Pencabulan di KRL Bukti Transportasi Publik Tak Ramah Perempuan

Ilustrasi pelecehan seksual
Sumber :

VIVA – Polisi akhirnya menetapkan Hilman Noverli (24) sebagai tersangka. Hilman ditetapkan sebagai tersangka kasus pelecehan seksual atau pencabulan yang ia lakukan di commuter line. Aksinya terungkap setelah korban perempuan berinisial CP (13) berteriak karena ulah Hilman yang menggesek-gesekkan alat vitalnya.

Peristiwa pelecehan tersebut terjadi Minggu sore, 6 Oktober 2019. Saat itu, korban bersama ibunya naik KRL dari Tanah Abang, Jakarta Pusat hendak ke Depok.

Di tengah perjalanan antara Stasiun Sudirman-Manggarai, pelaku melakukan pelecehan ke korban. Saat itu, kondisi KRL tengah padat penumpang. Merasa penumpang di belakangnya berbuat tak senonoh, korban berteriak. 

Hilman lalu diamankan oleh penumpang lain dan petugas keamanan kereta. Petugas kemudian menghubungi polisi. "Ibu korban membuat laporan dan pelaku akhirnya dibawa dan diperiksa di Resmob," katanya. Dari hasil pemeriksaan, polisi akhirnya menetapkan Hilman sebagai tersangka. 

Pria yang bekerja sebagai pegawai harian lepas di kantor wali kota Jakarta Barat itu dijerat Pasal Perlindungan Anak. Dari pengakuannya, Hilman telah lima kali beraksi cabul di dalam KRL. Saat menyasar korbannya, Hilman melakukan secara acak.

Hilman juga mengakui, aksinya kerap kali dipicu oleh film porno yang ia tonton. Polisi menyita sejumlah barang bukti seperti kaus, celana panjang, dan celana dalam milik Hilman. 

"Tersangka dikenakan Pasal 82 juncto Pasal 76E UU RI nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris  Besar Polisi Suyudi Ario Seto saat dikonfirmasi, Rabu, 16 Oktober 2019.

Kasus pelecehan seksual di dalam transportasi publik seperti commuter line ini bukan pertama kali terjadi. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019, ada sebanyak 406.178 kasus kekerasan perempuan sepanjang 2018. Di antaranya merupakan pelecehan seksual dan kekerasan seksual di ranah publik. 

Dari hasil survei Komnas Perempuan terhadap 62.224 responden, 64 persen dari 38.776 perempuan pernah mengalami kekerasan seksual di ruang publik. 19 persen di antaranya terjadi di halte dan transportasi publik. Waktu terjadinya pelecehan seksual di ruang publik paling tinggi adalah siang hari, yaitu mencapai 35 persen, dan sore hari, yaitu mencapai 25 persen. 

Kasus yang Selalu Berulang

VP Corporate Communication PT KCI, perusahaan yang mengelola perjalanan commuter line, Anne Purba, mengajak korban untuk berani memberitahukan kepada petugas maupun pengguna lainnya agar pelaku dapat segera diamankan. 

Anne juga mengimbau pengguna jasa commuter line untuk selalu waspada dan peduli terhadap keadaan di sekitar. "Kepedulian penting untuk mencegah peristiwa pelecehan maupun tindak kriminal lainnya," ujar Anne kepada VIVAnews, Rabu, 15 Oktober 2019.

Dalam sebuah diskusi tentang "Fasilitas Transportasi Publik yang Aman Buat Perempuan," di kantor Komnas Perempuan beberapa bulan lalu, pemerintah didorong untuk memfasilitasi agar semua moda transportasi  aman digunakan untuk perempuan. Karena menurut Ketua Komnas Perempuan, Azriana Manalu, perbaikan transportasi harus disertai dengan keamanan perempuan.

“Maka penting bagi pemerintah dan perusahaan transportasi untuk memberikan rasa aman bagi penggunanya, khususnya perempuan. Dengan memberikan rasa aman pada para penumpang, khususnya perempuan, maka perempuan akan lebih percaya dan nyaman menggunakan layanan transportasi. Hal ini penting mengingat Komnas Perempuan mencatat jumlah laporan kekerasan terhadap perempuan yang selalu naik setiap tahunnya,” kata Azriana.

Menurut Luviana, aktivis isu-isu perempuan yang juga pengelola Konde.co, pelecehan di commuter line seperti pedang bermata dua bagi korban. Data menunjukkan, banyak korban yang sudah berani untuk melaporkan, namun kepolisian yang tidak siap, atau kadang masih menganggap remeh persoalan ini.

"Mengapa polisi belum siap? Karena baru kepolisian di tingkat polres saja yang bisa menangani pelecehan ini, di polres terdapat Unit Pengaduan Perempuan dan Anak. Jadi seperti korban kemarin yang berani untuk mengadu, ia harus ke polres dulu untuk melakukan pengaduan," ujar Luvi kepada VIVA, Rabu, 15 Oktober 2019. 

Menurutnya, keberanian korban melaporkan tidak cukup karena polisi tak siap melindungi korban dan juga kekurangan personel. Apalagi kasus pelecehan baru bisa ditangani di tingkat polres. Sedangkan di tingkat polsek, korban tak bisa melaporkan karena tidak ada unit PPA dan polisinya kerap tidak siap. Beberapa korban yang melapor ke polsek terdekat kemudian malah disuruh untuk berdamai dengan pelaku. 

Proses administrasi yang panjang juga membuat korban merasa tak nyaman. Sementara di commuter line, petugas rata rata sifatnya hanya mengetahui ketika dilaporkan ada pelecehan, namun tidak bisa berbuat apa apa.

"Perempuan harus waspada, berani berteriak ketika dilecehkan dan berani untuk melaporkan walau rentetannya panjang," ujar Luvi. 

Sejak kasus banyaknya pelecehan di commuter line di tahun 2018 lalu, di commuter line sudah dilakukan kampanye setop pelecehan perempuan, salah satunya dalam bentuk video. Menurut Luvi, itu dilakukan sebagai salah satu cara yang dilakukan commuter line bersama lembaga perempuan, untuk kampanye dan mengajak semua penumpang untuk menyetop pelecehan seksual. Namun kampanye saja ternyata tidak cukup. 

Luvi mengusulkan agar pihak kepolisian dan commuter line mulai menginisiasi membuka pos pengaduan di stasiun stasiun. Dengan membuka pos pengaduan, korban tahu bahwa dirinya merasa aman karena diperhatikan dan pelaku diberikan pendidikan. Selama ini pelaku yang kebanyakan laki laki melakukan pelecehan krn ini dianggap wajar, tidak akan ada hukum yang menjerat mereka. Jadi pelaku terbebas dari hukum.

Menurut penerima Tasrif Award dari Aliansi Jurnalis Independen ini, teriakan korban adalah perlindungan pertama dari korban. Tapi itu saja tidak cukup. PT. KAI harusnya sediakan complaine handling system atau sistem komplain bagi penumpang. Menurutnya, cara ini harus dilakukan setiap perusahaan penyedia jasa agar konsumen merasa dihargai.

Bentuk konkret dari sistem komplain ini misalnya, pertama, jika korban dilecehkan, maka ia bisa melaporkan ke petugas commuter terdekat. Kedua, wajah pelaku terlihat di CCTV jadi petugas langsung mengetahuinya, dan ketiga petugas akan langsung memanggil pelaku dan mendapat hukuman.

Korban Harus Melawan

Pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik membuat Rika Rosvianti, akrab dipanggil Neqy, melakukan perlawanan. Ia dan rekannya mendirikan perEMPUan, organisasi yang fokus mengampanyekan keamanan transportasi publik untuk perempuan. 

"Sebagai pengguna aktif transportasi umum sejak SMP, saya mengalami banyak pelecehan seksual dan merasakan sendiri bagaimana rasanya saat bercerita mengenai pengalaman dilecehkan tapi tidak ada yang bantu. Karenanya saya dan teman saya membuat perEMPUan, sebagai wadah untuk menyebarkan informasi seputar cara mencegah dan menangani pelecehan seksual di kendaraan umum," tutur Neqy kepada VIVAnews, Rabu, 15 Oktober 2019.

Berdasarkan survei yang pernah dilakukan oleh perEMPUan pada tahun 2018, dari 500 responden perempuan pengguna transportasi publik, 35,9 persen mengaku pernah mengalami pelecehan seksual. Sebanyak 9,5 persen di antaranya mengalami di KRL. 

Bentuk pelecehan seksual yang dilakukan beragam. Pelaku yang eksibisionis (menunjukkan alat vital) mencapai 10,9 persen, menggesek 6 persen, menatap 32,2 persen, masturbasi 4 persen, menceritakan cerita seksual 2 persen, dan meraba 15,9 persen. 

Respons perempuan yang mengalami pelecehan di transportasi publik ini beragam. Sebagian besar adalah lari, yaitu 20,3 persen. Lalu menatap balik pelaku, 18 persen, dan diam, 15 persen. Sedangkan perlawanan dalam bentuk berteriak hanya dilakukan oleh 4 persen responden.

Bersama PT KCI, perEMPUan sudah dua tahun terakhir bekerja sama untuk terus menekan angka pelecehan seksual di commuter line. Menggunakan tagline "Komuter Pintar Peduli Sekitar," perEMPUan terus bergerak. Kerja mereka tak sia-sia. Selama dua tahun gencar melakukan kampanye, Neqy menyatakan, sekarang para petugas on board dan petugas stasiun serta penumpang sudah lebih paham apa itu pelecehan seksual dan harus melapor ke mana.

Neqy berharap, melalui perEMPUan, pemerintah bisa segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk menjadi payung hukum. "Sehingga kami bisa “menagih” para penyedia jasa transportasi untuk menyediakan SOP penanganan pelecehan seksual di transportasi umum. Sedangkan bagi masyarakat, mereka bisa paham apa itu pelecehan seksual dan mampu membantu diri sendiri maupun orang lain bila menjadi korban," ujarnya. 

Luviana juga berharap, pemerintah segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena hal itu akan sangat melindungi perempuan dari ancaman kekerasan seksual, tak hanya di transportasi publik tapi juga di berbagai area. 

Neqy dan Luvi juga menyadari, gerakan untuk terus menekan angka pelecehan seksual tak bisa dilakukan sendirian. Perlu melibatkan kepolisian dan Kementerian Perhubungan agar ada kesadaran bersama untuk membuat payung hukum atau setidaknya SOP untuk penanganan pelecehan seksual di bermacam moda transportasi, termasuk juga transportasi online.

Menurut Neqy, saat ini sangat penting untuk pengelola transportasi publik membuat SOP penanganan pelecehan seksual dan memberikan sanksi bagi pelaku, sehingga ada efek jera. 

Untuk perempuan yang menjadi pengguna moda transportasi publik, Neqy meminta untuk tak segan meminta bantuan orang lain dan berteriak sekencangnya jika menjadi korban pelecehan. Ia juga menganjurkan perlawanan dengan empat cara, yaitu menyerang mata pelaku, menyerang kemaluan pelaku, berteriak, dan mencakar. (ase)