbelah

Erdogan di depan para pendukungnya di Ankara, Turki
Sumber :
  • Kayhan Ozer/Presidential Palace/Handout via REUTERS

VIVA – Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, akan kembali memerintah di periode selanjutnya setelah keluar menjadi pemenang di Pemilu, Sabtu lalu. Erdogan meraup suara hingga 53 persen. Lantas, setelah dua tahun terakhir Turki ibarat terbelah, sanggupkah politikus Turki yang kini paling dominan itu menyatukan mimpi rakyatnya?

Setelah 99 persen suara di Pemilu dihitung oleh Komisi Pemilihan Umum Turki, mayoritas ternyata masih diberikan kepada Recep Tayyip Erdogan. Dari sekitar 85 persen tingkat partisipan, 53 persen mencoblos Erdogan, pemimpin yang sudah sejak lama bercokol di puncak kekuasaan.

Erdogan (64 tahun0 merupakan politikus teras yang menjadi Perdana Menteri sejak 2003. 10 tahun memegang jabatan PM, dia lalu menjadi Presiden Turki pada 2014, dan tahun ini melalui Pemilu, Erdogan akan mempertahankan tampuk kekuasaan hingga 2023 mendatang. Sudah lebih dari 15
tahun dia berkuasa dan kekuasaan tersebut akan berlanjut setidaknya dalam lima tahun ke depan.

Lebih jauh, sistem parlementer Turki yang diubah menjadi sistem presidensial melalui amandemen konstitusi membuat kuasa Erdogan kini semakin besar. Padahal, sebelumnya, jabatan presiden di Turki cenderung sebagai jabatan seremonial sebagaimana dianut oleh sejumlah negara yang menggunakan sistem parlementer.

Setelah melalui perubahan konstitusi yang juga melibatkan referendum yang disebut kontroversial tahun lalu itu, Turki kini berkiblat pada sistem presidensial.
 
Konsekuensinya, Erdogan akan memiliki kuasa untuk memilih menteri-menteri dan pejabat publik secara langsung, menentukan status negara, hingga berkuasa penuh atas anggaran. Apalagi partainya, Partai AK, yang didukung partai nasionalis juga akan memiliki kursi mayoritas di Parlemen dengan kemenangan di Pemilu Legislatif 42,5 persen suara.

Tak hanya itu, Erdogan masih akan memiliki kesempatan mencalonkan kembali menjadi Presiden untuk melanjutkan memerintah.

Setelah Pemilu dalam hal ini Pilpres dan Pileg Turki dilangsungkan bersamaan sebagaimana dilansir laman media pemerintah Turki Anadolu, Partai AK atau Partai Keadilan dan Partai Nasionalis pendukung Erdogan akan menduduki 343 dari 600 kursi yang ada di Parlemen. Sementara partai oposisi akan menempati 146 kursi. Lalu, sisa 67 kursi akan didapatkan partai pro Kurdi, HDP.

Atas kemenangan ini yang secara resmi akan diumumkan Jumat depan, Erdogan dan pendukungnya sudah bisa bersorak.

“Sesungguhnya pemenang Pemilu adalah semua rakyat, setiap orang dari 81 juta penduduk negara saya,” kata Tayyip Erdogan yang disambut sorakan oleh para pendukungnya saat berbicara di markas Partai AK di Ankara, Turki, sebagaimana dilansir laman BBC.

Tegang

Pemilu Turki tahun ini boleh dikatakan sebuah pesta demokrasi yang cenderung menegangkan bagi negara itu. Bagaimana tidak, sejak adanya percobaan kudeta tahun 2016 silam, Erdogan menetapkan negara dalam keadaan darurat hingga saat ini.

Tersebut nama Muharrem Ince yang merupakan rival terkuat Erdogan pada Pemilu kali ini yang diusung oleh Partai Rakyat Republik (CHP). Dikenal sebagai mantan Anggota Parlemen, Ince dahulu merupakan guru Fisika. Dengan jargon Turki yang bersatu, Ince cukup dijagokan oleh oposisi dan masyarakat yang tak menyukai kepemimpinan Erdogan.

Meski hasil Pemilu tak bisa ditolak, Ince hanya mendapatkan perolehan suara sekitar 31 persen dari 99 persen yang sudah dihitung oleh penyelenggara Pemilu setempat. Sementara sisa suara lainnya terbagi di antara calon lainnya.

“Kita akan merangkul semua orang,” kata Ince sebagaimana dicukil dari Telegraph saat melakukan 107 kampanye rally di 65 kota. Bahkan disebut, satu kampanye Ince bisa dihadiri ratusan ribu orang yang merindukan Erdogan turun dari kekuasaan.

Tak dinyana, masyarakat Turki memang bagai terbelah sejak upaya kudeta dua tahun lalu kandas. Sejurus, Erdogan dengan agresif menangkapi orang-orang dari berbagai kalangan dan menuding Fetullah Gulen sebagai dalang kudeta gagal.
  
Terakhir diketahui bahwa Erdogan sudah menahan lebih dari 107.000 orang yang berasal dari kalangan prajurit, polisi, guru, akademisi, jaksa dan praktisi hukum yang dituduh terlibat dalam kudeta. Sementara sekitar 50 ribu orang kini masih menunggu proses persidangan yang masih terbengkalai.

Tak hanya itu, Erdogan juga menurut laporan media independen yang digagas oleh sejumlah jurnalis berbasis di Turki juga menahan lebih dari 150 jurnalis. Atas kondisi itulah Erdogan dicap tak pro pada kebebasan pers dan demokrasi. Saat melakukan kunjungan ke London belum lama ini, Erdogan pernah ditanyai wartawan mengenai penahanan para pekerja media massa tersebut. Jawaban sang Presiden memang cukup mengejutkan.

“Anda seharusnya bisa membedakan mana jurnalis mana teroris, jangan hanya karena pakai kartu pers lantas mereka kita sebut jurnalis,” jawab Erdogan sebagaimana dilansir BBC.

Pekerjaan Rumah Tokoh Sentral

Mengamati hal tersebut, Dosen Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia yang juga Pengamat Timur Tengah, Muhamad Syauqilah, menilai bahwa kemenangan ini meneguhkan bahwa Erdogan memang tengah menjadi tokoh sentral. Menangnya Erdogan satu putaran menunjukkan tidak banyak koreksi elektoral atas kebijakannya selama berkuasa.

Meski disebutkan Syauqilah, angka perolehan suara Erdogan sebenarnya cenderung stagnan bila dibandingkan yang dia peroleh sebelumnya. Tahun 2014, Erdogan juga memperoleh suara hingga 53 persen.

“Yang agak unik, perolehan Erdogan yang stagnan tidak diikuti oleh Partai AK (AKP) di mana AKP mengalami defisit suara yang cukup tajam sekitar 42 persen, terkoreksi 7 persen. Pada 2015, AKP mencatatkan 49 persen,” kata Syauqilah kepada VIVA, Senin 25 Juni 2018.

Menurutnya, tugas berat menanti Erdogan di periode kepemimpinan baru. Apalagi diketahui bahwa hingga saat ini situasi politik dan keamanan Turki juga menjadi persoalan setelah masyarakat di negara tersebut bagai terbelah pascapenggulingan kekuasaan yang gagal pada Juli, dua tahun lalu.

Empat hal yang menjadi pekerjaan rumahnya yakni, pertama, inflasi Turki yang tinggi yaitu 11,97 persen sehingga kondisi ekonomi perlu segera diperbaiki.

Kedua, akselerasi kebijakan dengan sistem presidensial yang awalnya parlementer dalam birokrasi pemerintahan. Ketiga, masalah terorisme dan konflik dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) dan konflik Suriah yang mana menyebabkan membludaknya pengungsi Suriah di Turki.

Keempat, implementasi sistem presidensial dalam koalisi dengan Partai Rakyat Nasionalis (MHP).  (one)