Pilpres Selesai, Saatnya Merajut Persatuan

Capres nomor urut 01 Joko Widodo dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto usai mengikuti debat capres putaran keempat di Hotel Shangri La, Jakarta, Sabtu, 30 Maret 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

VIVA – Mahkamah Konstitusi merampungkan sidang terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umun atau PHPU Pilpres 2019. Majelis hakim MK menolak seluruh permohonan dalil tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, termasuk soal dugaan kecurangan terstruktur, sistematik, dan masif atau TSM.

Dengan putusan tersebut, dipastikan capres petahana Joko Widodo lanjut untuk periode keduanya, 2019-2024. Jokowi bersama Ma'ruf Amin tinggal menunggu dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada Oktober 2019.

Kini, pasca-putusan MK, perhatian publik akan tersorot kepada elite politik yang bersaing berebut kursi RI-1. Figur dua capres, yaitu Jokowi dan Prabowo Subianto didorong bertemu untuk proses rekonsiliasi.

Pertemuan dua capres tersebut, dinilai penting untuk meredam polarisasi yang makin meruncing di masyarakat. Gejolak di masyarakat, karena perbedaan politik sangat terlihat.

Baca: MK Tolak Gugatan Prabowo-Sandi Seluruhnya

Durasi kampanye yang hampir delapan bulan, telah memunculkan gesekan. Tensi makin memanas, usai Komisi Pemilihan Umum mengumumkan rekapitulasi suara Pilpres 2019.

"Harus rekonsiliasi. Tak ada pilihan lain. Keduanya harus bikin pidato kenegaraan bahwa pemilu sudah usai, saatnya merajut kebersamaan kembali," ujar pengamat politik UIN Jakarta, Adi Prayitno kepada VIVA, Kamis malam, 27 Juni 2019.

Adi menilai, sebagai pemenang, Jokowi mesti aktif merangkul Prabowo. Jokowi pun punya pekerjaan berat, karena mesti memimpin di atas semua golongan.

Baca: Prabowo Hormati Putusan Mahkamah Konstitusi

Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan, rekonsiliasi harus menjadi prioritas. Tanpa rekonsiliasi, polarisasi dinilai akan makin meruncing.

"Rekonsiliasi untuk merajut persatuan dan kesatuan bangsa. Menyatukan kembali yang bercerai-berai," tutur Ujang.

Bara dalam Sekam

Hakikat rekonsiliasi adalah niat tulus untuk mengakhiri konfrontasi dan persaingan. Bukan karena bag-bagi jabatan dan melupakan amanat.

Merespons dorongan rekonsiliasi, kubu Jokowi-Ma'ruf Amin menyatakan siap merangkul barisan pendukung Prabowo-Sandiaga Uno.

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani mengatakan, upaya rekonsiliasi akan diperjuangkan pihaknya dengan mempertemukan Jokowi dan Prabowo. Lalu, juga menggandeng partai koalisi pendukung Prabowo.

Jokowi pun menegaskan, putusan MK adalah final dan mengikat. Eks Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan, proses demokrasi sudah berjalan selama 10 bulan terakhir.

"Rakyat sudah berbicara, rakyat sudah berkehendak, suara rakyat sudah didengar, rakyat sudah memutuskan, dan telah diteguhkan oleh jalur konstitusi," ujar Jokowi di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis 27 Juni 2019.

Baca: Jika 01 Menang Sidang MK, FPI Siap Jihad

Keinginan TKN soal insiasi pertemuan dengan Jokowi direspons langsung Prabowo. Ia mengatakan, akan mengatur waktu kemungkinan bertemu dengan Jokowi.

Dia juga menegaskan, menerima dan menghormati putusan MK. Mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu pun menyampaikan terima kasih kepada para pendukungnya yang sudah membantu sejak kampanye Pilpres.

Namun, Prabowo mengaku mau berkonsultasi dengan tim hukumnya, terkait kemungkinan saran upaya konstitusi lain. Selain itu, dalam waktu dekat ini, ia akan mengundang pimpinan partai Koalisi Adil Makmur.

"Kami akan mengundang pimpinan partai Koalisi Indonesia Adil Makmur untuk musyawarah, terkait langkah ke depan," kata Prabowo di kediamannya, Jalan Kertanegara, Jakarta, Kamis 27 Juni 2019.

Baca: MK Patahkan Dalil Sumbangan Kampanye Jokowi yang Disebut Salahi Aturan

Direktur Eksekutif Lembaga Media Nasional (Median), Rico Marbun mengingatkan, proses rekonsilisasi jangan jadi bara dalam sekam. Rekonsiliasi tak masalah, asal tetap memperhatikan suara arus bawah atau grassroot. Rico menekankan, pasca-pilpres, rekonsiliasi elite tak selalu sama dengan grassroot.  

"Ini bukan sekedar koalisi Jokowi-Prabowo. Jika oposisi diserap habis kubu Jokowi, apa itu bisa jadi rekonsiliasi sampai tingkat pemilih? Jadi, jangan jadi bara dalam sekam," tutur Rico.

Peta Koalisi

Selain rekonsiliasi, dinamika politik pasca-putusan MK juga akan menjadi perhatian. Peta koalisi dinilai akan berubah. Sebagai pemenang, kubu Jokowi akan menggoda barisan pendukung untuk merapat ke pemerintahan.

Rico Marbun mengatakan, tak baik bila koalisi pemerintahan terlalu gemuk. Oposisi yang tak bersuara, akan merusak sistem demokrasi. Sebab, dari kekuatan kursi parlemen, suara pendukung Jokowi sudah mayoritas.

"Oposisi harus tetap ada, untuk jaga demokrasi yang sehat. Oposisi mengawal dan menegur program pemerintah yang keliru," ujar Rico.

Baca: Tinggalkan Rumah Prabowo, Ketum PAN Berharap Semua Terima Putusan MK

Hal senada disampaikan Adi Prayitno. Menurutnya, bagi-bagi kursi jabatan jangan justru menjadi dagelan politik. Ia mengingatkan Partai Gerindra, yang sejak sebelum pemilu sudah berada dalam sikap oposisi.

"Politik kita jadinya serba lucu, macam dagelan politik. Rakyat terbelah ekstrem, sementara elit malah bagi-bagi kekuasaan. Ini akan menjadi kabar buruk bagi oposisi," jelas Adi.

Sementara itu, Pengamat Politik, Ujang Komarudin memprediksi, kemungkinan Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tetap di barisan oposisi. Adapun Partai Amanat Nasional (PAN) diperkitakan memainkan gaya lama, yaitu partai pemerintah namun rasa oposisi.

Untuk Partai Demokrat, dinilai akan menerapkan cara politik aman. Lalu, Partai Berkarya sulit diperhitungkan, karena masuk kotak alias tak lolos ke parlemen. "Berkarya masuk kotak. Gerindra dan PKS yang pas di oposisi. Biar ada yang mengkritik kekeliruan pemerintah," tutur Ujang.

Baca: Gerindra Ditawari Menteri, PKS Belum Percaya

Kemudian, Ujang mengingatkan, periode Jokowi dianggap banyak catatan yang harus dikawal dan kritisi. Selain perbaikan ekonomi, persoalan penegakan hukum yang adil menjadi pekerjaan rumah Jokowi untuk lima tahun mendatang. Persoalan ini, menurutnya, yang mesti dikawal konsisten oleh barisan oposisi.

"Terapkan keadilan yang dinilai belum adil. Dan, yang paling utama, bagaimana ada kebijakan pemerintah soal utang negara yang jumlahnya sudah mencapai lebih dari Rp5.000 triliun," ujarnya. (asp)